Author's POV
.
.
.
.
Jaerk mengacak rambutnya frustasi. Ia pun duduk di salah satu bangku koridor sekolah, menundukkan kepalanya. Rasa menyesalnya meninggalkan Jesika bersama pria itu muncul dan merasuk pikirannya. Dadanya terasa sesak ketika harus merasa bahwa Janno memiliki cinta yang lebih besar daripadanya. Janno lebih pantas daripada dirinya.
"Aku tahu, kamu tulus mencintai Jesika. Aku percaya kamu bisa menjaganya dengan baik, Jae. Kini, tugasku sebagai sahabatnya benar-benar selesai. Saatnya aku mencari cinta sejatiku dan meninggalkan Jesika bersama pria yang baik sepertimu."
Kata demi kata terus terngiang di pikiran Jaerk. Dahinya mulai berkeringat. Di tengah rasa frustasinya, seseorang menepuk punggungnya.
Jaerk menoleh dan mendapati Chessa berada di hadapannya.
"Ada apa, Chess?" Suara Jaerk begitu berat dan dingin.
"Jesika mencintai kamu, Jae. Dia bahkan menolak Janno dan memilih mengejar kamu. Kenapa kamu kayak gini, Jae?"
Jaerk menghela napas. Air matanya kembali mengalir tanpa ia sadari. "Gua gak tahu, kekuatan Janno dan Jesika begitu kuat, Chess. Gua seperti melawan gravitasi, yang otomatis membuat gua selalu kalah dan jatuh."
Chessa mengernyit. "Kenapa kamu bisa bilang gitu? Apa buktinya?"
Jaerk menatapku tajam. "Lo gak ngerasainnya? Apa lo pura-pura bodoh? Gua yakin, gak cuma gua doang yang merasakannya."
Chessa tersentak atas pernyataan Jaerk. Semua yang dikatakannya benar, karena memang Janno dan Jesika adalah ikatan takdir. Namun, apakah Chessa harus memberitahukan Jaerk terkait benang merah tersebut?
Tidak, tidak. Ini bukanlah saat yang tepat. Yang terpenting sekarang adalah memastikan Jaerk tidak meninggalkan Jesika.
"Aku memang merasakannya, Jaerk. Tetapi, perasaan sekadar perasaan. Janno juga tidak mencintai Jesika, dan Jesika mencintai kamu. Kenapa kamu nyerah?"
Jaerk menggeleng. "Udah gua bilang, gak bisa Chess. Seperti yang lo bilang, perasaan cuma perasaan. Lo gak bisa pastiin juga kan, gua dan Jesika berjodoh? Gua sudah cukup berusaha, Chess."
Chessa menghela napas dan meninggikan nadanya. "Karena aku gak bisa memastikan mereka berjodoh apa bukan, maka itu kamu harus bertahan, Jae! Jesika cinta sama kamu. Aku belum pernah melihatnya sebahagia itu bersama seseorang, Jae!"
Jaerk memiringkan sudut bibirnya. "Jesika akan lebih bahagia jika Janno yang melakukannya, Chess. Janno juga sudah putus dari Reva, jadi itu kesempatan yang bagus supaya lo bisa merasakan ikatan mereka yang begitu besar."
Deg!
Chessa terdiam dan mengerucutkan bibirnya. Jaerk benar-benar menyerah dengan semua ini. Apakah ini adalah akhirnya?
"Chess, jika lo gak mau mencari tahu apakah Jesika dan Janno adalah jodoh, gua akan mencarinya sendiri."
Deg!
Deg!
Jaerk bangkit berdiri dan berjalan pergi meninggalkan Chessa dengan rasa terkejutnya. Apakah Jaerk berhak tahu soal benang merah itu? Apa yang bisa Jaerk cari untuk membuktikan semua itu? Bagaimana jika Jaerk mengikuti hal yang aneh-aneh, yang terlebih bisa membahayakan nyawanya?!
Chessa memutuskan untuk mengejar Jaerk yang belum jauh. Ia menahan tangan putih pucat Jaerk. "Mari kita cari sama-sama, Jae."
Jaerk tersenyum dan mengangguk. "Ya sudah, lebih baik kita sama-sama ke kelas." Jaerk pun berjalan terlebih dahulu, dan Chessa pun mengikutinya.
.
.
.
***
.
.
.
Sepulang sekolah,
Jesika menahan Chessa yang hendak keluar kelasnya. Chessa menoleh ke arah Jesika. "Chess, kamu ada waktu tidak?"
"Apa, Jes?"
"Aku ing..ingin meminta tolong," ucap Jesika dengan pelan, sambil menarik Chessa ke taman rahasia.
Chessa dan Jesika pun duduk di bangku taman yang sama. Chessa menghela napas. "Jaerk sudah benar-benar menjauhimu, Jes. Maafkan aku yang tidak bisa melakukan apapun..."
Jesika menggeleng. "Itu bukan masalah utama. Jika Jaerk bisa menjadi jodohku, semua itu bisa diatur kan?"
Chessa mengerutkan dahinya. "Maksud kamu?"
"Aku yakin ada cara untuk menghilangkan ikatanku dengan Janno. Maukah kamu menolongku untuk menemukan caranya? Aku tidak bisa terus dibayang-bayangi oleh kenyataan bahwa Janno akan bersamaku pada akhirnya. Aku tidak pantas untuknya. Aku selalu menyakitinya. Janno bahkan tidak mencintaiku, jadi untuk apa?" Jesika menatap Chessa penuh harap. Kedua telapak tangannya menyatu di depan dada Jesika. Ia menaikkan kedua alisnya. "Aku mohon, Chess. Aku yakin pasti ada cara!"
Chessa menatap Jesika nanar. Ia menarik kedua tangan Jesika yang memohon kepadanya. "Jes, kenapa kamu senekat ini? Kamu tahu kan kalau benang merah itu bisa saja menghancurkan kamu? Bisa saja dia memang ilusi! Kamu tidak perlu memikirkan—"
"Tidak bisa, Chess. Kenyataannya bahwa ia selalu menyala ketika aku dan Janno bersama. Janno juga tidak terlihat menyukaiku, ia masih membicarakan Reva."
Chessa terbungkam. Jesika tidak mungkin terus menerus mengabaikan benang merah yang melilitnya itu. Chessa sendiri juga bingung bagaimana caranya memberitahu Jaerk secara tidak langsung, dan Jesika menyuruhnya untuk mencari cara. Chessa sendiri ragu, apakah ada cara untuk menghapuskan atau mengubah ikatan takdir seseorang...
Kalau pun ada, cara itu akan sangat beresiko...
Benang merah Jesika semakin merah menyala ketika saat ini Janno berada di depan taman dan menghampiri mereka.
Mengapa lelaki itu selalu ada untuk Jesika, padahal cintanya hanya untuk Reva?
Apakah benang merah itu yang membuat Janno seperti ini?
"Chessa, Jesika, kenapa kalian ada di sini? Jesika sedang bercerita apa kepada Chessa?"
Jesika yang menganga langsung tersenyum kikuk dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Hanya masalah tugas, Janno. Aku meminta tolong padanya. Kamu belum pulang?"
Janno menggeleng sedih. "Sepertinya memang aku harus melupakan Reva. Tampaknya, ia sudah menemukan lelaki baru. Benar-benar tidak kusangka, semua kenangan kami tidak berarti baginya." Kepalanya tertunduk ke bawah. Jesika menatap Janno nanar, lalu menarik Janno untuk duduk di sebelahnya.
"Tidak, Janno. Kamu sudah berusaha sejauh ini, masa kamu menyerah? Semua butuh waktu, Janno. Aku yakin Reva masih mencintaimu."
Janno sedikit mendongak, menatap Jesika penuh harap. Tatapan yang selalu membuat Jesika luluh. Mengubah hatinya. Menambah dilemanya. "Apakah benar begitu?"
Jesika mengangguk dan tersenyum lebar. "Pasti, Janno! Tidak mungkin ia melupakanmu begitu saja, apa lagi kamu adalah yang pertama untuknya. Kalau kamu tidak yakin, aku akan membantumu dengan bicara padanya, deh!"
"Jes!" , panggil Chessa sambil menyenggol lengan Jesika. Jesika menoleh sebentar lalu kembali menatap Janno.
Janno menggeleng. "Tidak perlu repot-repot, Jes. Aku sudah kembali semangat. Selama ada kamu, entah mengapa aku selalu bersemangat, Jes." Janno menyengir lebar. Pemandangan yang sangat ingin Jesika lihat. Yang bukan untuknya.
Janno membelai pipi Jesika. "Terima kasih, Jesika."
Deg!
Deg!
Benang merah semakin menyala terang, menyilaukan mata Chessa. Jesika tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Rasa sakitnya lebih besar daripada rasa cintanya. Jesika mematung tak bergerak, hanya air mata yang menetes.
Janno langsung beranjak berdiri. Sepertinya, ia tidak menyadari air mata Jesika. "Aku pulang dahulu ya, baru ingat kalau ada tugas kelompok. Terima kasih, Jesika. Sampai jumpa."
Tanpa kata-kata balasan, Janno langsung berajak pergi meninggalkan Jesika dan Chessa.
Duar! Tangis Jesika meledak. Jantungnya masih berdegup kencang. Benang merah itu sudah tidak menyala dan semakin membentang jauh mengikuti kemana Janno pergi.
Chessa memeluk Jesika, membenamkan wajah Jesika di pundaknya. Dadanya terasa sesak. Wajahnya terlihat memerah menahan malu. Hatinya sakit.. nyeri.
"Chess.. aku gak mau tahu! Kamu harus menolongku..hiks.. un..untuk bebas dari semua ini! hiks.. Aku tidak mau hiks.. lagi."
Chessa menatap Jesika nanar serta memeluknya lebih erat. Membiarkan Jesika menguburkan semua rasa sakitnya di pundaknya.
"Iya, Jes. Aku akan menolongmu. Sehabis ini kita ke rumah kakek ya."
.
.
.
***
.
.
.
Chessa dan Jesika saling bergandengan tangan erat menuju ke rumah kakek. Hati Jesika masih terasa sakit melihat perlakuan Janno yang tiada habisnya menyakitinya. Ia tidak bisa terlalu lama larut dalam semua ini. Jesika berhak untuk bahagia, bukan dengan Janno, dan sebaliknya.
Kakek Govard melotot. "Kalian ini gila? Aku sudah bilang bahwa tidak ada yang bisa mengubah atau menghapus ikatan itu!"
Jesika meletakkan lututnya di lantai dan mengatupkan kedua telapak tangan di depan dadanya. Rasa sesak mendorong air matanya untuk kembali menetes. "Aku mohon, Kek. Aku yakin ada caranya. Aku mohon, tolong aku, Kek. Aku tidak bisa membuat Janno lebih menderita lagi karena berjodoh denganku."
Kakek Govard mengernyitkan dahi. Chessa mengangkat tubuh Jesika untuk kembali berdiri. Chessa pun membantu Jesika untuk menceritakan alasan Jesika sangat ingin menghilangkan ikatannya dengan Janno.
Kakek Govard yang sudah mengetahuinya, merasakan bagaimana sakitnya hati Jesika dan alasan Jesika ingin melakukannya, langsung memegang kedua pundak Jesika dan menatapnya yakin. "Kakek akan membantumu mencarinya. Chessa, kamu harus menolong kakek kali ini. Kamu tenang saja ya, nak Jesika. Kakek sudah mengerti sekarang."
Jesika hanya tersenyum tipis dan memeluk sang kakek dan Chessa tanpa berkata apapun. Air matanya kembali menetes..
Sekarang, aku hanya perlu mengontrol perasaanku kepadamu Janno. Aku tidak akan ada lagi di hidupmu, mengusik dengan kenyataan ini. Setelah ini, kamu bisa berjuang untuk kebahagiaanmu yang bukan bersamaku.
.
.
.