Chereads / String of Heart [REVISI] / Chapter 22 - MENEMUKAN

Chapter 22 - MENEMUKAN

Dua bulan kemudian,

.

.

.

Jaerk kembali menyematkan cincin di jari manis kiri milik Jesika. Bibirnya mengulas senyum bahagia karena Jesika sudah kembali. Jesika hanya mengulas senyum tipis dan memeluk Jaerk erat. Semuanya terasa hambar. Kepingan ingatan tentang Janno dan Jesika semakin merasukinya.

Namun, Jesika masih belum bisa menemukan siapa itu Janno.

Di dalam ruangan terang nan dingin dan dipenuhi lemari transparan berisikan kertas itu, Jesika hanya terdiam sambil memeluk Jaerk. Jesika hanya berpura-pura bahwa ia kembali, namun kenyataannya Janno semakin membuat Jesika tidak berhenti memikirkannya.

Jesika menyerah. Tidak ada yang bisa menolongnya. Rossy juga sibuk dengan pekerjaannya, sementara Ibu tidak percaya dengan kata-katanya karena termakan omongan Jaerk.

Jaerk melepaskan pelukannya dan mengelus rambut Jesika. "Aku tidak sabar, satu minggu lagi kita akan menikah. Kalau perlu sekarang saja, bagaimana?"

Jesika terkekeh kecil dan tersenyum tipis. Tanpa ekspresi senang. Tanpa menatap Jaerk. "Terserah kamu saja, Jae."

Jaerk menyadari perubahan raut wajah Jesika. "Kamu kenapa sayang? Apa kamu masih kepikiran Jan—"

Krieeeettt...

Seorang pria bermata elang mengangkat alisnya. Jaerk dan Jesika menoleh ke arahnya. Pria itu menelan ludah melihat tindakan Jaerk dan Jesika yang sepertinya tidak bisa diganggu.

Jaerk melepaskan tangannya dari rambut Jesika dan menghampiri pria itu. "Selamat siang, Bos Devano. Tumben banget ke sini."

Pria bermata elang itu tersenyum manis dan merangkul Jaerk. "Baik, Bos. Boleh gue ganggu sebentar?"

Jaerk tidak lagi menatap Jesika yang hanya berdiri mematung menatap kedua pimpinan perusahaan itu. Jaerk mengangguk. "Bisa dong, Bos. Apa sih yang gak buat temen gue satu ini?"

Devano pun melangkah mendekat ke meja kerja Jaerk. "Ngobrolnya mending sekalian pacar lu tahu deh. Soalnya ini menyangkut kerja sama Internasional kita." Devano duduk di salah satu bangku depan meja kerja Jaerk, bersebelahan dengan Jesika yang juga hendak duduk.

"Oh iya, iya. Gimana, Dev? Serius gak apa calon istri gue di sini?"

Devano melirik Jesika yang mungil dengan memakai baju setengah perut dan rok mini. "Gak apa, Jae. Astaga, ini calon istri apa udah istri beneran? Pakaiannya bikin salah fokus," goda Devano kepada Jaerk. Jesika hanya terdiam dan terkekeh kecil sambil mengalihkan pandangannya.

Jaerk terkekeh, lalu menggenggam tangan kanan Jesika. "Masih calon, bos. Kemarin, dia baru aja koma karena ketabrak mobil. Tapi, untunglah Tuhan baik. Jesika kembali lagi sama gue."

Devano mengerjapkan matanya berkali-kali, lalu melirik Jesika sekilas. "Oh gitu. Untung saja kekasih lo ini bisa selamet ya. Bagus deh kalau gitu." Devano menghela napas, lalu melanjutkan, "Ya sudah. Jadi gini, Jae, jadi Pak Frans dari perusahaan sebelah pengen banget ketemu sama Bos perusahaan ini. Dia gak mau ketemu sama gue, katanya gue cerewet."

Jaerk memudarkan senyumnya. "Yah, jadi dia mau ketemunya sama gue? Di Bangkok?"

"Iya, bos. Pernikahan lo minggu depan kan, Jae?"

Jaerk melirik ke arah Jesika dengan bibir mengerucut dan pandangan sedih. Ia mengeratkan genggaman tangannya. "Jes, maaf ya. Ini benar-benar penting. Aku gak bisa ninggalin proyek ini."

Devano menggeleng, menyela pembicaraan Jaerk. "Eh, ya sudah gue saja yang gantiin lo. Pak Frans pasti mengerti kalau soal pernikahan kok. Masa lo harus merelakan pernikahan lo tertunda lagi, Jae?"

Jaerk mendengus lalu kembali menatap Devano. "Ya lo sendiri tahu gimana Pak Frans. Dia gak akan mau bagaimana pun alasannya." Jaerk menatap Jesika nanar. "Gak apa ya, Jes, aku tinggal?"

Jesika menelan ludah. Entah mengapa hatinya begitu lega, dengan begitu ia bisa mencari Janno. Jesika pun menyunggingkan senyum tipisnya. "Gak apa, Jae. Nanti, aku yang persiapin semuanya aja. Pas kamu kembali, kita bisa langsung melaksanakan pernikahan."

"Nah, ide bagus. Sekalian aja gue yang bantu persiapan pernikahannya, gimana?", tambah Devano, membuat Jesika dan Jaerk membelalak.

"Astaga, gak perlu, Pak. Saya bisa sendiri," ucap Jesika sambil menundukkan kepalanya sedikit. Entah mengapa, Jesika merasa begitu canggung.

Jaerk pun mengangguk dan menunjukkan rentetan giginya. "Bantu jagain calon istri gue aja, Dev. Mohon bantuannya."

Jesika menggeleng dan melebarkan matanya. "Gak usah, Jae! Aku bisa sendiri."

Jaerk menatap Jesika dalam dan mengeratkan genggaman tangannya. "Aku gak mau kamu celaka lagi. Aku juga percaya kalau Devano gak mungkin ngerebut kamu dari aku. Aku rasa lima tahun kita sudah menjawab semuanya."

Jesika terdiam atas kata-kata Jaerk. Devano pun memainkan ponselnya, mengabaikan percakapan di sekitarnya. Jesika melirik Devano sekilas, entah mengapa hatinya berdesir.

"Dev, lo gak keberatan kan bener?", tanya Jaerk lagi. Devano menggeleng. "Gak sama sekali merepotkan, bos. Ini demi pekerjaan juga, jadi gue gak masalah harus ngejagain kekasih orang. Santai."

Jaerk menatap Devano dan Jesika bergantian. "Iya, sayang. Aku harap mata kamu jangan gatel ya karena kamu mau cari Janno yang ada di dalam mimpi kamu itu."

Deg!

Deg!

Kedua jantung mereka sama-sama hampir copot. Jesika membelalakan matanya, lalu melirik Devano yang juga membelalakan matanya.

Jesika tertawa kikuk, lalu memukul pelan tangan Jaerk. "Jangan dengerin Jae, Pak! Saya sudah gak banyak halusinasi lagi. Bapak tenang aja, saya gak gila." Jesika melirik Jaerk tajam, lalu berbisik, "Jae, Jangan ngomong soal itu di sini! Kalau Pak Devan anggap aku gak waras gimana?"

Jaerk mendengus. "Ya emang kamu kayak gak waras, mikirin pria gak jelas dari mana itu sampai mengabaikan aku."

Jesika mengerucutkan bibirnya. Ia merasa Jaerk sudah kelewatan. Dadanya terasa sakit mencerna kalimat Jaerk, seakan ia adalah perempuan yang tidak waras. Bagaimana pendapat Devano yang mendengar semua itu? Mata Jesika berkaca-kaca. Kakinya langsung menopang badannya untuk berdiri. "Iya, Jae. Terserah kamu lah maunya gimana. Aku sudah memutuskan untuk melupakan dia, tapi kamu malah mancing lagi. Sudahlah, Jae, pergi saja. Aku pulang."

Jesika pun beranjak dari tempatnya untuk keluar ruangan. Sudah terlambat bagi Jaerk menahan Jesika, karena langkah cepat Jesika. Jaerk menghela napas dan menepuk dahinya sendiri. Jaerk memejamkan matanya dan menarik napas dalam-dalam.

Devano yang terkejut atas banyak faktor memilih untuk terdiam dan menepuk bahu Jaerk pelan. Apakah semuanya karena dirinya?

.

.

.

***

.

.

.

Matahari semakin bergerak ke arah barat. Devano mengendarai mobilnya dengan malas. Ia masih memikirkan kejadian tadi siang. Apakah ini adalah akibat kehadirannya?

Jaerk sudah mencoba menghubungi Jesika, namun tidak diangkat. Devano pun memberikan solusi lain, namun tidak ada yang mempan. Devano pun bertahan hingga beberapa jam untuk menenangkan Jaerk, dan meminta Jaerk untuk fokus dengan pekerjaannya sementara Devano yang akan mengurus ini.

Pikirannya pun melayang ke kata-kata pancingan masalah Jaerk. Janno. Nama itu sempat disebutkan, membuat Devano semakin pusing. Hatinya berdesir saat kembali mengingat tubuh mungil calon istri Jaerk yang ia sendiri tidak tahu siapa namanya.

Deg!

Devano langsung melihat sosok yang sedang ia pikirkan duduk di batu pembatas taman. Devano langsung memberhentikan mobilnya dan menghampiri gadis mungil tersebut. Jesika langsung menyadari kehadiran Devano, lalu menyeka air matanya dan menyungging senyum tipis.

"Nama kamu siapa?" , tanya Devano dengan tegas di hadapan Jesika. Jesika menahan air matanya dan menjawab, "Jesika, Pak. Kenapa ya? Jaerk gak kasih tahu? Apa Bapak mencari calon istri Jaerk tapi tidak yakin kalau itu saya?"

Deg!

Namanya Jesika. Nama yang selalu terngiang di kepalanya selama berbulan-bulan. Membuatnya mati penasaran dan gagal fokus dalam pekerjaan. Menjadikannya sebagai alasan untuk berhenti bekerja sejenak, menyerahkan semuanya kepada Jaerk dengan alibi bahwa Pak Frans ingin menemui Jaerk.

Dusta. Semua itu hanyalah alibi.

Devano menatap mata Jesika dalam-dalam. Secara otomatis, tatapan mereka terkunci. Jesika membulatkan matanya dan menatap Devano dalam. Ia juga merasakan ada sesuatu di dalam diri Devano.

Devano langsung mengerjapkan mata dan kembali bertanya, "Benar nama kamu Jesika? Jesika Irawan?"

Jesika mengernyitkan dahi. "Maaf, Pak. Mungkin, Bapak salah informasi. Nama panjang saya Jesika Anindya, bukan Jesika Irawan."

Deg!

Kepala Devano semakin terasa nyeri. Apa ingatannya salah? Apa sebenarnya wanita yang ia cari adalah Jesika Anindya? Mata gadis di depannya ini sudah melegakannya. Ia seperti menemukan sesuatu... tetapi bukan Jesika Irawan.

Jesika nyengir. "Ada apa ya, Pak? Yuk, kalau mau ngobrol lebih baik duduk aja di taman." Jesika pun menarik tangan dingin Devano untuk masuk ke dalam taman. Tangan hangat Jesika berhasil membuat Devano menurut. Meninggalkan mobilnya yang terparkir begitu saja. Meninggalkan seluruh kekhawatiran dan masalahnya. . .

.

.

.