Devano meraih ponselku dan berbicara. Ia tahu apa yang hendak kutanyakan dibalik mulutku yang terasa kaku. Dunia seakan hancur. Hidupku hancur. Apa yang harus kukatakan... Aku tidak bisa menjaga amanat orang tuanya yang sudah meninggal karena kecelakaan mobil.
Aku menangis sekencang-kencangnya di pelukan Devano. Devano tidak mengatakan apapun dan hanya menepuk punggungku. Kehadiran Janno mempersulit hidupku. Mengapa aku harus menanggapi Janno yang tidak sama sekali ada di dunia ini?! Mengapa aku bisa dengan lalai mengabaikan Jaerk yang sudah berjuang untukku bertahun-tahun?!
Aku merasa bersalah kepada Jaerk. Aku benar-benar bukan wanita yang baik. Aku...
"Ini bukan salahmu, Jes. Jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri. Jangan pernah berusaha pergi dari takdir. Aku mohon..."
Ucapan Devano terasa sangat familiar bagiku. Air mataku berhenti mengalir. Seluruh ingatan tentang mimpi itu muncul sekelibat. Janno. Seorang perempuan cantik nan cerewet dan sebuah benang merah terlilit di masing-masing kelingking, menghubungkan satu sama lain... Segala alasan mengapa diriku berdiri di sini dan memeluk seseorang yang baru saja dikenalnya namun telah meluluhkan hatiku.
Aku langsung melepaskan pelukan Devano dan menatapnya. "Aku ingat, No. Aku tahu mengapa mimpi kita berhubungan. Aku tahu mengapa takdir selalu mempertemukan kita. Aku tahu, No! Aku tahu mengapa Jaerk meninggal. Aku tahu alasan kita saling nyaman. Aku tahu mengapa kita sangat dekat, sehingga aku tidak bisa tidur hanya karena memikirkanmu. Aku tahu itu, Janno."
Devano mengernyitkan dahinya. Aku membelai wajahnya yang berkeringat karena panik dengan tanganku yang bergetar. Rindu. Aku telah menemukan apa yang kurindukan.
"Janno, aku Jesika Irawan. Apakah kau mengingatku?"
Jantungku tidak bisa berhenti berdegup kencang melihat Devano yang membelalak kaget. Devano menghela napas dan memelukku. Air matanya menetes. Apakah kami merasakan hal yang sama?
"Benang merah itu masih melilit kita, Janno! Aku tahu ini kamu, sahabatku. Sahabat yang sangat Jesika Irawan cintai, yang membuat Jesika terpaksa menggunting takdir itu dengan naifnya," jelasku, memeluk erat Devano yang adalah Janno.
Devano mengangguk dan menjawabku dengan suara parau, "Iya, sayangku, Jesika! Aku menyadarinya sejak pertama kita bertemu, namun aku tidak yakin. Akhirnya, aku menemukanmu lagi, cintaku. Jesika yang cantik dan cerewet." Devano melepaskan pelukanku dan melumat bibirku dalam-dalam. Aku pun membalasnya, menyalurkan rasa rinduku kepadanya. Kepada Janno.
"Aku mencintaimu, Jesika. Kamu harus tahu itu. Janno tidak pernah mengabaikanmu. Janno sendiri yang memutuskan Reva karena tidak bisa melupakan Jesika-nya. Hatinya sepenuhnya milik Jesika," jelas Devano lalu kembali melumat bibirku.
Aku pun tenggelam dalam suasana, begitu juga dengan Jaerk yang lama-lama ikut tenggelam di dalamnya.
.
.
.
***
.
.
.
Aku dan Devano duduk bersimpuh di samping batu nisan Jaerk. Air mataku menetes. "Terima kasih, Jae, kamu telah setia bersamaku hingga akhir hayatmu. Takdir memang begitu menyakitkan, tetapi ini adalah kenyataannya. Aku yakin, kamu akan mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik daripada aku di sana. Aku tidak akan pernah melupakanmu, Jae."
Aku mengecup batu nisannya sambil terisak. Dadaku terasa sesak. Walau aku telah menemukan apa yang kucari, namun semuanya masih terasa menyakitkan. Rasa bersalahku semakin memuncak.
"Maafkan aku, Jae. Selama ini, aku hanya menyusahkanmu. Aku belum menjadi kekasih yang sempurna untukmu. Aku bahkan berniat ingin mengkhianatimu karena Janno telah muncul. Maafkan aku." Isak tangisku semakin kencang, semakin sesak ketika aku menolak bertemu dengannya karena hanya ingin mencari tahu siapa Janno. Bahkan, perasaan cintaku kepada Jaerk sempat menghilang...
Devano pun memelukku, membuatku terhenti bicara. Sekarang, Devano yang berbicara kepada Jaerk, "Maafin gue yang sepertinya sudah merebut calon istri lo. Gue gak bisa jaga dia dengan baik, malah mencurinya dari lo. Tetapi, terima kasih juga karena lo tidak menghantui gue yang berarti lo merelakan Jesika buat gue kan?"
Devano terkekeh dan air matanya kembali menetes. "Gue berjanji akan menjaga Jesika baik-baik, seperti apa yang sudah lo lakukan selama ini untuk dia. Terima kasih sudah menjaga Jesika, bos." Suara berat dan parau Devano terhenti, tergantikan dengan air mata. Kami berdua pun hanya menangis. Menangisi takdir yang menyedihkan yang menimpa kita.
Beberapa menit kemudian, Devano menatapku dalam. "Aku akan menikahimu segera, Jesika-ku. Aku janji akan segera melamarmu.."
Deg!
Bunga-bunga layu langsung bermekaran di hatiku. Entah mengapa, aku sangat ingin Devano mengatakan hal itu... Namun...
Aku menunduk. "Aku tidak siap dalam waktu dekat, No. Masih ada Jaerk yang begitu membekas..."
Devano menarik wajahku agar menatapnya dengan lembut. Ia mengangguk. "Baiklah, Jes. Aku akan menunggu sampai kapan pun. Karena sekalipun kamu menggunting benang merah itu, kita masih bisa bertemu kan?"
Sriiiing!
Aku mengernyit ketika benang merah tiba-tiba menghubungkan kedua jari kelingking kami dengan warna merah menyala dan gemerlapan. Aku dan Devano pun saling menatap dan melempar senyum satu sama lain.
Devano pun menggenggam tangan kiriku menggunakan tangan kirinya yang juga terlilit benang merah. "Ini akan mengingatkan kita, bahwa sejauh apapun aku atau kamu pergi, benang ini akan selalu mempertemukan. Aku rela menunggu kapan pun untukmu, Jes."
Bibirku langsung mengulas senyum lebar. Aku pun membalas genggaman tangannya lebih erat. "Aku juga, Janno."
Devano pun perlahan mendekatkan wajahnya ke wajahku, lalu melumat bibirku kembali. Aku pun membalas lumatannya. Hanya ada cinta dan kerinduan yang amat besar di sana. Aku memegang kedua pipi Devano dan memperdalam ciuman kami.
Aku tidak takut lagi. Bersama dengan Janno, semuanya akan menjadi lengkap. Untuk Jaerk, kamu juga bahagia kan bisa melihat aku dan Janno bersama?
.
.
.
END