"Bapak disuruh Jaerk mencari saya ya?", tanya Jesika ketika sudah duduk bersebelahan dengan Devano di sebuah bangku taman bawah pohon lebat.
"Saya hanya melakukan apa yang Jaerk suruh untuk menjagamu saat dia pergi. Ia tidak menyuruh saya mencarimu, tetapi saya inisiatif. Jaerk merasa bersalah dengan kata-katanya," jelas Devano dengan lembut.
Jesika mengalihkan pandangannya. "Lalu menurut Bapak apa saya harus kembali bertemu dengan Jaerk sebelum ia pergi ke sana?"
Devano tersenyum. "Sebaiknya begitu."
Jesika terdiam. Ia masih tidak menatap Devano yang masih saja berusaha menatap Jesika. Air mata Jesika kembali menetes, namun ia menyekanya cepat-cepat.
Devano yang menyadari bahu Jesika yang bergetar segera menarik Jesika menghadapnya. Air mata Jesika langsung mengalir ketika melihat Devano. Tanpa bicara, Jesika hanya menangis di hadapan Devano.
"Janno. Apa kau berharap bertemu dengannya?" , tanya Devano sambil menaikkan alis dan menatap gadis di depannya nanar. Tangan Devano yang kekar terlalu kaku untuk merengkuh badan mungil Jesika.
Jesika mengangguk, lalu mengusap air matanya dan berusaha berhenti menangis. "Apa Bapak mengenal pria yang bernama Janno?"
Devano menggeleng. "Saya tidak mengenal orang yang bernama Janno. Tetapi, saya akan membantumu mencarinya sembari mempersiapkan pernikahanmu. Bagaimana?" Devano menyunggingkan senyum dan mengangkat sebelah alisnya. Jesika pun tertegun menatap Devano yang membuatnya lega seketika. Bukan dengan kata-katanya. Tetapi dengan tatapannya...
"Apa Bapak serius ingin membantu saya?"
Devano mengangguk dan tersenyum. "Saya akan membantumu, tetapi sebagai imbalannya kamu harus kembali menemui Jaerk sekarang."
Devano langsung menarik tangan Jesika dan membawanya ke dalam mobil. Jesika pun pasrah dan mengikuti mau Devano. Demi ketenangan hatinya. Demi pernikahannya berjalan dengan lancar.
.
.
.
***
.
.
.
Jaerk langsung memeluk Jesika dengan erat. Jesika membenamkan wajahnya di dada Jaerk. Jesika tidak merasakan apapun yang mengharuskannya untuk memeluk Jaerk. Semuanya terasa hambar. Devano yang melihat mereka hanya tersenyum tipis.
Jaerk melepaskan pelukannya dan menatap calon istrinya penuh penyesalan. "Maafin aku, Jes. Aku bakal pergi malam ini, kamu gak apa-apa kan?"
Jesika mengangguk, lalu membelai wajah Jaerk. "Aku gak apa-apa, Jae. Kamu uruslah pekerjaanmu, biar aku di sini yang mengurus semuanya. Tetapi, berapa hari kamu di sana?"
"Lima hari, Jes. Hanya lima hari. Aku akan selalu berkabar ke kamu tentang keadaanku, ya?"
"Seperti biasa, Jae. Aku juga akan kasih tahu perkembangan rencana pernikahan kita," ujar Jesika dengan tersenyum.
Cup!
Jaerk mengecup bibir Jesika sekilas. "Sekarang aku tenang, baby. Terima kasih sudah mengerti." Jaerk menatap Jesika begitu dalam dan lembut namun Jesika hanya mengangguk pelan.
Ehem.
Jesika dan Jaerk menoleh ke sumber suara. Mereka lupa kalau masih ada Devano yang menyilangkan kedua tangannya memandang mereka.
"Hati-hati, ada jomblo di sini. Mending sekarang Jaerk pulang dulu ambil baju dan segala perlengkapan lalu ke bandara. Lo bawa berkas-berkasnya, jangan sampe ada yang ketinggalan," pesan Devano dengan tegas, lalu menghampiri meja kerja Jaerk dan membantunya. Jaerk mengernyit melihat tindakan Devano, tidak biasanya ia begitu.
Jesika pun membantu Devano membawa seluruh berkas penting Jaerk, sementara Jaerk membereskan barangnya.
.
.
.
***
Jesika's POV
.
.
.
Entah mengapa, rasanya begitu berat merelakan pria berambut pirang dan berkulit pucat itu meninggalkanku. Jaerk, satu-satunya pria yang selalu ada untukku selama lima tahun. Perasaan itu akhirnya kembali lagi, menambah keyakinanku untuk menyiapkan pernikahan dengan sebaik-baiknya.
Jaerk mengelus rambutku dan mengecup dahiku. "Baik-baik di sini, sayang. Aku akan pulang lima hari lagi." Jaerk melirik Devano yang berada jauh di belakang kami. "Jagain calon istri gue ya. Bantu dia kalau mau siapin apa-apa, Dev. Gue percayain dia sama lo."
Aku melirik Devano yang mengangguk sambil memiringkan bibirnya. "Tenang aja, bos."
Jaerk pun melepaskan genggaman kami dan membawa kopernya, berjalan meninggalkanku. Jaerk melambaikan tangannya.
"Hati-hati, sayang!" , seruku sembari membalas lambaian tangannya. Jaerk mengangguk dan kembali melangkah pergi meninggalkanku. Kini, tinggallah aku sendiri dan Devano di depan ruang check in bandara terbesar di Jakarta.
Aku pun menghampiri Devano yang sedang melihat ponselnya. "Lalu sekarang Bapak akan mengantar saya pulang?"
Devano mendongakkan kepalanya dan mengangguk. "Tentu saja, Jes. Jangan panggil saya Bapak, kamu bukan bawahanku."
"Tidak apa, Pak, saya bisa pulang sendiri. Terima kasih sudah membantu Jaerk dalam pekerjaannya," ucapku sambil tersenyum lalu berjalan meninggalkannya yang masih fokus dengan ponselnya. Aku sudah cukup merepotkan pria itu. Aku memutuskan untuk menyudahi pencarianku terhadap Janno, karena itu sama sekali tidak ada gunanya. Masih ada Jaerk yang berada di sisiku, untuk apa aku harus mencari hal lain yang tidak pasti?
Greb!
Aku menoleh ke belakang. Mataku membelalak ketika Devano menahan tanganku. Ia menatapku, membuatku terkunci di dalam sana. Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang berhasil membuatku luluh hanya dengan menatapku.
"Saya antar kamu pulang, Jesika," ucapnya dengan dingin, lalu segera menarik tanganku untuk berjalan bersamanya.
.
.
.
***
.
.
.
Pertemuanku dengan Devano membuatku tidak bisa tidur. Entah mengapa, aku merasa telah menemukan bagian diriku yang hilang. Tatapan matanya. Tangan kekarnya. Suaranya. Semuanya membuat pikiranku tidak dapat beristirahat. Ia berkata akan membantuku mencari Janno, yang jelas-jelas hanyalah khayalanku. Bahkan, ia juga terkejut saat mengetahui nama panjangku.
Devano memang datang begitu saja, namun sikap anehnya membuatku bingung. Apakah Devano adalah takdir Tuhan agar aku bisa bertemu dengan Janno dan menyelesaikan masalahku?
Aku menceritakan semua ingatan mimpiku kepadanya, menjawab pertanyaan mengapa aku bisa terpikir nama Janno. Devano hanya diam tidak berkutik. Aku tahu, ia pasti mengetahui satu hal. . .
Keesokan harinya, aku dan Devano kembali bercerita setelah memastikan kue pernikahan siap pada tanggal yang sudah ditentukan.
"Bagaimana perasaanmu saat mengingat nama Janno, Jes?", tanyanya sambil menatapku dalam-dalam. Tatapan Devano membuatku merasakan bahwa Janno berada di sekitarku. Aku pun menggenggam tangannya. "Seperti inilah rasanya ketika aku mengingat Janno."
Jantungku langsung berdegup kencang dengan ekspresi Devano. Pada hari itu, kami tidak sama sekali menemukan keberadaan Janno. Namun, aku hanya bisa merasakannya melalui Devano.
.
.
.
***
Devano's POV
.
.
.
Sudah beberapa hari, aku membantu Jesika dalam persiapan pernikahannya. Aku memang sengaja terus menemaninya agar bisa memastikan dugaanku selama ini. Aku selalu nyaman berada di dekatnya, bahkan sangat ingin memeluknya.
Jesika Irawan. Mimpi terakhirku yang hanya sekilas telah kembali. Aku seperti hidup di dalam mimpi itu lagi. Aku sangat mengingat wajah Jesika Irawan. Ia cantik. Badannya mungil.
Kalian tahu, aku sudah memimpikan hal itu sejak kecil. Aku pun berusaha mengabaikannya karena itu hanyalah mimpi. Tetapi, ketika aku bisa mengetahui nama gadis cantik nan cerewet itu, hatiku gundah gulana. Pekerjaan di kantor tidak pernah beres, yang ada hanyalah Jesika.
Sikapnya sangat bertolakbelakang dengan Jesika Anindya—milik Jaerk yang kini berada di sampingku, menantikan jawabanku tentang Jesika Irawan. Jesika Irawan adalah seseorang yang sangat tegas dan tidak pernah menangis, tetapi aku sangat mengingat bahwa aku telah membuatnya menangis. Aku juga teringat betapa besar perasaanku padanya, namun perempuan itu mengabaikanku dan membuatku menyukai perempuan lain.
Sepanjang hari hari bersamanya, kami hanya bercerita. Acara pernikahan Jesika dan Jaerk sudah semakin dekat, semakin erat juga aku dengannya. Jantungku bahkan sudah berdegup kencang ketika berada di dekatnya. Apakah Jesika juga merasakan hal yang sama?
Secara tidak sadar, kami sudah melakukan kontak fisik yang berlebihan. Aku tidak menyesalinya, sebelum Jesika menjadi istri orang lain...
Ah, tidak, Devano! Kamu sudah gila berpikir seperti itu, hah?!
Namun, aku tidak bisa mengelaknya bahwa ia sangat mirip dengan Jesika Irawan, walaupun dengan sikap dan tubuh yang berbeda.
.
.
.
***
Jesika's POV
.
.
.
Ini adalah hari terakhir aku dan Devano dapat bersama. Bersamanya, aku bisa merasakan hal yang berbeda. Persis seperti saat aku mengingat nama Janno. Entah mengapa, seperti ada yang mengikat aku dengannya. Aku tidak bisa sama sekali mengelak kontak fisiknya, karena aku sungguh nyaman.
Aku bahkan baru menyadari bahwa Jaerk sudah berhari-hari tidak mengabariku.
Perasaan khawatirku memuncak. Besok adalah hari pernikahan kami, tetapi Jaerk masih tidak bisa dihubungi.
"Bagaimana ini, Dev?! Jae masih belum ada kabar!" Air mataku menetes. Devano memelukku begitu erat. "Sabar, Jes. Aku sudah menelepon tapi belum ada kabar juga. Sabar, ya." Tangannya yang kekar menepuk punggungku pelan.
Tring!
Aku langsung meraih ponsel dan mengangkat teleponnya. Bukan Jaerk yang meneleponku.
"Halo, apakah benar ini dengan saudari Jesika Anindya?"
Aku langsung menjawabnya, "Iya, saya sendiri. Ada apa ya, Kak?"
"Apa saudari tahu tentang kejadian jatuhnya pesawat Boeing 745 di Laut Cina Selatan?"
Deg!
Rasa khawatirku mulai muncul. Apa jangan-jangan...
"Halo? Ini hanyalah keluarga saudara Jaerk Thomas yang saya bisa hubungi."
Deg! Deg! Air mataku langsung menetes. "Ada apa dengannya, Kak?! Jaerk kenapa?! Apa Jaerk naik pesawat itu?!"
"Dengan sangat menyesal, saya harus mengatakan iya, Kak. Tubuhnya sudah ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa."
Deg! Deg! Deg!
Ponselku langsung terhempas ke bawah. Nyawaku seperti sudah diambil. Air mataku mengalir deras. Devano mengambil ponselku dan memelukku. Mengapa semuanya menjadi sesakit ini? Mengapa aku harus merelakannya pergi ke sana?! Mengapa saat kami mau menikah, ada saja halangannya... Ada saja yang menghambat...
.
.
.