Aku membalas uluran tangannya tanpa menatapnya, juga tidak mengucapkan apapun. Tangan Janno juga tetap berada di posisi yang sama. Benang merah itu semakin menyala terang. Aku menghela napas. Jangan biarkan Janno melihatnya, Tuhan. Biarkanlah ia bahagia.
Janno mengangkat tangan kirinya ke pipiku. Ia mengusap air mataku menggunakan jari telunjuknya. Jantungku berdegup begitu kencang. Aku menelan ludahku. Wajahku terasa panas. Sesegukanku mulai terhenti.
"Kenapa menangis? Apa kamu merindukanku?"
Deg!
Pertanyaan yang tidak perlu ku jawab, karena sang benang merah sudah tahu jawabannya. Benang merah itu semakin menyilaukan. Aku tidak berani menatapnya. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Aku menautkan jariku satu sama lain dan memainkan satu sama lain.
Tangan Janno kembali menggenggam tanganku. Tangannya yang hangat mendominasi tanganku yang sudah mendingin. "Jesika gugup? Tidak biasanya ia gugup di hadapanku? Ada apa sih ini? Chessa, coba jelaskan padaku." Janno tertawa.
Janno begitu manis...
Tidak, tidak! Aku langsung melepaskan genggamannya dan mengalihkan pandangan. Chessa menggeleng. "Jesika tidak apa-apa kok, Janno. Dia sepertinya terlalu senang bersama—"
Senyum Janno memudar. "Bersama Jaerk ya? Iya, memang ia adalah pria yang sangat tampan dan ramah."
Aku hanya tersenyum tipis. Aku berusaha menutup mulutku serapat mungkin. Aku hanya melirik Chessa sekilas.
Janno kembali tersenyum. "Oh ya, sudah berapa lama hubungan kalian? Apakah selama hubungan persahabatan kita, Jes?"
Aku menggeleng. "Tidak, Janno. Kami sudah empat bulanan menjalaninya. Bagaimana kamu dengan Reva?"
Janno sedikit menundukkan kepalanya. "Reva tidak kuat untuk berhubungan jarak jauh, Jes. Ia memutuskan hubungan kami.."
Deg! Aku terkejut ternyata Reva juga menyakitinya, bahkan lebih daripada yang sudah kulakukan. Aku harus menahan emosiku. Aku bisa melihat bahwa Janno memang masih mencintai Reva.
"Astaga, Janno! Yang benar saja Reva memperlakukanmu seperti itu? Kan sekarang kamu sudah kembali, perjuangkanlah dia lagi, Janno!"
Janno mengangguk pelan. Wajahnya sendu. "Aku sudah berusaha, tetapi ia malah memindahkan tasku ke tempat duduk lain. Tidak kusangka ternyata Reva bisa melakukan itu kepadaku."
Aku menatapnya nanar. Hatiku juga sakit melihatnya seperti ini. Aku memegang kedua pundaknya dan menyunggingkan senyum yang paling manis. "Reva mungkin hanya butuh waktu sendiri, Janno. Jangan sedih dulu! Tetap semangat, Janno! Kamu masih mencintainya kan? Perempuan itu perlu diperjuangkan, maka itu kamu harus berusaha sekuat tenaga."
Janno meraih salah satu tanganku yang ada di pundaknya dan mengelusnya lembut. "Jes, entah mengapa Tuhan selalu mempunyai cara untuk membuatku kembali semangat hanya dengan kehadiranmu. Terima kasih, Jes."
Deg!
Astaga, Tuhan...
Wajah merahku tidak bisa disembunyikan. Aku melirik sekilas ke Chessa. Chessa tersenyum menggodaku sebentar sebelum Janno menoleh ke arahnya.
Janno mengernyit. "Kenapa tersenyum begitu, Chess?" Tangannya masih menggenggam tanganku. Chessa menggeleng, lalu berlari pergi meninggalkanku dan Janno.
Janno pun melepaskan tanganku perlahan, lalu menarikku untuk duduk. Dengan semangat, ia menceritakan semua pengalamannya selama di Dubai. Hatiku selalu bergetar ketika bersamanya. Rasanya semua kembali normal sebelum aku mencintainya, tetapi benang merah yang menghubungkan kami membuatnya berbeda. Harapanku mulai kembali tumbuh...
Tidak, Jes!
Janno bukan untukmu. Benang itu hanya ilusi dan keinginan terdalammu. Aku harus berjuang untuk Jaerk. Pria yang amat mencintaiku, dan sebaliknya...
.
.
.
***
.
.
.
"Jaerk!" panggilku sambil menahan tangannya yang berkulit pucat dan tanpa bulu itu. Jaerk langsung menoleh ke arahku, masih menggenggam tanganku.
"Gua dengar Janno dan Reva sudah putus, Jes." Tatapan Jaerk begitu dingin.
Aku mengernyit dan mengelus tangannya. "Terus apa? Maafkan aku, Jaerk. Aku tidak bermaksud meninggalkanmu begitu, Jae—"
"Lalu apa, Jes? Gua tahu, lo masih cinta kan sama Janno? Gua sakit, Jes. Gua gak bisa ngelihat lo kala—"
Aku langsung menariknya pergi dari koridor sekolah. Aku tidak mau mengundang kontoversi, apa lagi sampai terdengar oleh Janno.
Aku membawanya ke taman sekolah rahasia, sama seperti tempat dimana aku mengetahui bahwa Janno adalah "benang merah"ku.
Jaerk menatapku dalam, namun tajam. "Lo masih cinta sama Janno kan? Mereka udah putus, Jes."
Aku menggeleng cepat dan mencubit kedua pipi Jaerk. "Sudah lama aku gak cubit pipi kamu."
Jaerk menepis tanganku. "Apa maksud kamu pergi terus datang lagi, Jes? Aku sepertinya sudah lelah, Jes. Aku tahu hati kamu hanya untuk Janno seorang. Jaerk tidak pernah mendapat tempat sedikitpun di hatimu!"
"Cukup, Jaerk!", teriakku karena sudah muak dengan kata-kata itu.
Deg!
Hening. Jaerk berusaha mengatur napasnya. Ia terus menatapku. "Aku ingin kamu bahagia, Jes. Bahagiamu bukan denganku. Aku selalu membuatmu susah."
"Siapa yang bilang begitu, Jae?! Aku tidak pernah merasa begitu dan tidak akan pernah merasa begitu. Bersamamu aku bahagia kok."
Jaerk menggenggam kedua tanganku dan meletakkannya di kedua pundaknya. "Tidak, Jes. Kamu tidak bisa berbohong kepadaku. Aku sudah bisa merelakanmu dengannya sekarang, Jes."
Aku berusaha membantahnya, membuatnya percaya, "Enggak, Jaerk! Aku gak mencintai Janno lagi!"
"Tapi hati kamu selalu meminta Janno, Jes. Aku tahu. Sikapmu berbeda saat ke aku dan ke Janno. You're totally different!"
"No, im not, Jae! Itu cuma perasaan kamu aja!"
"Iya, itu cuma perasaan kamu aja kalau Janno gak mencintai kamu!"
Deg!
Mengapa Jaerk jadi se-dingin ini? Mengapa ia tega mengucapkan kata-kata seperti itu kepadaku? Mataku sudah mulai berkaca-kaca. Aku mengalihkan pandangan dan mengusap air mataku.
"Jaerk benar kan, Jes? Aku sudah sangat tahu kamu. Aku bahkan tahu sedari awal aku hanya bermimpi untuk berjodoh denganmu. Aku tidak mau ada di dalam khayalanku itu lagi, Jes. Kita sudahi saja mimpi ini."
Aku menggeleng cepat. Dadaku sakit. Air mataku mengalir. Aku menggenggam tangan Jaerk sekuat tenaga. "Tidak, Jae. Jangan tinggalkan aku.."
Jaerk berusaha menepis tanganku, namun aku mencengkeram tangannya sekuat tenaga. "Gak, Jaerk! Kamu gak boleh tinggalin aku! Kita harus sama-sama bermimpi, Jaerk!"
"Hanya aku saja yang bermimpi, Jes. Janno sudah ada di depan matamu, maka kejarlah. Aku tidak apa-apa, aku bisa melupakanmu," ucap Jaerk dengan suara bergetar. Jaerk berusaha mengalihkan pandangannya, tidak ingin melihatku menangis. Aku menahannya dengan sekuat tenaga.
Greb!
Deg! Mataku membelalak kaget ketika melihat Janno di antara kami berdua. Benang merah itu semakin bersinar terang.
Janno menarik tanganku menjauh dari Jaerk. Sesegukanku mulai terhenti.
"Kenapa lo malah bikin Jesika nangis, Jaerk? Apa gak cukup ancaman gue membuat lo takut?"
Aku menelan ludah. Tanganku mulai berkeringat karena gugup. Ancaman itulah alasan
Jaerk mengangkat sudut bibirnya dan terkekeh. "Jes, ini sudah di depan mata! Kejarlah! Kenapa didiemin aja?"
Aku melepaskan genggaman Janno dan kembali menggenggam tangan Jaerk. "Jae, kenapa kamu kayak gini sih?!"
Jaerk langsung menepis tanganku hingga tersenggol ujung bangku taman. Aku meringis, namun Jaerk tidak menghiraukanku. Jaerk pun bangkit berdiri. "Jaga saja sahabat rasa pacar lo sendiri, Janno! Gua pergi."
Aku langsung bangkit berdiri dan berusaha menahan tangan Jaerk. Air mataku kembali mengalir deras. Dengan kasar, Jaerk menepis tanganku hingga membuatku jatuh tersungkur di lantai. Jaerk langsung pergi begitu saja...
Air mataku mengalir deras. Dadaku begitu sesak dan nyeri. Mengapa Jaerk tega melakukannya? Aku benar-benar mencintainya... Aku hanya bahagia bersamanya.
Janno mengulurkan tangannya ke arahku. Melihat wajahnya membuatku semakin sakit, tetapi aku tidak bisa mengabaikannya. Aku menerima bantuannya. Janno pun membawa tubuhku yang lemas untuk kembali duduk.
Aku berusaha untuk menghilangkan sesegukan ini dan menatap Janno. Janno pun memelukku dengan erat, mengelus rambut hingga punggungku pelan.
"Kalian ada masalah apa?"
Aku menggeleng pelan. "Aku hanya—"
"Sama seperti Reva, mungkin Jaerk hanya butuh waktu sendiri. Jangan bersedih, ya, Jes. Mungkin kehadiranku juga bisa menjadi semangat buatmu, sama seperti kehadiranmu bagiku."
Janno... Mengapa kamu membuatku semakin mencintaimu?
Mengapa kamu selalu ada di saat aku membutuhkanmu, walaupun aku tidak pernah melakukannya?
Kenapa aku berharap untuk bersamamu walaupun aku selalu menyusahkanmu?
Tangisku pecah. Berada di dekatmu bukannya menenangkanku, Janno. Tetapi, berada di dekatmu justru malapetaka besar bagi dirimu sendiri.
Aku akan menjauh darimu pelan-pelan...
Aku akan mencari cara untuk mengubah takdir ini, walaupun itu mustahil. Aku tidak pantas untukmu, atau pun Jaerk...
.
.
.