Chereads / String of Heart [REVISI] / Chapter 6 - KESIALAN

Chapter 6 - KESIALAN

Jesika kembali melangkahkan kaki dengan was-was di koridor sekolah. Baru saja ia merasa hidupnya telah kembali, kini dihempaskan lagi dengan berita hoax yang menerpa. Ia sudah berencana akan menyembunyikan segalanya yang berhubungan dengan dirinya, apalagi perasaannya yang berlebihan kepada sahabat baiknya yaitu Janno Chaesar Wijaya.

Kakinya melangkah ke papan pengumuman. Biasanya, ia menempelkan pamflet berita hoax panas di situ. Dengan rajinnya ia membawa lem serta membuat pamflet yang berisi editan dan highlight beritanya. Namun, ia telah berhenti melakukan itu sejak... Janno sudah menyatakan perasaannya terhadap Reva kepadanya.

Ia memegang dadanya. Terasa sesak.

Tidak! Jesika langsung menggeleng dan melihat brosur, pamflet, dan kertas-kertas yang tertempel di papan tersebut dengan seksama. Nihil. Tidak ada kertas yang menuliskan beritanya. Atau ia datang ke sekolah lebih pagi dari biasanya?

Tidak.. tidak...

Ini bahkan lebih mengerikan daripada pamflet tertempel di papan dan orang membacanya...

Setiap murid yang melewatinya menertawai Jesika!

"Hahaha! Lebai banget deh, sampe pingsan karena ditolak Janno! Hiyahiyahiyaaa!"

Deg! Oknum itu langsung berlalu pergi. Jesika hendak berteriak, namun rasa sesak di dadaku menghentikannya. Dasar, cowo berjiwa perempuan cerewet! Awas aja!!

Jesika pun memutuskan untuk langsung masuk ke kelas. Karena baginya, lebih baik menerima cemoohan hanya di dalam satu kelas daripada tiga angkatan sekaligus.

Jesika segera meletakkan tasnya di bangku dan duduk. Ia menghela napasnya. Mengapa setelah sakit hati, hidup terasa hancur? Dulu, selama dirinya bisa bersama Janno tanpa perasaan dan tekanan semuanya baik-baik saja. Lalu, kenapa sekarang semuanya telah berubah?

Hidupnya bahkan tambah hancur karena semua orang akan mencemoohnya. Ia akan menerima karma dadakan, yang membuat hatinya tambah sesak.

Tes! Air mata Jesika mengalir. Di tengah kelas yang hening itu, isakkan Jesika muncul. Tidak ada siapapun di kelas. Hanya ada hembusan angin pelan yang selalu menemaninya.

Krieeet...

Seseorang masuk ke kelas, membuat Jesika lekas menyeka air matanya dan memandang orang tersebut. Deg! Janno...

Janno segera menghampiri Jesika dan berdiri di hadapannya. "Kamu pingsan, Jes?!" Tatapannya begitu khawatir. Janno langsung memegang kedua pundak perempuan lemah itu dan mencengkeramnya kuat-kuat.

Jesika menepis kedua tangan Janno dengan menggoyangkan kedua pundaknya. "Aku gak apa-apa, Janno."

"Kamu serius? Kamu sepertinya gak pernah pingsan, Jes. Aku tahu kamu."

Jesika tertawa hambar. "Kan bisa aja setiap orang pingsan, Janno. Hidup itu gak ada yang tahu."

Janno ikut tertawa kecil. "Iya, Jes. Kamu benar."

Jesika mengalihkan pandangannya ke arloji yang berada di pergelangan tangannya. "Sudah, Janno. Aku ingin ke toilet dulu." Ia pun berjalan keluar kelas, meninggalkan Janno sendirian. Dengan hati sesak. Pikiran kalut.

Janno tidak menghampirinya. Ia percaya dengan setiap kata-kata bohong Jesika.

Jesika pun melangkahkan kaki dengan cepat ke dalam toilet. Meluapkan segala sesaknya. Air matanya mengalir begitu deras. Jesika melirik kelingkingnya yang masih terlilit benang merah itu. Air matanya semakin deras.

"Sebenarnya ini apa sih? Kenapa... hiks.. Kenapa hanya aku.. hiks.. yang memiliki.. hiks.. benang merah ini?"

Jesika memutuskan untuk menarik benang merah yang melilit kelingkingnya sekuat mungkin, namun nihil. Benang merah itu malah semakin melemahkan kekuatannya. Menyengatnya. Hingga energinya tidak bisa dipakai lagi untuk mengeluarkan air mata. Jesika menyenderkan dirinya di tembok, memegang dadanya. Terasa esak yang teramat sangat.

Tiba-tiba, seseorang membuka pintu toilet dan melihat Jesika tergeletak di samping pintu dengan napas terengah-engah. Seseorang itu—Chessa membelalak dan langsung membantu Jesika untuk berdiri.

"Astaga, kamu kenapa, Jes?"

Jesika menggeleng dan berusaha keras untuk berdiri dengan tarikan tangan Chessa. Ketika ia sudah berdiri, Jesika mengalungkan tangannya di leher Chessa. Chessa langsung membawanya keluar dari toilet.

Pasang demi pasang mata mulai menatap Chessa dan Jesika penuh kekhawatiran, kecurigaan, serta kebingungan. Chessa yang sudah tidak peduli langsung membawa Jesika ke ruang UKS.

Chessa pun membaringkan Jesika dengan hati-hati di kasur yang berukuran hanya untuk satu orang dan tidak empuk itu. Jesika menarik napas panjang, seperti ada yang hendak mengambil napasnya.

"Kamu kenapa, Jes? Kamu punya gejala asma? Bagaimana ini?" Chessa menatap Jesika khawatir, lalu mencari kesana kemari alat atau obat yang mungkin bisa membantu. Jesika tidak merespon, napasnya sudah terlampau habis. Sesak. Kering.

Akhirnya Chessa menemukan sebuah tabung kecil yang terdapat semprotan di atasnya. Bertuliskan inhaler. Chessa langsung melangkah cepat, mengarahkannya ke lobang hidung Jesika, dan menyemprotnya.

Jesika pun menarik napas lega. Ia menutup matanya sebentar lalu tersenyum tipis. "Terima kasih, Chess. Kalau tidak ada kamu, aku bingung sekarang harus bagaimana."

Chessa kembali memasang wajah khawatir. "Kamu kenapa sih, Jes? Kok bisa pingsan lagi?"

Jesika baru sadar dari lamunannya. Ia langsung menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan menggeleng. "Aku gak apa-apa, Chess."

Chessa mengernyitkan dahinya. "Gak apa- apa kenapa pingsan coba? Kalau kamu sadar, tadi semua orang udah ngelihatin kita, Jes!"

Jesika menghela napas dan mengalihkan pandangan. "Aku sudah tidak peduli lagi. Mungkin karena kemarin aku belum makan, makanya bisa begit—"

"Gak makan bukannya demam terus pingsan, ini malah asma. Gak ada hubungannya, Jes! Aku gak bodoh."

"Ya aku juga gak tahu, Chess. Siapa coba yang bisa memprediksi akan gimana keadaan badannya? Kamu sendiri juga enggak kan?"

"Tapi secara medis itu aneh, Jes. Aku yakin ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku." Chessa memicingkan tatapannya ke arah Jesika, tersangka penipu bagi Chessa.

Jesika menatap Chessa tidak terima. "Apa apaan sih, Ches? Sejak kapan kamu jadi curigaan begini deh? Sembunyiin apa sih?"

"Sudah dua kali kamu pingsan, Jes. Aku khawatir. Kita ke dokter ya?"

"Lebih baik langsung ke dokter gangguan jiwa saja deh."

Chessa terdiam sejenak mencerna kata-kata Jesika. Jesika yang menyadari kesalahan ucapannya langsung membekap mulutnya.

"Dokter gangguan jiwa? Kenapa, Jes? Apa yang kamu rasain memangnya?"

Jesika langsung terkekeh dan tertawa hambar. "Aku salah ucap aja, Chess. Abaikan saja. Maksud aku dokter Jihan aja, dokter langganan."

"Itu mah orang pintar, Jes! Kamu ini kenapa sih?"

Jesika terdiam dan menelan ludah. Semakin lama, fungsi otaknya semakin tidak teratur. Benang merah yang kini masih melilit di kelingkingnya yang telah melakukan semua ini.

Sebenarnya, apa fungsi benang merah itu?

Mengapa hingga sekarang, pelaku iseng ini belum juga muncul?

Jesika menatap Chessa yang sedang melamun penuh harap, berharap gadis itu segera menyadarinya tanpa harus dikatakan. Bahwa ada benang merah yang melilit kelingkingnya.