Chereads / String of Heart [REVISI] / Chapter 7 - KEKUATAN CHESSA

Chapter 7 - KEKUATAN CHESSA

Chessa's POV

.

.

.

.

Setelah hari itu, tingkah laku Jesika semakin aneh. Aku sering memergokinya menangis dan tertawa tanpa sebab, tetapi aku pun mengabaikannya dan bersikap biasa saja. Aku berusaha untuk menahan hasratku untuk menyelidikinya. Aku sangat ingin tahu apa yang Jesika sedang sembunyikan dariku.

Semakin hari, eksistensi Jesika semakin menurun. Teman-temannya tidak lagi menganggapnya sebagai ketua kelompok, melainkan hanya teman kelas biasa yang suka mengobrol dan bercanda tawa. Semua orang semakin tidak menghargai Jesika dan menganggapnya sebagai orang biasa.

Senyum Jesika mulai memudar sejak menyadari hal itu. Kantong mata yang semakin membesar dan menghitam membuatnya semakin terlihat menyedihkan.

Seminggu kemudian, aku pun kembali ke kelasnya untuk mengecek keadaannya.

Matanya semakin bengkak dan sembab, wajahnya sangat tidak bersemangat, namun ia tetap berusaha untuk biasa saja.

Aku tahu, siapa yang bisa membuat Jesika kembali lagi...

Janno.

Apakah aku harus mencarinya?

.

.

.

***

.

.

.

Mataku menerawang seisi kelas untuk mencari keberadaan Janno. Tidak ada. Aku pun menghela napas, lalu membalikkan badan untuk keluar kelas.

Deg!

Mataku membelalak begitu melihat sosok tampan, tinggi, berwajah bule dengan rambut pirang berada di hadapanku. Jaerk.

Pria ini sungguh tampan. Jika ia disandingkan dengan Jesika, tentu saja akan menjadi pasangan yang serasi. Tetapi.. apakah aku harus menyeleksinya dahulu?

Mataku menatapnya lekat. Jaerk menyadarinya, lalu menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa, Chessa? Masih mau mengira gue selingkuhan lagi?"

Aku memutar bola mataku. "Astaga, pikirannya masih negatif aja, Jaerk. Gue gak terlibat soal itu."

"Terus kenapa ngelihatin gue kaya gitu?" tanya Jaerk semakin meninggikan nadanya dan mengerutkan dahinya bingung.

Aku harus membicarakan kepadanya masalah Jesika.. Siapa tahu dengan kehadiran Jaerk, bisa sedikit mengobati sakit hatinya.

Aku pun menarik tangannya dan membawanya ke taman sekolah yang terletak di samping ruang kelas 12 IPA 2. Lebih tepatnya, hamparan rumput dengan banyak bangku taman di atasnya. Semua orang bisa bercengkerama dan menikmati udara segar disitu. Namun sekarang cuaca sudah terik. Mereka sudah jarang bermain di taman ini. Lebih baik di kelas ditemani angin sejuk mesij pendingin daripada harus berpanas-panasan.

Aku tidak mungkin membawanya ke toilet, apa lagi ke kantin. Telinga semua murid di sini sungguh tajam, lapar ingin melahap gosip-gosip yang beredar. Apa lagi yang kubicarakan ini bukan sekadar gosip, melainkan kenyataan?

Aku duduk bersebelahan dengannya di sebuah bangku panjang bawah pohon lebat dan besar yang tidak aku tahu namanya.

Jaerk menoleh ke arahku. "Kenapa, Chessa? Ada sesuatu hal yang penting memangnya?"

Aku mengangguk. "Gue sudah tahu perasaan lu ke Jesika."

Jaerk membelalakkan matanya. Ia terlihat menggerakan jakunnya, lalu menggaruk kepalanya. "Suka sama Jesika? Lu salah dengar mungkin." Ia terkekeh kecil.

Aku ikut terkekeh. Ia tidak bisa membohongiku. Matanya yang memancarkan kepanikan telah menjawab semuanya. "Lu tidak akan bisa bohong soal ini ke gue, Jaerk." Aku menatapnya hingga ia sadar ada apa sebenarnya.

Jaerk menghela napas. Ia mengangguk. "Tolong jangan kasih tahu siapapun, Chessa. Kasihan Jesika kalau sampai dia tahu soal ini."

Aku mengangguk cepat. Jelas, aku tidak akan memberi tahu siapapun.

"Terus kenapa, Chessa?"

Aku pun menjelaskan kepadanya, "Jesika sedang benar-benar terpuruk, Jaerk. Jesika suka sama Janno, tetapi Janno malah menyukai perempuan lain."

Jaerk mengernyit, lalu ia menganggukan kepala. "Oh, jadi dia suka sama Janno? Lalu apa yang harus gue lakuin, Chess?"

Aku menghela napas. "Gue melihat kalau akan ada peristiwa besar yang terjadi ke Jesika. Gue khawatir, Jae. Gue mohon lu temani dia, minta maaf dulu atas apa yang lu lakukan, terus main deh. Lu pasti mau kan?"

Jaerk menghela napas. Aku tahu bahwa ia sangat ingin dekat dengan Jesika, namun semesta tidak pernah mengizinkannya. Mungkin ini adalah saat yang tepat..

Sekaligus memancing benang merah itu keluar!

"Sebenarnya, gue takut kalau nanti dia malah semakin membenci gue, Chess."

Aku menggeleng. "Dia butuh seseorang, Jaerk. Kalau gue dekat dekat dia, rasa penasaran gue pasti muncul terus terkait kenapa dia pingsan. Oh ya, sekalian aja lu cari tahu kenapa dia selalu pingsan."

Jika aku penasaran terhadap sesuatu, aku tidak akan segan-segan untuk selalu mencari tahu, menggunakan seluruh energi tubuhku hingga lemas dan pingsan. Aku sangat hati-hati jika melakukan tersebut di sekolah.

Jaerk membesarkan matanya. "Jesika sering pingsan? Sejak kapan?"

"Sejak seminggu yang lalu, Jae. Terus, dua hari yang lalu, dia menyinggung soal dokter kejiwaan. Gue gak tahu apa maksudnya, yang jelas gue merasa memang ada yang aneh dengan dia."

Jaerk terdiam dan menghela napas. Tatapan matanya nampak khawatir, lalu ia segera bangkit berdiri. "Gue akan melakukan sebaik mungkin, Chess. Gue pamit dulu, ya."

Jaerk pun segera berlari keluar taman tersebut, menghiraukanku. Belum jauh tubuhnya melangkah, aku kembali mengingatkannya, "Laksanain apa yang gue minta, Jae!"

.

.

.

***

.

.

.

Author's POV

.

Jaerk berlari secepat mungkin menuju ke kelas Jesika. Jam istirahat sebentar lagi sudah mau habis, dan ia harus segera sampai ke sana untuk melihat keadaan Jesika.

Deg!

Wajah yang begitu pucat dengan mata sembab menjadi penglihatan yang mengejutkan bagi Jaerk. Gadis yang sangat dicintainya telah berada di depan matanya. Mata Jesika menatap malas Jaerk dan mencoba melewati tubuh Jaerk.

"Lo kenapa?" tanya Jaerk dingin, seperti biasanya. Jesika terdiam dan menatapnya.

Jesika mengernyit. "Apa peduli lo, simpanan?"

"Lo berubah, Jes. Apa karena gu—"

"Kalau lo gak mau gosip beredar, biarin gue lewat. Gue lagi gak ada mood untuk meladeni lo," sela Jesika, lalu langsung melewati tubuh Jaerk yang mematung.

Bagaimana cara agar diriku bisa dekat denganmu?

.

.

.

***

Ruangan bernuansa kelam dengan beberapa bola transparan yang terdapat lampu plasma di dalamnya berderetan menuju ke sebuah bangku besar tempat dimana seorang pria lanjut usia duduk, serta dedaunan dan bunga kering menghiasi dinding ruangan tersebut. Walau begitu, mesin pendingin dengan pewangi ruangan tergantung di dekatnya membuat ruangan ini terasa seperti ruangan biasa.

Chessa melewati karpet yang menghubungkannya kepada pria yang sedang duduk kursi bak singgasananya. Pria lanjut usia itu menghela napas. "Ada apa lagi, Chessa? Sudah kubilang, jangan berbuat yang aneh-aneh dengan kekuatanmu."

Chessa pun menghentikan langkahnya di depan pria yang adalah kakeknya itu. Chessa pun mencium tangan kakeknya, setelah melewati beberapa anak tangga untuk mencapai kursi singgasananya.

"Tidak, kakek. Chessa tidak melakukan apapun, tetapi bayangan sendiri yang menuntun Chessa."

Kakek mengernyit. "Bayangan apa itu?"

"Benang merah."

Deg!

"Sejak kapan kamu bisa melihatnya, Chess?", tanya sang kakek dengan penuh kebingungan dan kaget.

Chessa mengalihkan pandangannya ke seluruh penjuru, mencoba untuk mengingat. "Sepertinya sejak dua bulan yang lalu."

"Apa yang memancing bayangan itu?"

"Jesika, kek. Wanita yang belakangan ini memenuhi pikiranku, kek."

Kakek mengernyit tidak mengerti. "Sejak kapan kamu menjadi lesbian?"

Chessa membesarkan matanya dan menggeleng cepat. "Astaga, kakek. Bukan begitu maksudku."

"Ya sudah, jelaskan jangan setengah-setengah, nak. Kakek mendengarkan."

Chessa menghela napas dan menjelaskan, "Jesika menyukai salah satu teman kelasku, kek. Mereka memang bersahabat, tapi karena Jesika sudah punya lebih banyak teman, maka itu Jesika memutuskan untuk menjauhinya. Tetapi saat itu, waktu Jesika berpapasan dengan Janno, perasaanku tidak enak. Sekelibat benang merah pun melayang di depanku, menutupi penglihatanku."

Pria itu mendengarkan dan mencoba mencerna semua ucapan Chessa. Lima menit setelahnya, sang kakek mulai mendapatkan titik terang.

Chessa melanjutkan, "Firasatku mengatakan kalau Jesika akan mengalami peristiwa yang amat besar, yang bisa mengancam nyawanya."

Kakek Govard— kakek Chessa tersenyum. "Kakek sudah mengerti, Chess. Benang merah yang kamu lihat itu akan menunjukkan kepada Jesika siapa jodohnya. Benang itu terlilit pada kelingking masing-masing dari mereka dan menghubungkan satu sama lain. Ikatan itu tidak akan pernah bisa terputus, nyasar, atau pun terganti. Artinya, jika kamu bisa melihatnya, berarti sebentar lagi Jesika akan mengetahui siapa jodohnya."

Chessa membelalak terkejut. Ia tidak menyangka jika sebentar lagi bisa melihat kemana kapal Jesika sebenarnya akan berlabuh. Chessa pun menganggukkan kepalanya mengerti dan tersenyum.

"Chessa, tunggu sebentar," ujar Kakek Govard saat kepalanya terisi sesuatu yang amat penting. Chessa pun menatap kakeknya, menantikan kata-kata yang terlontar.

"Tadi firasat kamu mengatakan bahwa Jesika akan mendapatkan peristiwa besar, Ches?"

Chessa mengangguk dan kembali menunggu kakeknya yang tampak terkejut. Senyumnya memudar. Sepertinya ada yang tidak beres..

Kakeknya hanya menghela napas dan tersenyum, lalu bangkit dari bangkunya dan turun ke hadapan Chessa. Chessa membelalakkan matanya. Kakek tidak pernah bangkit dari singgasananya hanya karena mendengar cerita Chessa...

Sang kakek pun menarik tangan Chessa dan membawanya pergi dari ruangan itu.

.

.

.