Jesika's POV
.
.
.
Chessa menggenggam tanganku, membawaku ke dalam sebuah ruangan kelam dan bernuansa mistis. Namun, mesin pendingin yang beraroma menyegarkan menenangkan jantungku yang sedari tadi berdegup begitu kencang.
Aku dan Chessa menyusuri karpet merah yang terarah kepada singgasana seorang kakek tua yang tampak sangat sehat dan sakti menatap kami penuh kegirangan. Setelah sampai di anak tangga pertama, Chessa membungkukkan badannya untuk memberi hormat. Aku reflek mengikutinya karena Chessa menyenggol lenganku.
Sang kakek bangkit dari singgasananya dan turun menghampiri kami. Chessa menarik tanganku untuk mundur dua langkah.
"Ada apa Chessa? Siapa perempuan ini?" , tanya kakek tua sambil menunjuk wajahku.
Chessa menggenggam tanganku erat. "Ini Jesika, kek, teman Chessa."
Aku langsung mengulurkan tanganku dengan setengah ragu. "Jesika, kek."
Kakek tua dan sehat itu membalas jabatan tanganku dengan kuat. "Salam kenal, nak."
Perasaanku mulai tidak enak. Ada apa Chessa membawaku ke ruangan mistis ini? Bahkan bertemu dengan seseorang yang... cukup aneh.
Aku mundur dua langkah, kemudian menarik Chessa untuk mendekat. Tangan kananku yang mulai bergetar ketakutan terangkat untuk menutup gerakan mulutku saat berbicara di telinganya. "Kamu ngapain bawa aku ke sini, Chess? Ini bukan dokter."
Chessa menghela napas. "Kamu bukan sakit kejiwaan atau pun fisik, Jes. Ada sesuatu yang aku ingin selidiki."
Deg! Aku benar-benar terkejut. Apakah Chessa tahu tentang benang merah itu?
Chessa pun segera menarikku untuk mendekat kembali ke kakek itu. Aku memandangnya dengan takut-takut. Apakah kakek ini bisa membaca pikiranku...?
"Kakek, apakah kakek bisa menyelidiki sesuatu yang membuat Jesika terganggu belakangan ini?" Chessa mengangkat telapak tanganku ke hadapan wajah kakeknya. Kakeknya tidak membalas kata-katanya dan langsung menerawang tanganku.
Dua menit...
Lima menit...
Tanganku tiba-tiba merasa bergetar. Entah bagaimana caranya, sang kakek menutup mata, lalu semuanya kembali normal. Kakek itu seperti melihat sesuatu di dalam bayangannya. Ia mengernyitkan dahi, menaikkan sebelah alisnya, bahkan menggerakan bibirnya ke sana kemari.
Deg!
Mata kakek itu terbuka. Ia tersenyum. "Tidak ada yang menganggunya, Chessa."
Deg! Deg!
Sungguh, jawaban yang mengejutkan. Tidak ada yang mengangguku? Apakah aku benar-benar hanya berilusi tentang benang merah itu? Tetapi mengapa rasanya sungguh nyata...
Chessa menghela napas lega dan tersenyum. "Syukurlah tidak ada yang aneh menganggumu, Jes. Berarti kamu memang kelelahan atau banyak pikiran saja."
Aku tersenyum hambar. Pikiranku yang sudah tidak tahan sangat ingin mengumbar kepada Chessa terkait hal yang aku rasakan itu. Sangat nyata. Benang itu benar-benar bisa kuraih dengan tanganku...
Apakah ini adalah tanda bahwa benang itu tidak akan kembali?
Chessa menggenggam tanganku erat-erat dan menundukkan kepala. "Terima kasih, kakek. Padahal kupikir ada sesuatu yang menganggunya sehingga menyebabkannya selalu pingsan."
Pria lanjut usia itu memamerkan rentetan giginya, dan melihatku. "Terkadang, cucuku ini memang suka merasa berlebihan terhadap sesuatu. Untuk mencegah hal yang tidak diinginkan, sebaiknya kamu lebih banyak beristirahat dan bahagia ya, Jes."
Aku mengangguk dan tersenyum manis. "Terima kasih atas wejangannya, kakek. Aku akan mengusahakannya semaksimal mungkin."
Chessa menyenggol lenganku. "Lagi pula, ia sudah memiliki kekasih, kek! Aku yakin dia pasti bahagia." Chessa melirikku dengan bermaksud menggoda, membuatku memerah saat kembali membayangkan wajah Jaerk yang tampan. Oh, astaga. Baru ditinggal dua hari saja aku sudah merindukannya.
Kakek tertawa. "Hahaha, oh baguslah. Semoga pria itu akan menjadi cinta sejatimu ya, nak."
"Amiiiin!" , seruku dengan kencang dan bersemangat. Ya, siapa sih yang tidak berharap dicintai Jaerk, pria tampan dan penyayang seperti dirinya. Wajahku memanas.
Chessa dan kakeknya tertawa melihat kelakuanku. Aku menghela napas lega. Sungguh lega, karena ternyata semua itu hanyalah halusinasiku. Tetapi, mengapa se-nyata itu?
Ataukah... memang hanya aku yang menganggapnya nyata?
.
.
.
***
Author's POV
.
.
.
Hari demi hari berjalan seperti biasanya. Jesika kembali ditemani oleh Chessa, sementara Jaerk belum juga kembali dari lombanya. Jesika sungguh merindukannya. Bertukar kabar saja tidak cukup baginya. Jesika ingin bersama dengannya, menyenderkan kepalanya lagi di pundaknya, bercanda bersamanya.
Tap!
Chessa menyadarkan lamunan bertajuk kerinduan itu. Jesika langsung menyunggingkan senyumnya. "Hai, Chess!"
Chessa mengerjapkan matanya berkali-kali. "Sejak kapan Jesika jadi seramah ini?"
"Jadi kamu gak mau aku se-ceria ini?"
Chessa menghela napas. "Aneh, Jes."
Jesika mengernyitkan dahinya. "Aneh dari mana sih, Chessa?"
"Aneh lah! Kok gak ada Jaerk kamu bisa seceria ini, padahal kemarin ngeluh kangen, tapi sekarang kenapa beg—"
"Karena aku mau bahagia aja! Lagian Jaerk tidak lupa untuk mengabariku! Sumpah, bersyukur banget punya dia, Chess," sela Jesika dengan semangat sambil tersenyum lebar. Pipinya memerah. Baru pertama kali Chessa melihat pemandangan semacam itu. Entah mengapa, Chessa merasakan perasaan yang tidak enak saat ini.
Chessa memudarkan senyumnya. "Astaga, Jes, jangan terlalu senang kenapa?"
Jesika menaikkan sebelah alisnya dan mengecurutkan bibirnya. "Kok kamu ngomongnya gitu? Kamu gak mau lihat aku bahagia?"
Chessa mengangkat telapak tangannya. "Bukan begitu, Jes. La..lagian masa bahagia banget sampai kayak gitu. Apa Jaerk sebaik itu?" Jelas, Jaerk adalah pria terbaik serta tertampan yang pernah Chessa lihat. Ia bahkan bisa membangkitkan semangat Jesika dan menghilangkan kejadian mistis yang terjadi pada Jesika.
"Astaga, Chess! Kenapa kamu nanya, padahal kamu lebih lama bertemannya sama dia?", tanya Jesika curiga sambil mengerutkan dahinya. Tangannya menyilang di depan dada.
Deg! Chessa salah bicara. Perasaan tidak enak yang semakin membludak membuatnya tergerak untuk berbicara.
"Terus, kenapa kamu bisa lama banget menghilang waktu itu? Setelah aku berpacaran sama Jaerk pula!", tambah Jesika, lalu memicingkan matanya. Selang beberapa detik, matanya kembali membesar dan bibirnya berbentuk o. "Jangan-jangan kamu suka sama Jaerk ya, Chess?!"
"Ih, enggak, Jes! Ada ada aja kamu!"
"Jangan berusaha membohongi aku. Biasanya yang aku curigain selalu benar, Chess." Tatapan Jesika benar-benar mencurigai Chessa, tetapi senyum masih terulas rapi.
Chessa masih berusaha membantah, "Gak sampai sejauh itu mainnya aku, ini karena alasan lain, Jes.."
Deg! Chessa langsung membekap mulutnya, menyadari apa yang ia bicarakan. Yang tidak boleh diketahui siapapun, apalagi Jesika.
Jesika semakin menyipitkan matanya. Rasa curiganya semakin berkembang. Kalau bukan soal Jaerk, lalu....
"Kamu kenapa, Chess? Apa ini menyangkut kakekmu—"
Chessa menggeleng cepat dan berseru, "Gak! Bukan, Jes." Mulut Chessa terhenti untuk berbicara. Rasanya begitu kelu. Jesika memudarkan senyumannya. Kali ini, senyum itu mengisyaratkan sebuah keseriusan. Jesika tidak main-main.
"Cerita, Chess. Sebelum bel istirahat berbunyi, aku mau dengar cerita kamu! Apapun itu!", perintah Jesika sambil menatap Chessa tajam. Chessa merasa terintimidasi, tetapi sebenarnya jauh di lubuk hatinya, bukan itu yang ia permasalahkan.
Hingga detik kemarin, alasannya untuk menjauh dari sekolah, apa lagi Chessa, karena energinya semakin liar ingin menyerap Jesika. Dan ketika itu terjadi....
"Energi aku hanya habis, aku butuh pemulihan, Jes. Maafkan aku yang tidak memberikan kabar terlebih dahulu," kata Chessa pelan sambil tersenyum tipis kepadanya. Chessa langsung memeluk Jesika yang hanya mematung.
Ingin rasanya Chessa mengeluarkan air matanya...
Maafkan aku, karena berbohong. Aku hanya menahan rasa penasaranku atas benang merah. Benang merah yang ternyata hanyalah bagian dari khayalanku.