Author's POV
.
.
.
Dua hari setelahnya, Jaerk sudah kembali ke sekolah. Jesika juga sudah selalu bisa melihat "benang merah" itu. Ia sudah terbiasa dengan kehadiran benang merah tersebut di kelingkingnya.
Chessa tersenyum melihat Jesika yang sudah tidak murung. Rentetan giginya mulai kembali diperlihatkan kepada semua orang.
Seperti saat Jesika menunggu kedatangan Jaerk di kelas pagi ini. Jaerk sudah sangat merindukan kekasihnya itu, begitu juga Jesika. Aku pun menemaninya di kelas dengan berbincang apa yang sedang populer di sekolah saat ini. Kami berdua sangat berharap bahwa benang merah itu semakin memendek. Berharap bahwa Jaerk adalah pria yang selama ini bersembunyi di balik bayang-bayang Janno di hatinya.
Postur tinggi dengan kulit pucat itu masuk ke dalam kelas. Membuat Jesika dan Chessa membelalak melihat Jaerk yang semakin tampan. Di sisi lain, benang merah tersebut tidak terhubung kepada Jaerk.
Jaerk dengan senyum sumringah menghampiri Chessa dan Jesika. Jaerk langsung meraih tangan Jesika dan memeluknya. Senyum Jesika memudar seketika. Harapannya telah sirna.
"I've been missed you so much, Jes," ucap Jaerk lembut di telinga Jesika. Chessa menyadari tubuh Jesika yang bergetar menahan tangisnya.
Jaerk melepaskan pelukannya dan tersenyum melihat Jesika yang menyunggingkan senyum termanisnya. Senyum palsunya.
Jesika sangat mencintai Jaerk... Ia sangat nyaman bersama pria ini. Tetapi kenapa semesta tidak mengizinkan mereka? Kemana lagi Jesika harus mencari pelabuhan hatinya?
Isakan tangisnya meledak. Jesika tidak tahan. Ia langsung memeluk pria itu erat-erat. Jaerk terkejut dan membalas pelukan Jesika dengan tepukan pelan di punggungnya.
"Sayang, kenapa kamu nangis?"
Jesika tidak bergeming. Ia semakin mengeratkan pelukannya dan membenamkan wajahnya di dada sang kekasih.
"Cup,cup,cup.. Sudah, aku ada di sini, sayang," ucap Jaerk untuk menenangkan sang kekasih. Tidak peduli waktu yang semakin berjalan, semua mata menatap ke arah mereka. Ia sudah tidak peduli.
Sampai bel berbunyi, Jesika terus membenamkan wajahnya di dada Jaerk dan menangis. Chessa yang mengetahui alasannya, langsung menyarankan Jaerk membawa Jesika keluar sekarang. Jesika tidak bisa belajar dengan serius hari ini, walau dipaksakan sekali pun.
Jaerk menuruti kata-kata Chessa. Ia membawa tas Jesika dan menggenggam tangan Jesika erat-erat keluar dari kelas. Melenggang pergi ke taman rahasia Jesika, Jaerk, Janno, dan para guru. Ditemani oleh angin berhembus pelan melewati tubuh mereka, tumbuhan yang semakin lebat di taman yang tidak terawat itu, serta satu-satunya bangku panjang yang sudah ditempeli lumut.
Jesika sudah berhenti menangis. Ia masih tidak mau membuka mulutnya, bahkan menatap Jaerk.
"Sayang, tadi kamu tersenyum lalu menangis saat melihatku. Apa kamu tidak mau meliha—"
"Bukan begitu, Jaerk. Aku hanya terlalu rindu kepadamu," sela Jesika, berusaha menenangkan hati Jaerk dan tersenyum kepadanya. Hambar.
Jaerk percaya dan kembali menarik kepala Jesika ke dadanya. "Kamu tidak pernah menangis sebelumnya, sayang. Aku tidak pernah melihatmu menangis, kecuali setelah Janno meninggalkanmu. Pasti ada sesuatu yang aku tidak tahu? Ceritakan, Jes."
Jesika menggeleng. "Tidak ada apa-apa. Aku cuma kurang ketemu kamu aja, Jae."
Jaerk memegang kedua pipi Jesika dan menarik wajahnya mendekat. "Apa kamu kembali mencintai Janno? Janno sudah putus dengan Rev—"
Jesika membantah, "Itu tidak akan dan tidak mungkin akan terjadi."
Jaerk menghela napas. Mata Jesika terlihat seperti pertama kali mereka berpacaran. Jesika masih dengan perasaan yang sama kepada Jaerk. Tetapi, dengan kehadiran benang merah itu membuatnya berhenti berharap.
"Atau kamu sudah tidak mencintaiku, Jes?"
Jesika menarik tubuh Jaerk dan memeluknya erat lagi. Jaerk sungguh bingung dibuat Jesika.
"Tidak mungkin aku bisa melupakan pria sepertimu, Jae. Pelengkapku. Penghiburku. Pemanis hariku. Pasanganku. Segalanya. Tidak mungkin, Jae!" Jesika kembali meneteskan air mata. Dengan sesegukan, ia melepaskan pelukannya dan memukul dada Jaerk keras-keras.
Jaerk menghela napas dan terdiam. Ia semakin bingung dengan tindakan Jesika saat ini. Jesika pasti telah mengetahui apa yang tidak terduga, sehingga membuatnya begini.
Jaerk memeluknya lagi, lalu hendak mengecup bibirnya. Walaupun seperti ada sekat di antara mereka, Jaerk tidak peduli. Ia menerobosnya dan mengecup Jesika lembut.
Deg!
Sesegukannya terhenti. Ia tidak bergeming dan menikmatinya. Memang, di umur segini tidak pantas rasanya untuk berciuman. Namun, Jesika telah menemukan ketulusan di balik ciuman itu. Ia merasa bahwa Jaerk begitu mencintainya, bahwa Jesika tidak bisa meninggalkan pria yang telah mewarnai hidupnya walau hanya sebentar.
Air mata Jesika mengalir. Bagaimana bisa dunia bersifat sekejam ini pada mereka? Di saat Jesika telah menyadari cinta sebenarnya, tetapi takdir menarik mereka menjauh...
Apa yang aku harus lakukan sekarang...?
.
.
.
***
.
Jesika's POV
.
.
Ciuman itu. Ciuman yang mengandung ketulusan dan rasa kasih itu. Aku masih mengenangnya walaupun waktu telah berlalu begitu cepat. Kembali ke rutinitas; berangkat ke sekolah. Jaerk mengantarku ke sekolah. Aku memeluk tubuhnya dari belakang, merasa nyaman.
Setelah sampai ke sekolah, semua pasang mata melihat kami. Aku tidak menghiraukan mereka, tetap memandang ke depan dan menggenggam tangan Jaerk erat.
Hari ini adalah hari Jumat; hari terakhir sekolah. Aku berencana akan berkencan dengan Jaerk dari pulang sekolah hingga malam tiba. Kami berencana akan bertemu di taman rahasia
Aku pun belajar di kelas dengan baik, sambil bercengkerama dengan Cindy dan Hana—teman baru Cindy. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi dengan teman-teman lamaku itu, tetapi Cindy memutuskan untuk berpisah dari mereka dan berteman dengan Hana. Mereka pun mendekatiku dan kami berteman. Aku juga tidak pernah merasa sakit hati atas perlakuan Cindy sebelumnya, karena memang itu adalah kemauanku.
Saat itu, aku juga telah menyadari bahwa ketenaran bukanlah yang utama. Tetapi kenyamanan, kebersamaan, dan kasih...
Janno Chaesar Wijaya.
Ia yang mengenalkanku pada arti cinta sesungguhnya, hingga aku bertemu dengan Jaerk Radish Saputra.
Aku sudah bisa mengikhlaskan kemana Janno akan menaruh hatinya, tetapi terkadang bayang akan dirinya merasuk kepalaku, membuatku kembali memikirkannya.
Tidak, tidak! Aku menggelengkan kepala dan bersikeras menolak pikiran gila itu. Aku sudah tidak mau memikirkan seseorang yang tidak bahagia denganku. Janno sudah cukup merasa sendirian dan sakit hati... Sudah cukup.
Deg!
Jaerk menyadarkan lamunanku. Ia menggenggam tanganku. Aku menoleh ke arahnya dan menyunggingkan senyum manis. Tidak menghiraukan benang merah yang mulai bergetar dan menyengat kelingkingku, serta bunyi lonceng yang samar-samar.
Jaerk langsung menarik tanganku berdiri dan berlari menuju motornya. Jaerk melajukan motor sekencang-kencangnya.
Aku memukul lengannya. "Jae! Pelan-pelan, Jae."
Jaerk berseru senang, "Yeeeeyy! Akhirnya Jaerk bisa berkencan dengan wanita pujaan hati!" Ia bersorak sorai, mengabaikan peringatanku.
Aku pun memeluknya, berharap ia akan mendengarkan perkataanku.
Ya, lima menit setelahnya, ia mendengarkan perkataanku. Ia melambatkan motornya dan melirik ke arahku sekilas. "Aku senang banget, Jes! Benar-benar—"
TEEEETTTTT!
Mataku membelalak. Sebuah mobil melaju dari arah yang berlawanan. Aku langsung menepuk Jaerk agar memperhatikan jalannya. Jaerk pun menoleh sekilas.
Deg!
Mobil itu sudah menyentuh bagian depan motor kami. Jaerk tidak mampu menghindarinya. Hanya terdengar bunyi hantaman keras dan tubuh kami yang terlempar jauh dari motor. Mengerikan. Menyakitkan. Membekukan.
Darah. Aku bisa melihat darah yang mengalir begitu deras dari pelipis Jaerk. Dengan tanganku yang lemah, kuraih pelipisku juga. Darah itu sudah membasahi seluruh rambutku. Aku berusaha untuk berdiri dan menghampiri Jaerk, namun tulang-tulangku yang lemah menahanku berdiri. Napasku terengah-engah, karena rasa sakit yang luar biasa. Bukan hanya karena tubuhku yang remuk karena terpental, namun keadaan Jaerk yang mengenaskan dan tidak sadarkan diri.
Darah membasahi seluruh tubuhnya. Dirinya tergeletak tidak berdaya di hadapanku. Aku pun berusaha menyeret badanku yang hampir kehilangan energi untuk membangunkannya, namun nihil. Hanya isakan tanpa suara yang bisa kukeluarkan. Aku berusaha untuk tetap membuka mataku, di saat napasku tidak lagi kuat untuk melakukannya. Dengan napas yang hampir habis, aku mengangkat tanganku ke arahnya.
Seketika semuanya menjadi gelap.
Jaerk....
Bangun!