Chereads / String of Heart [REVISI] / Chapter 10 - SEMAKIN MENGEJUTKAN

Chapter 10 - SEMAKIN MENGEJUTKAN

Chessa telah kembali ke sekolah setelah berbulan-bulan pergi entah kemana. Aku sungguh bersyukur atas hal itu, karena aku tidak mendapatkan alasan sebenarnya. Akhirnya, setelah satu minggu aku memikirkannya hingga dada terasa sesak, akan ada titik terang.

Aku tidak ingin kehilangan Jesika...

Aku ingin ia hanya menjadi milikku.

Aku harus menemukan jawabannya.

Jawaban atas kenyataan benang merah itu.

Mataku mengintip Chessa dari luar sedang duduk sendirian di bangku kelasnya sambil memegang dahinya. Lalu, ia membenamkan wajahnya di meja. Aku pun langsung masuk ke dalam kelasnya dan menghampirinya.

Chessa langsung mengangkat wajahnya dan menoleh ke arahku. Kedua matanya terlihat bengkak. "Eh, Jae. Ada perlu apa? Kenapa gak sama Jesika?"

Aku melebarkan mataku, berharap ia mengerti. "Lo gak bisa lihat apa mau gua ke sini?"

Chessa terkekeh. "Lu pikir gue cenayang expert, Jae?"

Aku mengangkat bahuku. "Ya siapa tahu, Chess."

"Udah ketemu alasan Jesika bertingkah aneh, Jae? Dia masih bertingkah aneh di depan lu gak?"

Aku mengangguk dengan yakin. "Selama di depan gua, dia memang tidak bersikap aneh. Tetapi ada satu kejadian yang membuat gue semakin penasaran."

"Apa?"

"Waktu gua mau mencium dia, Jesika mundur dan langsung memegang jari kelingking kirinya. Dia meringis perih, Chess," jelasku kepada Chessa. Aku menatap Chessa penuh harap.

Chessa terlihat sangat terkejut. Bibirnya terkatup. Chessa pun mengalihkan pandangannya dariku, seakan menyembunyikan hal yang penting. Rasa penasaranku mulai melonjak.

"Chess, lo kenapa?"

Chessa langsung menoleh ke arahku dan menggeleng. Bibirnya memucat. Matanya menatap takut-takut.

Tap!

Aku reflek menoleh ke belakang. Terlihat Rania dengan tatapan paniknya berusaha mengatakan sesuatu, "Je...Jesika..."

Deg! Kakiku langsung menopang badanku untuk berdiri. "Kenapa Jesika?!"

Chessa ikut berdiri di sampingku, menantikan kata-kata Rania selanjutnya. Rania menghela napas dan menyahut, "Jesika pingsan, Jaerk! Ayo cepat ke UKS. Dadanya kejang-kejang!"

Deg! Deg!

Tanpa babibubebo lagi, aku dan Chessa langsung berlari ke ruang UKS. Ini adalah kali pertamanya kembali pingsan setelah berpacaran denganku. Jantungku berdegup sangat kencang. Aku menggenggam tangan Chessa erat-erat. Begitu mengkhawatirkan Jesika.

Cklak! Aku membuka pintu UKS dengan gusar dan mendapati Jesika yang berusaha mengambil napas. Dadanya kempas kempis sangat cepat. Aku dan Chessa langsung menghampirinya. Aku memegang tangannya begitu erat dan menatap matanya lembut. Mataku menerawang ruangan sekilas, dan tidak ada siapa-siapa selain kami bertiga. Dimana kah hati para murid yang lain? Apakah tidak bisa mengesampingkan egonya demi seorang teman yang sedang sakit?!

Chessa pun mengambil sebuah inhaler dan menyemprotkannya ke hidung Jesika. Jesika menarik napas, lalu bisa kembali bernapas dengan lega. Keringatnya mengalir dari dahi hingga ke badannya. Ia menghela napas lega. Air matanya mengalir. Aku segera meraih pinggangnya dan memeluknya.

Jesika menangis di pelukanku. "Aku ta..ta..takut, Jae. Se...seperti ada yang mengambil semua energiku!"

Aku menoleh ke arah Chessa yang mengernyitkan dahi. "Siapa, Jes? Kamu bisa lihat rupanya?"

Jesika menggeleng sambil sesegukan. Aku sama sekali tidak mengerti. Chessa pasti telah tahu sesuatu tentang kekasihku ini. Aku harus tahu. Aku harus menyelidikinya.

.

.

.

***

.

.

Jesika's POV

.

.

Benang itu hilang sesaat aku menghela napas lega. Aku memeluk Jaerk sekuat tenaga. Jaerk menepuk punggungku dengan lembut. Kehadirannya begitu menenangkanku. Aku sungguh mencintainya.

Aku melepaskan pelukan Jaerk dan tersenyum kepadanya.

"Terima kasih telah peduli padaku, sayang."

Jaerk mengecup dahiku lembut. "Itu sudah menjadi tugasku, Jes. Tidak perlu khawatir. Yang kamu perlu beritahu aku adalah alasan kamu bisa pingsan mendadak begini?"

Deg!

Benang itu...

Aku melirik sekilas jari kelingkingku. Benang merah itu kembali menghilang. Sudah berbulan-bulan, benang merah itu muncul dan menghilang sendirinya. Kini, bukan lagi "orang" yang mengerjaiku, melainkan...

Ah, aku tidak tahu dia siapa dan aku tidak mau tahu!

Sesaat aku berada di dekat Jaerk, benang itu menghilang. Dadaku yang sesak kembali normal. Apakah hanya Jaerk yang bisa menyembuhkannya?

Chessa menatapku nanar. Aku sungguh bahagia bisa kembali melihatnya, tetapi rasanya tidak pas jika sekarang aku mengalihkan topik. Mau tidak mau, aku harus menjelaskan kepada Jaerk...

"Seperti yang aku bilang sebelumnya, kalau ada yang mengganggu aku. Dadaku begitu sesak hingga rasanya ingin mati. Tetapi, kamu dan Chessa datang lalu menghentikan semuanya. Melihatmu membuatku lebih baik, Jae."

Jaerk langsung tersenyum lebar. Ia tampak sangat lega dan puas dengan jawabanku. "Baguslah kalau dengan kehadiranku membuatmu semakin baik. Jangan menjauh dariku, Jes."

Aku kembali memeluk Jaerk. "Iya, sayang!"

Sementara Chessa menatapku begitu nanar. Aku tidak tahu apa yang lihat... Jantungku juga mulai berdegup kencang. Apa yang sebenarnya Chessa pikirkan?

.

.

.

***

.

.

.

Keesokan harinya,

Chessa sudah bisa menyunggingkan senyumnya kepadaku. Sedari kemarin, ia melihatku seperti aku akan meninggal sebentar lagi. Aku tahu, dirinya sudah tidak beres semenjak menghilang dari hadapanku.

Chessa mengajakku makan di kantin. Jaerk sedang tugas keluar kota bersama peserta lomba kemarin. Aku menghela napas, cukup kecewa karena tidak pernah bisa menyatukan kedua orang yang sangat kusayang bersamaan.

Aku pun memesan semangkuk bakso untuk kami berdua di Bang Ratno. Chessa tidak pernah ingin memesan satu mangkok bakso, karena ia akan kekenyangan.

Begitu semangkok bakso dan dua gelas es teh tawar telah menghampiri meja kami, aku langsung melahapnya. Aku bisa merasakan jika Chessa menatapku dengan khawatir. Aku segera menoleh.

"Kenapa, Chess? Kamu gak kayak biasanya begini? Apa yang kamu lihat dari aku?" , tanyaku setelah mengunyah setengah potong bakso di mulutku.

Chessa tidak merespon. Ia menunduk menatap meja. Aku semakin bingung.

Aku pun membiarkan Chessa larut tanpa melahap bakso, membiarkan mangkuk itu mendingin seturut dengan keadaan ini. Chessa pun mengangkat wajah dan menatapku.

"Sementara Jaerk pergi, sepulang sekolah kamu harus ikut aku ke suatu tempat."

Aku mengernyit. "Kenapa, Chess?"

"Kamu tampak tidak sehat, Jes. Kamu harus ke dokter."

.

.

.

***