Andrea mengantar Ludwina fisioterapi setiap hari Sabtu ke RSCM. Setiap kali mereka datang pandangan para terapis yang aneh sama sekali tidak mengganggu Ludwina yang cuek. Andrea yang sangat yakin Ludwina tidak benar-benar terkilir menikmati sandiwara gadis itu dengan hati geli.
Wajahnya setengah mati berusaha dibuat serius saat menggendong Ludwina turun dari mobil ke ruangan terapi. Saat gadis itu dibantu terapis untuk "melatih" kakinya, Andrea akan duduk di sudut ruangan sambil membaca buku.
Sesekali ia akan melirik dari balik bukunya dan melihat Ludwina yang kepayahan mengikuti arahan terapis. Senyum Andrea yang dikulum sambil membaca bukunya membuatnya tampak semakin tampan dan Ludwina tidak pernah bisa konsentrasi pada terapinya.
Selesai fisioterapi Andrea akan kembali menggendongnya ke mobil dan menanyakan kemajuannya.
"Kakiku masih sakit.." keluh Ludwina, "Ugh, menyebalkan. Aku jadi nggak bisa ngapa-ngapain. Padahal aku kan mau nonton film The Great Gatsby.. Sudah dari lama aku tunggu-tunggu filmnya tayang. Bulan depan pasti sudah nggak diputar di bioskop."
Andrea tidak tahu harus berbuat apa. Ia menduga-duga Ludwina sedang mencari alasan agar ia mengantarnya ke bioskop.
Sebenarnya dengan senang hati ia ingin menemani Ludwina ke bioskop, bahkan tanpa harus pura-pura terkilir segala. Tetapi ia masih ingat pengalamannya dulu saat pacaran dengan Adelina yang berakhir dengan patah hati.
Ia tidak ingin mengambil risiko terluka sekali lagi bila jatuh cinta dengan anak orang kaya.
"Kita makan es krim saja ya.." kata Andrea kemudian seolah tidak mendengar keluhan Ludwina. Ia berlari ke minimarket terdekat dan membeli dua es krim magnum. Satu untuk Ludwina, dan satu untuknya.
Ludwina memakan es kirimnya dengan tampang cemberut. "Ugh.. Padahal filmnya bagus banget...hiks..."
Mereka pulang ke rumah Ludwina tanpa bicara apa-apa. Demikianlah sabtu berikutnya Andrea kembali mengantar Ludwina fisioterapi untuk kedua, dan ketiga kalinya. Ludwina sudah berhenti mengeluhkan tentang film Great Gatsby yang tidak bisa ditontonnya karena kakinya yang "sakit".
Ia tahu perbuatannya sia-sia saja karena sepertinya Andrea tidak berminat membawanya nonton. Ia hanya datang melaksanakan tanggung jawabnya menemani Ludwina fisioterapi hingga sembuh dan tugas itu hampir selesai.
Hari ini fisioterapi terakhir dan Ludwina sudah bisa berjalan walau masih tertatih-tatih.
Duh, aktingmu bagus sekali, bocah tengil... pikir Andrea dalam hati saat melihat Ludwina yang cemberut berjalan sambil memegangi tangannya.
"Tunggu di sini ya, aku beli es krim dulu." kata Andrea sebelum mereka naik ke mobil. Ludwina mengangguk lesu. Matanya mengikuti Andrea masuk ke minimarket dengan pandangan sedih, hingga pemuda itu keluar dengan dua es krim magnum seperti biasa.
Ritual hari sabtu mereka akan segera berakhir, dan Ludwina tidak punya alasan lagi untuk bertemu Andrea. Dadanya terasa sesak.
"Ini es krimnya." Andrea membuka satu bungkus es krim dan dan menyerahkannya kepada Ludwina, lalu menikmati es krimnya sendiri.
"Terima kasih," jawab Ludwina. Mereka lalu makan es krim dalam diam.
Andrea membuka ponselnya dan menjelajahi Google sambil menunggu Ludwina yang makan es krim lambat sekali. Tiba-tiba ia mengambil keputusan nekat.
"Great Gatsby masih diputar di 21 Blok M. Kamu masih mau nonton?" tanyanya cepat. Ia menunjukkan jadwal bioskop di ponselnya.
Ludwina terhenyak. Ia sama sekali tidak menyangka di hari terakhir pertemuan mereka, Andrea akan menyanggupi permintaannya. Ia mengangguk kuat-kuat dan buru-buru menghabiskan es krimnya.
"Iya... aku mau! Aku mauuu...!!!"
"Eh, makannya jangan buru-buru, nanti kalau keselek, aku juga yang kena," seru Andrea cepat sambil membantu menepuk-nepuk punggung Ludwina yang batuk-batuk karena es krim. "Tuh, kan..."
Dalam hati Andrea merasa tidak apa-apa kalau ia menemani Ludwina menonton film ke bioskop. Toh setelah ini mereka tidak akan bertemu lagi. Kakinya sudah sembuh, tidak ada lagi jadwal fisioterapi, dan mereka tidak punya alasan lagi untuk bertemu.
Biar ia menutup pertemuan mereka dengan kenangan yang manis. Setelah ini ia akan melanjutkan hidup.
Andrea sudah mendapat panggilan wawancara pekerjaan dari perusahaan IT dari Inggris yang berkantor cabang di Singapura. Hari Senin depan ia akan terbang ke Singapura, dan kalau diterima bekerja di sana, ia akan pindah dari Indonesia.
Sungguh, setelah ini tidak ada alasan lagi untuk bertemu Ludwina.
Gadis itu tampak senaaaang sekali saat memasuki bioskop dan menonton film The Great Gatsby. Ia bercerita bahwa novel The Great Gatsby adalah salah satu novel favoritnya dan ia sangat puas dengan hasil adaptasinya ke dalam film.
Tak henti-hentinya ia memuji akting Leonardo Di Caprio dan mengatakan Gatsby yang tampan, kaya, dan misterius adalah sosok pria ideal setiap perempuan.
Walaupun ia sebal mendengarnya, tetapi Andrea tidak bisa marah. Bagaimanapun ini adalah hari terakhir ia bisa bertemu gadis imut yang menurutnya sangat menggemaskan ini. Ia hanya bisa mengangguk-angguk.
Setelah selesai menonton, mereka pulang ke rumah Ludwina. Keduanya hanya bisa diam di sepanjang perjalanan.
"Terima kasih, ya. Sudah menemaniku terapi sampai pulih. Kamu nggak ada kewajiban apa-apa lagi... Terima kasih juga sudah menemani nonton film Gatsby... It means a lot to me," kata Ludwina lirih saat turun dari mobil.
Andrea ikut turun.
"Sama-sama. Semoga berhasil dengan novelmu ya. Nanti aku cari di toko buku," balas Andrea sambil tersenyum. "Bye, Ludwina..."
"Bye, Andrea..."
Andrea memastikan Ludwina masuk ke dalam rumah dengan tidak kurang suatu apa, lalu ia pergi keluar gerbang dan menyetop taksi.
Di dalam taksi Andrea meremas-remas jarinya dengan resah. Ia tahu tak mungkin bisa berjumpa lagi dengan gadis imut yang menipunya dengan kaki terkilir itu. Tak ada alasan lagi untuk bisa bertemu.
Ia menghela nafas panjang dan pandangannya menjadi sedih.