Chereads / Ludwina & Andrea / Chapter 12 - Panggilan Roaming

Chapter 12 - Panggilan Roaming

Andrea sebenarnya tidak terlalu ingin pindah ke Singapura. Tetapi tawaran pekerjaan di perusahaan IT ini sangat menarik baginya. Ia bisa bereksperimen dengan banyak platform dan mengembangkan berbagai perangkat keamanan digital yang sangat disukainya.

Kesempatan seperti itu tidak ada di Indonesia. Ia juga memilih Singapura karena letaknya yang masih dekat dan ia bisa pulang seminggu sekali untuk menjenguk ibunya jika perlu.

Wawancara terakhirnya dengan user yang akan menjadi manajernya, berlangsung sangat akrab. Keduanya langsung cocok membahas berbagai trend cyber security yang sedang ada.

Joe adalah salah satu dari sedikit orang yang memegang sertifikasi keamanan CISSP, ISSAP, ISSMP, dan CSSLP dan ia menginspirasi Andrea untuk mengikuti jejaknya. Ia memuji Andrea sebagai genius dan berhasil meyakinkannya untuk segera mulai bekerja dan pindah ke Singapura secepatnya.

Employment Pass Andrea segera diurus Perusahaan dan ia menerima konfirmasi tepat seminggu kemudian.

Andrea diberi fasilitas hotel selama dua minggu oleh perusahaan begitu ia tiba di Singapura, agar ia dapat mencari apartemen. Sebagai laki-laki yang simpel dan tidak banyak memiliki barang, ia datang hanya membawa sebuah koper.

Nanti begitu menemukan tempat tinggal yang disukainya, ia tinggal pindah dari hotel ke apartemen baru. Gaji yang diberikan untuk jabatannya lumayan dan Andrea bisa memilih tempat tinggal untuknya sendiri.

Beberapa rekan kerjanya dari Indonesia memilih menghemat biaya akomodasi dengan menyewa apartemen bersama-sama dan menabung sebagian besar gaji mereka, tetapi Andrea adalah seorang penyendiri yang menganggap privasinya lebih penting daripada menabung.

Di hari keduanya di Singapura, Andrea memutuskan untuk mulai mencari apartemen yang sesuai. Kepalanya langsung pusing melihat begitu banyak iklan dan pilihan di berbagai portal property. Bosnya menyarankannya untuk menggunakan jasa agen, tetapi tetap saja ada terlalu banyak pilihan agen yang membuatnya masih pusing.

Ia hampir melempar ponselnya ke tempat tidur karena sebal ketika tiba-tiba terlihat ada panggilan masuk di layar, dari Ludwina.

Buru-buru Andrea menangkap kembali ponselnya dan memencet tombol terima panggilan. Ia berhasil mendarat di atas tempat tidur dengan ponsel di tangan, dan ia segera menenangkan nafasnya yang memburu karena adrenalin akibat gerakan olahraganya yang tak terduga barusan.

"Hei.. Selamat sore, Wina. Apa kabar?"

Dalam hati ia memuji dirinya sendiri yang berhasil bicara dengan suara yang terdengar normal. Sebulan terakhir ia sering sekali membayangkan wajah gadis itu dan berkali-kali ia hampir tergoda untuk meneleponnya. Sayangnya Andrea tak punya alasan untuk menghubunginya karena Ludwina sudah "sembuh".

Andrea tidak pintar mengarang alasan. Tidak seperti Ludwina dengan kaki terkilirnya.

"Kabar baik..." terdengar suara renyah Ludwina di ujung sana. "Kakiku sudah sembuh sempurna dan sekarang malah sudah bisa jogging, kalau aku mau jogging.. Haha."

"Good to hear."

"Aku juga sudah bisa nonton ke bioskop lagi. Ada banyak film bagus yang ingin kutonton."

"That's good. I'm happy for you."

"Uhmm..kamu sedang sibuk apa?"

Andrea melihat ke komputernya dan mendesah. "Sedang cari apartemen. Aku nggak bakat melakukan yang beginian."

"Cari apartemen di mana? Kamu mau pindah rumah?" tanya Ludwina keheranan.

"Singapura. Aku sudah diterima kerja di sini dan baru pindah kemarin. Sekarang masih tinggal di hotel dan sedang mencari tempat tinggal. Terlalu banyak pilihan, aku nggak tahu mesti mulai dari mana."

"Oh..."

Selama dua menit tidak terdengar suara Ludwina. Rupanya ia masih shock mendengar kabar kepindahan Andrea yang tidak terduga dan tidak dapat menemukan kata-kata yang tepat. Andrea menunggu dengan sabar sampai gadis itu bersuara lagi.

"Kamu sudah pindah ke Singapura..." akhirnya terdengar suara Ludwina pelan. "Kantormu di daerah mana?"

"Di Financial District," jawab Andrea. "Daerah Marina".

"Oh... Kamu mau tinggal di HDB atau apartemen atau kondominium?"

"Apa bedanya?"

Saat mendengarkan penjelasan Ludwina tentang perbedaan ketiga jenis hunian tersebut, tiba-tiba Andrea sadar Ludwina menelepon ke nomor prabayar Indonesianya. Ia belum sempat mampir ke Singtel untuk mengurus nomor telepon lokal.

Andrea tidak tahu tinggal berapa sisa pulsa yang ada di nomor Simpatinya, tetapi ia tidak akan membiarkan telepon itu putus tiba-tiba. Ia cepat-cepat membuka i-banking dan mengisi pulsa sambil mendengarkan Ludwina bicara.

"OK, aku sih nggak masalah tinggal di HDB atau apartemen. Yang penting tempatnya nyaman." kata Andrea akhirnya mengambil kesimpulan.

"Tapi kamu suka olahraga atau tidak? HDB tidak ada fasilitas gym dan kolam renang. Orang kayak kamu mungkin lebih nyaman kalau berolahraga di fasilitas dalam gedung apartemen, daripada harus ke sports center di luar. Kamu kan nggak suka rame-rame."

Dalam hati Andrea merasa tersentuh karena ternyata Ludwina cukup mengerti dirinya, Ia memang tidak suka keramaian.

"Kamu benar. Kalau begitu aku cari apartemen saja, bikin beberapa must-have item list dan kasih ke agen biar mereka yang sortir pilihan dan aku cukup lihat maksimal 3 unit." katanya kemudian.

"Yup. Kamu kan sibuk, jangan buang waktu nyari sendiri."

"Kamu kok tahu banyak tentang Singapura? Pernah tinggal di sini?"

"Hehehe...nggak sih. Dulu aku sama Ibu pasti ke Singapura setiap weekend, untuk belanja. Sampai bosan ke Singapura terus. Aku sudah puasa ke Singapura 2 tahun. Lebih enak traveling ke negara lain," jawab Ludwina. "Rumah kami di Singapura dijual karena aku sudah nggak pernah ke sana."

"Oh...." harapan Andrea yang tadinya mengira bisa bertemu Ludwina di Singapura menjadi sirna begitu mendengar gadis itu tidak berminat datang ke sana.

Seketika itu juga pikirannya menjadi jernih. Ia ingat bahwa seharusnya ia tidak berpikir macam-macam tentang Ludwina, apalagi berharap bisa menjadi kekasihnya. Hidup mereka bagaikan bumi dan langit. Gadis itu terlahir di keluarga kaya raya dan seumur hidupnya tidak pernah mengalami kesulitan dalam hidup.

"Rumah kamu di Singapura dulu di daerah mana?" tanya Andrea sambil lalu.

"Di daerah Beach Road. Di situ tidak terlalu ramai tetapi dekat ke berbagai tempat penting. Menurutku sangat strategis." jawab Ludwina. "Wah, ngomong-ngomong, selamat atas pekerjaan baru kamu ya. Semoga kamu suka tinggal di Singapura. Di sana enaknya nggak perlu naik mobil kemana-mana, karena transportasi umum bagus, ada MRT dan bus yang reliable. Nggak macet juga. Mau jalan kaki juga enak, karena trotoarnya lebar dan mulus, cuma panasnya saja yang bikin nggak tahan."

Andrea kemudian ingat ucapan Adelina beberapa tahun lalu. Sesudah mereka lulus kuliah, Adel ingin Andrea dan dirinya pindah ke luar negeri karena di negara maju orang kaya dan miskin tidak terlalu kelihatan bedanya. Semua orang bisa naik transportasi umum karena mobil tidak terlalu diperlukan.

"Terima kasih. Kurasa aku akan suka tinggal di sini." kata Andrea kemudian.

"OK.. well, I guess... good luck!"

"Thank you, Ludwina."

Saat menutup telepon Andrea menghela nafas dan memandang keluar jendela hotelnya mencoba mengira-ngira ada di sebelah manakah area Beach Road.

Di Jakarta, Ludwina juga menutup telepon dengan wajah sedih. Ia lalu duduk di sofa dalam kamarnya sambil mengingat-ingat sesuatu. Kemudian ia terhenyak dan membekap mulutnya. Ia baru sadar bahwa barusan nomor Andrea yang ia hubungi pasti dalam keadaan roaming. Astaga....

Pasti panggilan telepon tadi mahal sekali...

Seketika Ludwina merasa malu karena sama sekali tidak memikirkan kondisi lawan bicaranya. Ia sadar bahwa selama ini ia terbiasa hanya memikirkan diri sendiri.

"Astaga... apa sebaiknya aku transfer uang untuk mengganti biaya roaming tadi ya?" pikirnya bingung. Setelah beberapa lama, ia memutuskan bahwa menawarkan uang untuk membayar biaya telepon barusan justru akan memperburuk situasi.

Ludwina merasa sangat kesal pada dirinya sendiri.