Ludwina turun dari pesawat dengan perasaan gembira. Sudah lama ia tidak keluar dari bandara Changi. Biasanya ke sini hanya untuk transit ke negara lain. Dulu menurutnya Singapura membosankan.
Walaupun mereka sudah membangun banyak atraksi baru yang bagus seperti Gardens by The Bay dan lain-lain, ia tidak tertarik berkunjung - hingga minggu lalu ketika bertemu Andrea di bandara saat ia hendak ke Scotlandia dan Ludwina tak bisa lagi menahan kerinduannya untuk bertemu pemuda itu.
Ia pun bertekad untuk mengesampingkan egonya dan pergi ke Singapura, kemudian di sana ia akan mencari alasan untuk bertemu.
Dari bandara ia segera menuju Raffles Hotel dan check in. Setelah beristirahat sebentar, ia berjalan kaki ke beberapa tempat yang dulu menjadi favoritnya untuk dikunjungi. Cuaca yang panas tidak membuatnya segan untuk menikmati kota.
Rasanya Singapura seperti terlahir kembali untuknya. Hanya dengan mengingat bahwa Andrea berada di kota yang sama, perasaan Ludwina menjadi bahagia.
[Aku sedang duduk di Chijmes. Mencari inspirasi. Kamu kerja sampai jam berapa?]
Ludwina mengirim email kepada Andrea.
5 menit kemudian ia menerima SMS dari sebuah nomor Singtel.
[Ini nomor ponselku yang baru. Komunikasi bisa lebih cepat dengan telepon. Aku kerja sampai jam 6. Bagaimana proses pencarian inspirasinya? Dapat yang bagus? - Andrea Baskara]
[Tidak banyak inspirasi. Aku malah minum..ahahaha.]
[Mau makan malam bareng? Aku yang traktir. Kau tamu di sini.]
Ludwina tersenyum membaca SMS Andrea. Is he asking me out on a date? pikir gadis itu. Hatinya berbunga-bunga.
[I would love that! Pick the place and I'll be there.]
Andrea mengirim email singkat kepada Lucia, office manager untuk meminta rekomendasi restoran dan dengan senang hati gadis itu memberi beberapa pilihan.
"Untuk kapan? Tempat yang paling happening sekarang adalah Moccasin Restaurant. Agak susah untuk dapat kursi kalau tidak reservasi. I can help you check."
"Oh, terima kasih. Kalau bisa bantu pesankan satu meja untuk dua orang, aku akan berutang budi kepadamu," kata Andrea sambil tersenyum. "Malam ini atau besok, mana yang available."
"Baiklah. Dengan siapa nih? Kalau boleh tanya?" Lucia tersenyum menyelidik. Andrea tidak menjawab, hanya tersenyum, dan Lucia mengerti untuk tidak mendesak.
"Malam ini ada meja untuk dua orang. Sudah kupesankan atas namamu." kata Lucia setengah jam kemudian. Andrea mengucap terima kasih lalu mengirim SMS kepada Ludwina tentang reservasi makan malam mereka di Moccasin.
[Jam 8 di Moccasin Restaurant. Mau kujemput?]
[Tidak usah. Dari Chijmes tidak jauh. Aku tinggal jalan kaki ke sana.]
Baik Ludwina maupun Andrea tanpa sadar tersenyum terus sepanjang hari itu. Banyak pria yang sedang minum di Chijmes tertarik melihat gadis cantik yang duduk sendirian di mejanya sambil nyengir tanpa henti dan mengiriminya minuman, tetapi dengan ramah ia menolak.
Sementara teman-teman kantor Andrea tak luput memperhatikan ekspresinya yang demikian cerah sepanjang hari. Biasanya ia sangat tertutup dan senang menyendiri, tetapi kali ini sepertinya Andrea bersikap lebih sosial terhadap mereka.
Jam 8 kurang lima Ludwina sudah ada di pintu masuk Moccasin. Ia menyebutkan reservasi atas nama Andrea dan pelayan membawanya ke meja di sudut ruangan. Ketika ia baru duduk, tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggilnya dengan akrab.
"Hey... Wina! Kok nggak bilang-bilang ke Singapura lagi?"
Wina menoleh ke asal suara dan menemukan seorang pria berwajah agak jahil dan berpenampilan sangat trendi, datang mendekatinya.
"Astaga... Kevin, apa kabar? Ngapain di sini?"
Ludwina berdiri dan merangkul Kevin dengan akrab. Mereka tertawa-tawa saling tepuk bahu dan saling mengacak rambut masing-masing, tepat ketika Andrea tiba. Ia berdiri kaku melihat pemandangan di depannya dan mendeham.
"Ini restoranku yang baru. Ini cabang dari restoranku yang di Hong Kong, baru berdiri enam bulan dan cukup ramai, jadi aku sering ke sini untuk kontrol," jawab Kevin kemudian. "Kamu sendiri tumben ke Singapura? Dulu katanya mau puasa menginjakkan kaki ke Singapura. Sudah selesai puasanya?"
Ludwina tertawa, "Ahahaha... iya, sudah. Beberapa tahun ini sudah lumayan berubah ya, aku mau jalan-jalan ke sini lagi."
Ia menoleh kepada Andrea dan kemudian ikut berdeham, "Eh, kenalkan ini Andrea. Kami reservasi makan malam di sini atas nama Andrea. Andrea kenalkan ini Kevin Tan, temanku sejak kecil, ternyata dia pemilik restoran Moccasin. Aku baru tahu tadi."
Kevin menjabat tangan Andrea dengan hangat, "Ayo kupindahkan kalian ke meja yang lebih baik."
Ia mengajak mereka ke sudut lain yang lebih privasi dan memiliki kursi untuk 4 orang supaya ruangnya lebih luas.
"Please order anything. It's on me." Kevin memberi tanda kepada pelayan untuk membawakan menu. "I am sorry I cannot sit with you now, but I promise I'll come back here."
Ludwina dan Andrea mengangguk. Setelah Kevin pergi, Andrea menoleh kepada Ludwina, "Wahh... aku nggak jadi traktir, ternyata restorannya punya temanmu."
"That's good. Berarti nanti kamu harus traktir lagi di tempat lain," jawab Ludwina dengan senyum jahil.
"Kalian akrab sekali kelihatannya."
"Iya, kami teman dari kecil. Sebenarnya malah dulu aku sama dia itu mau dijodohkan. Kedua orang tua sudah setuju."
"Oh..." Andrea tertegun mendengar penjelasan Ludwina. "Terus?"
"Ini kan abad 21, Andre. Siapa yang mau dijodohin? Walaupun aku nggak ada masalah sama Kevin. Dia anaknya baik, jahil, dan penuh petualangan... Tapi orangtua kami hanya menjodohkan anak-anaknya karena tradisi. Orang kaya kawin dengan orang kaya. Hidup kami sudah diatur sedari kecil." Ludwina terdiam cukup lama sebelum melanjutkan.
"12 tahun yang lalu kakakku Wolfgang meninggal dunia di usia 14. Kematiannya karena meningitis cukup mendadak dan membuat kami sekeluarga terguncang. Kak Johann kemudian ingin menjadi dokter untuk menyelamatkan jiwa dan menolong orang... Sementara Ayah dan Ibu menjadi berubah pikiran. Mereka sekarang tidak peduli dengan uang dan bisnis dan hal-hal materialistis lainnya, fokus mereka hanyalah kebahagiaanku dan Johann. Makanya aku dilepas kuliah ke New York untuk mengejar mimpiku, dan sekarang aku bisa terbang ke mana pun aku mau untuk mencari inspirasi atau apa pun yang aku ingin temukan. Johann bisa jadi dokter, dan dia sekarang pacaran dengan seorang pelukis."
Entah kenapa Andrea sangat lega mendengar penjelasan Ludwina. Ia sekarang mengerti mengapa sikap keluarga Ludwina cukup santai dan terbuka. Mereka bahkan tidak membahas bisnis ayahnya di meja makan. Fokus orangtuanya hanya pada kebahagiaan anak-anaknya.
"Kamu kelihatannya cukup dekat dengan Kevin. Dia keberatan waktu pertunangan diputuskan?" tanyanya kemudian.
Ludwina mengerutkan kening. "Uhm.. technically, aku masih 'tunangan' Kevin....hahahaha, kami nggak pernah secara resmi memutuskannya, karena aku kan belum menemukan pacar yang aku suka....ahahaha..."
Pelayan datang membawakan minuman mereka. Kevin kemudian datang kembali dan duduk di sebelah Ludwina. Perasaan Andrea tiba-tiba tidak enak.
"Aku dan Kevin ini punya kesepakatan, kalau sampai umur 30 kami belum menemukan pasangan, kami kawin aja dengan masing-masing." Ludwina menerangkan dengan geli. Kevin mengangguk membenarkan.
"Tadinya kesepakatan batas umur yang kita sepakati adalah 25, terus karena Ludwina sekarang sudah 24, kita naikkan jadi 30. Mungkin nanti beberapa tahun lagi akan naik lagi jadi 35 atau 40...ahahaha... Zaman sekarang rasanya menikah makin menjadi tidak populer."
"Betul. Banyak orang yang menjadikan pernikahan sebagai tujuan hidup. Padahal itu hanya satu bagian kecil dari kehidupan manusia, masih ada karier, cita-cita, hubungan kita dengan orang lain, mimpi-mimpi yang ingin kita wujudkan. Menurutku sudah terlalu banyak orang yang menikah dan punya anak karena mereka tidak tahu lagi mau apa dalam hidup," kata Ludwina mengangkat bahu, "Aku mau menulis novel sukses dan menginspirasi orang lain."
"Aku mau buka restoran-restoran baru yang bisa membawa nama Indonesia ke kancah dunia. Aku mau mengembangkan grup perusahaan ayahku." Kevin menyambung.
"Kalau Andrea? Kamu mau apa?" tanya Ludwina sambil menatap Andrea. Pemuda itu tampak menimbang sesuatu, baru menjawab.
"Aku ingin menjadi security expert terbaik di Asia Pasifik, dan dunia," kata pemuda itu kemudian.
"Iya, kan? Kalau kita fokus pada impian kita masing-masing, kita tidak akan punya waktu untuk hal remeh seperti menikah dan punya anak," tukas Ludwina.
"Sudah dua tahun aku lulus kuliah dan sudah puluhan negara kudatangi untuk mencari inspirasi, aku masih belum bisa menjadi penulis betulan. Bayangkan apa yang terjadi kalau aku harus dihambat oleh suami dan anak."
"Eh, tapi kalau kita jadi menikah di umur 30, setidaknya kamu kasih aku anak satu, Win, biar ada yang meneruskan bisnisku," kata Kevin sambil tertawa,
"Kita bisa adopsi saja, Kevin sayang. Populasi manusia sudah terlalu banyak." Ludwina menggeleng-geleng.
"Memangnya kamu bisa menyayangi anak orang lain seperti anakmu sendiri? Kamu kan orangnya egois." tukas Kevin. Ludwina tampak tersinggung mendengarnya.
"Kamu kan tahu kalau aku sudah mengambil keputusan, aku pasti memegang teguh keputusanku itu. Aku pasti bertanggungjawablah." Ludwina menatap Kevin dengan mata menyipit dan penuh tuduhan sambil menghabiskan mojito pesanannya. "Siapa yang memelihara succulent* aja sampai mati kekeringan? Kamu kalau menjaga tanaman tetap hidup saja nggak bisa, jangan bicara soal punya anak dong."
Kevin garuk-garuk kepala mendengar tuduhan Ludwina. Tampangnya terlihat kalah. Ia lalu menoleh kepada Andrea untuk mencari dukungan.
"Ludwina kelamaan tinggal di Amerika. Pikirannya sama seperti kebanyakan anak milenial sana yang hanya mau traveling, nggak mau settle down, nggak mau menikah dan punya anak. Pandangannya sudah terlalu western. Aku masih percaya sama nilai-nilai timur karena aku kuliah di sini. Menurutku kita perlu memiliki keturunan untuk meneruskan legacy kita. Andrea, kamu kuliah di mana?"
"UI," jawab Andrea. "Tapi aku setuju sih dengan Ludwina, punya anak itu tanggung jawab besar. Kita nggak hanya perlu uang, tapi juga dedikasi, kasih sayang, dan waktu. Orang yang nggak bisa menjaga tanaman atau hewan peliharaan, sebaiknya nggak usah punya anak. Banyak orang yang punya anak tanpa persiapan dan akhirnya terjadi banyak masalah, menghasilkan anak-anak yang tidak bahagia di dunia ini, dan akhirnya ada banyak orang dewasa yang juga tidak bahagia."
Ludwina tersenyum lebar mendengar penjelasan Andrea.
"Jadi kamu setuju bahwa manusia sudah terlalu banyak dan kita nggak perlu punya anak?" tanyanya sambil melirik Kevin, senyum lebar tersungging di bibirnya.
"Aku setuju bahwa orang yang nggak mampu menjadi orangtua yang baik sebaiknya tidak punya anak." Andrea menyesap wine-nya pelan-pelan, sebelum melanjutkan, "Aku suka berkebun dan punya dua anjing di rumah. Tanaman dan anjing-anjingku hidup sehat dan bahagia."
Seketika senyum Ludwina menghilang. Ia dan Kevin saling pandang dan keduanya garuk-garuk kepala.
"YOU want to have kids?" tanya Ludwina kemudian.
"Yes," jawab Andrea mantap.
"Umur kamu baru 27 kan?" tanya Ludwina lagi. "Biasanya cowok umur segitu masih senang-senangnya main dan mencari pengalaman. Johann saja sudah hampir 30 tapi masih sibuk mengejar kariernya sebagai dokter. Dia pacaran sudah hampir 6 tahun dengan Irma dan mereka juga santai saja tuh."
"Kamu percaya nggak kalau aku hampir menikah 4 tahun lalu? Umurku waktu itu baru 23 tahun," jawab Andrea. "When you meet the right person, you shouldn't let go. Kalau mengejar karier dan pengalaman, sampai kapan pun nggak ada habisnya."
Ludwina tertegun. Ia tak pernah menduga pembicaraan mereka akan menjadi seserius ini. Ini kencan pertama mereka kan? Ia tidak pernah tahu Andrea pernah hampir menikah. Dengan siapa? Kenapa tidak jadi? Siapa perempuan itu? Apa Andrea masih mencintainya??
Kevin yang menyadari pembicaraan di antara kedua tamunya ini menjadi serius, akhirnya mendeham dan permisi untuk menyapa tamu-tamu restoran yang lain.
Makanan yang mereka pesan tiba dan keduanya mulai makan dalam diam. Tepatnya karena Ludwina yang tidak berbicara apa-apa sambil menghabiskan main coursenya, dan ia menghindari tatapan Andrea. Pikirannya dipenuhi pertanyaan dan ia tidak tahu harus mulai menginterogasi Andrea dari mana.
Lagipula... ia tidak merasa berhak terlalu banyak bertanya, karena Andrea bukan apa-apanya. Mereka hanya janjian malam ini untuk makan malam setelah 7 bulan tidak bertemu.
Ludwina menyukai Andrea karena pemuda tampan itu sangat sabar, pintar, dan membuat hatinya berbunga-bunga. Dan ia merasa Andrea juga menyukainya. Tetapi mereka baru di tahap berteman, dan Ludwina tidak tahu sejauh apa ia bisa bertanya tentang kehidupan pribadi pemuda itu. Ia tidak mau lancang.
Untuk pertama kalinya dalam hidup, Ludwina merasa tidak bisa menemukan bahan pembicaraan.