Ludwina naik penerbangan paling pagi ke Hong Kong dan tiba di sana sesudah jam makan siang. Ia langsung check in ke hotel Park Royal milik ayahnya. Setelah beristirahat sebentar, ia pun mengirim pesan kepada Kevin untuk menemuinya di hotel.
[Kamu sudah lama nggak ke Hong Kong. Makan malam sama aku di Sky Bar ya?] kata Kevin di SMS.
[Oke]
Sky Bar di Lantai 118 Hotel Ritz Carlton adalah tempat favorit Ludwina di seluruh Hong Kong dan Kevin tahu itu. Mereka bisa melihat seluruh bentang langit Hong Kong dari bar tertinggi di dunia itu.
Ludwina sangat menyukai pemandangan lampu-lampu Hong Kong dari atas dan ia bisa duduk di sana berjam-jam hanya minum wine dan mengagumi pemandangan itu dari dinding kaca Sky Bar.
Kevin tiba di area lobi hotel Park Royal dengan Maserati putihnya dan Ludwina segera naik di kursi sebelahnya. Hong Kong adalah surganya mobil mewah. Ludwina belum pernah melihat kota dengan lebih banyak Ferrari, Maserati, Lamborghini, Tesla, dan Porsche di seluruh dunia.
Ia tahu Kevin merasa seperti di rumah sendiri saat ia tinggal di Hong Kong, dan ia mengganti mobil mewahnya sesering ia mengganti baju. Keluarganya menguasai industri makanan di Indonesia namun dirinyalah yang mengambil inisiatif untuk membuka restoran di Hong Kong, berkompetisi dengan pengusaha lokal, kemudian melebarkan sayap ke properti.
Ludwina ingat pertama kali jalan-jalan ke Hong Kong berdua dengan Kevin 10 tahun lalu saat mereka remaja, pemuda itu menarik nafas dalam-dalam di Avenue of The Stars dan berkata bahwa ia merasa menemukan rumahnya. Ia sangat menyukai kehidupan Hong Kong yang vibran, kekacauan sistemis yang ada di sana, dan puluhan jenis manusia dari berbagai negara yang tumpah ruah menjalin satu ekosistem yang menurutnya sangat mempesona.
"Heyy... senang banget ketemu kamu di sini. Sudah lama banget kan nggak ke Hong Kong," Kevin mencium pipi Ludwina dan mengacak rambutnya seperti yang biasa mereka lakukan terhadap satu sama lain setiap bertemu. "Nggak kangen minum-minum di Lan Kwai Fong sampai pagi?"
"Hahahaha.... kangen sih, kapan-kapan ke sana lagi. Sekarang kita dinner saja ya. Ada yang mau aku bicarakan," jawab Ludwina.
Lan Kwai Fong adalah distrik hiburan malam di Hong Kong yang sangat meriah dengan restoran dan bar yang ramai pada akhir pekan. Ribuan orang akan memadati jalan-jalan sambil menikmati minuman dan musik, sungguh membuat siapa pun yang ada di sana menjadi bersemangat dan penuh gairah hidup.
Kevin sudah memesan meja terbaik dan mereka duduk menikmati makan malam sambil melihat pemandangan kesukaan Ludwina di Hong Kong, langit malam bertaburkan sejuta bintang dan cahaya lampu kota.
"Kevin... aku dengar dari Johann kemarin... " Ludwina menyesap wine-nya pelan dan mulai bicara dengan hati-hati, "kamu katanya mau melamarku, ya?"
Kevin hampir menyemburkan wine-nya saat mendengar ucapan Ludwina yang blak-blakan. Ia minta maaf dan buru-buru menyeka wajahnya dengan serbet.
"Uhuk... Johann bilang begitu?"
"Is it true?"
Kevin menggeleng-geleng dan meletakkan serbetnya dengan wajah seolah tak percaya ia dikhianati Johann. Ludwina tetap mengejar jawabannya.
"Apa itu benar?"
Kevin menghela nafas, melihat ke kaki langit Hong Kong di bawah mereka, lalu memandang Ludwina dengan wajah serius.
"Kalau nggak umur 25... Umur 30, kan?" Ia balik bertanya. "Bukannya itu perjanjian yang kita buat sendiri 10 tahun lalu?"
"Well, I was young and dumb back then," balas Ludwina sambil mengangkat bahu, "dan waktu itu rasanya romantis, seperti di novel-novel kalau mengikat perjanjian sama cowok untuk kawin kalo kita masih sama-sama single di umur tertentu."
"Kamu kan sampai sekarang nggak pernah punya pacar serius. Aku juga. Sewaktu kamu kuliah di Amerika, aku tahu kamu cuma gitu-gitu saja... Nggak ada laki-laki yang kamu seriusin," kata Kevin. "Aku kuliah di Taiwan juga nggak pacaran serius sama siapa pun, sampai aku pindah ke Hong Kong dan buka usaha di sini. Cewek yang cantik sih banyak di sekelilingku... tapi aku kan tahunya bakal nikah sama kamu, jadi aku ya nyantai saja nungguin sampai kamu selesai dengan mimpi kamu keliling dunia."
Ludwina tertegun mendengar pengakuan Kevin di depannya. Ia kini menatap pemuda itu dengan sudut pandang baru. Kevin berusia lebih tua 3 tahun dari Ludwina. Ia berwajah tampan namun memiliki ekspresi jahil yang tidak pernah bisa hilang sampai ia dewasa. Mereka dulu sangat akrab dan sering bertualang bersama sebelum ia fokus mengurus bisnisnya.
Sebenarnya Kevin adalah sahabat Wolf dari kecil dan ketika Wolf meninggal Kevin seperti menggantikan posisinya di rumah keluarga Ludwina. Saat orangtuanya harus pindah sementara ke Kanada untuk pengobatan ibunya yang sakit kanker, Kevin dititipkan di rumah Ludwina selama beberapa tahun.
Mereka memang dijodohkan sejak kecil namun keduanya hanya menanggapi ringan masalah perjodohan itu karena orangtua mereka sudah tidak membahasnya sejak Wolf meninggal.
Ludwina sendiri tidak percaya pernikahan, tetapi dari dulu ia tahu, kalau sampai ia harus menikah, orang yang dipilihnya adalah Kevin, yang sudah dikenalnya sejak kecil dan selalu baik kepadanya. Kevin adalah laki-laki mapan yang serius dalam menjalani kehidupan.
Di saat anak-anak orang kaya lainnya menghabiskan uang orangtua mereka dengan traveling, seperti Ludwina, ia bekerja dan membangun bisnis yang disukainya. Kadang-kadang ia akan ikut dalam salah satu petualangan Ludwina dan gadis itu selalu senang bepergian dengannya.
Mereka memiliki kesukaan yang mirip dan hampir selalu memilih hotel atau restoran yang sama untuk dikunjungi. Kevin sebenarnya adalah sosok laki-laki yang sempurna untuk Ludwina...
Tetapi itu dulu, saat Ludwina belum jatuh cinta...
Sekarang, hatinya yang kecil sudah terisi oleh satu laki-laki saja dan tidak ada tempat untuk orang lain.
Tidak juga Kevin.
"Kevin... aku nggak bisa nikah sama kamu. Aku mau batalin perjanjian kita," kata Ludwina sambil menatap Kevin dengan kening berkerut. "Kamu harus cari perempuan yang baik, mau nikah sama kamu, kasih kamu anak untuk meneruskan bisnismu."
Kevin menyesap wine-nya dengan tenang, "Ah, Win... kamu kan masih 24, belum 25 tahun. Waktu kita masih panjang. Aku juga nggak buru-buru, kan?"
"Aku sekarang nggak percaya pernikahan.. dan aku juga nggak mau punya anak," kata Ludwina lirih. "Memang aku banyak berubah sejak kuliah di Amerika, tapi aku punya pandangan begini lebih karena aku sudah keliling dunia dan melihat sangat banyak orang yang menikah dan nggak bahagia. Aku juga melihat sudah terlalu banyak manusia di bumi ini, kalau semua orang berkembang biak, bumi kita nggak akan mampu menampung kita semua. Kita nggak bisa memaksa orang lain untuk berubah, jadi aku mau berubah dari diriku sendiri. Aku nggak mau menambah populasi manusia."
"I know that. Aku tahu kamu nggak mau nikah, dan nggak mau punya anak," kata Kevin tenang. "Kamu sadar kalau kamu itu egois dan nggak mampu menjadi orangtua yang baik. That's commendable. Patut dipuji. Nggak banyak orang yang punya kesadaran seperti kamu."
"Betul, aku egois. Sementara kamu itu kan family man, yang mau nikah dan punya anak banyak, karena kamu dulu anak tunggal yang kesepian," kata Ludwina kemudian, "Kamu jangan buang-buang waktu nunggu aku, deh. Aku nggak akan berubah."
Kevin menggeleng, ia menatap Ludwina dengan pandangan serius, dan untuk pertama kalinya, wajahnya tidak terlihat jahil, "Ludwina... kamu nggak akan percaya sesuatu yang belum kamu rasakan. Kamu nggak mau menikah dan membangun keluarga, karena kamu belum ketemu orang yang bisa membuat kamu ingin settle down dan membangun masa depan bersama-sama. I'm sorry that I am not that person for you. Aku pikir kamu akan berubah pikiran kalau kamu semakin dewasa. Kamu kan hidup belum lama..."
Ludwina mengangkat bahu. "Aku nggak tahu. Tapi yang jelas... aku nggak mau kamu menungguku lagi dan menunda kehidupanmu. Kamu harus cari pacar yang serius, nggak usah mikirin aku lagi. Aku sudah bukan tanggung jawabmu sekarang... Terima kasih sudah menjagaku selama bertahun-tahun. Aku bersyukur atas waktu yang kita habiskan bersama. You're a great friend."
Kevin mengangguk-angguk.
"Kalau... Andrea mau menikah dan punya anak, kamu bagaimana?" tanyanya kemudian.
Ludwina tersenyum dan menggeleng-geleng. "Kami belum sejauh itu."
"Aku nanya dari sekarang lho, kamu tujuannya apa sama dia? Kalau kamu cuma mau pacaran seumur hidup tapi dia maunya menikah, kalian nggak kan pernah ketemu."
"Aku nggak tahu..." jawab Ludwina jujur. Pertanyaan Kevin adalah pertanyaan yang diajukannya kepada dirinya sendiri beberapa minggu terakhir ini.
Bagaimana kalau Andrea ingin menikah dan punya anak darinya?
Tapi mereka memang belum melangkah jauh. Bahkan belum terucap kata cinta di antara keduanya. Ludwina yakin bahwa pemuda itu menyukainya dan mereka selalu senang saat menghabiskan waktu bersama-sama, tetapi tidak satu pun yang bicara tentang perasaan dan tujuan hubungan mereka. Ludwina sebenarnya justru nyaman bila mereka terus begitu...
Ia takut kalau tiba-tiba Andrea menyatakan cinta, lalu memintanya untuk menikah... Ludwina akan bingung menjawabnya. Sementara ini ia lebih suka bila mereka menikmati waktu bersama dengan santai dan penuh kegembiraan. Buatnya itu sudah cukup.
Kevin adalah seorang gentleman. Ia menerima pengakuan Ludwina yang ingin memutuskan pertunangan di antara mereka dengan sikap ksatria. Ia tetap bersikap manis kepada gadis itu dan mengantarnya pulang ke hotel setelah mereka selesai makan malam.
"Maaf ya, aku nggak bisa menemani kamu di Hong Kong. Aku perlu waktu sebentar untuk menyendiri. You take care, OK," katanya lirih saat menurunkan Ludwina di lobi.
Ia mengacak rambut gadis itu untuk terakhir kalinya lalu memacu mobilnya ke Lan Kwai Fong dan minum di sana sampai pagi.