Chereads / Ludwina & Andrea / Chapter 21 - Tiba Di Paris

Chapter 21 - Tiba Di Paris

Keesokan harinya Andrea menepati janjinya untuk menggendong Ludwina mengelilingi Rembrandtplein. Ini adalah semacam alun-alun di seberang istana raja yang cukup luas dan banyak didatangi turis.

Mereka datang saat musim panas dan wisatawan sedang banyak-banyaknya. Cuaca pun cukup bersahabat. Kata Ludwina kalau mereka datang di musim semi, dinginnya angin akan cukup mengganggu, walaupun pemandangan akan sangat indah oleh bunga-bunga.

Banyak turis lain yang memperhatikan keduanya saat Andrea menggendong Ludwina, tetapi gadis itu cuek saja. Ia ingat selama sebulan pertama bertemu dengan Andrea, hampir setiap minggu ia digendong pemuda itu saat datang ke rumah sakit untuk fisioterapi. Ah... masa-masa indah, pikirnya.

"Kamu nggak malu digendong begini?" tanya Andrea sambil menoleh ke belakang.

Ludwina hanya tertawa, "Kenapa? Kamu yang malu? Makanya jangan sampai kalah taruhan, dong. Dengarkan apa kata Ludwina. She is Mrs. Right."

Andrea tersenyum sedikit. Ia sadar banyak orang yang memperhatikan mereka, tetapi pandangan orang-orang itu tidak menghina, malah sebagian ada yang melihat mereka dengan kagum.

Andrea tidak malu. Ia dengan senang hati kalah taruhan dengan Ludwina lagi kalau memang hukumannya adalah menggendong gadis itu.

"Oke, berarti aku ubah booking akomodasi kita ya..." kata Andrea saat duduk di kafe menikmati es krim. Ia cepat masuk ke booking.com dan memodifikasi pesanan hotel mereka. "Tapi di Italia aku booking apartemen, itu memang sudah dua kamar kok. Nggak usah diubah ya. Aku ganti yang di Paris saja."

"Oke." Ludwina memainkan ponselnya sambil memandang Andrea. Ia tak bosan-bosan melihat pemuda itu di sekitarnya. Rasanya seperti mimpi bersama Andrea di Amsterdam.

Cetrek!

Ludwina tak tahan untuk tidak mengambil foto Andrea yang sedang serius mengganti pesanan hotel mereka. Pemuda itu mengangkat wajahnya dan tersenyum.

"Nggak mau foto berdua?" tanyanya.

"Mau.. mauuuu...." Ludwina dengan semangat segera memberi tanda meminta pelayan untuk mengambilkan foto mereka. Butuh beberapa lama baru ada yang datang dan mengambil foto mereka.

Ludwina cemberut karena foto yang diambil tidak terlalu bagus, dan pelayan tadi juga tidak terlihat excited memfoto mereka.

"Ugh... dasar Belanda. Hospitality-nya memang parah banget di negara ini. Para pelayan restoran di kota-kota besar Belanda dan di Paris rata-rata nggak perduli sama tamunya. Beda sekali dengan pelayan di Spanyol dan Italia. Di sana semuanya ramaaaahhhhhh dan senang ngobrol sama kita," kata Ludwina menjelaskan.

Ia lalu mencari sesama turis yang duduk di kafe yang sama dan menghampiri mereka. Setelah ngobrol sebentar ia mengambil foto mereka dan salah satu turis itu datang dan gantian mengambil foto Ludwina dan Andrea.

"Thank you so much!"

Memang kalau di Belanda lebih baik minta tolong difoto oleh sesama turis. Hasilnya akan lebih niat.

Ludwina mengamati beberapa foto yang diambil turis tadi dan berdecak senang.

"Ini bagus fotonya, karena yang ngambil niat," katanya senang. Andrea geleng-geleng kepala melihatnya.

"Kenapa nggak pakai tripod saja? Nggak merepotkan orang."

"Aku lupa bawa tripod..." keluh Ludwina.

Hari kedua di Belanda, mereka pergi ke Madurodam melihat gedung-gedung miniatur, lalu Giethoorn dan naik sampan di desa yang terkenal sebagai Venesia ala Belanda itu. Hari ketiga mereka berkunjung ke Den Haag dan Utrecht lalu melanjutkan dengan kereta Thalys ke Paris.

Ludwina mungkin sudah 20 kali ke kota yang terkenal dengan Menara Eiffel itu, tetapi ini pertama kalinya ia merasa bahwa Paris memanggilnya dengan penuh cinta. Ia tak sabar untuk segera tiba di sana.

Sejauh ini perjalanannya dengan Andrea cukup lancar, bahkan terlalu lancar menurut Ludwina. Pemuda itu tidak ribet. Ia selalu mengalah saat Ludwina memilih bagian kamar yang lebih bagus, misalnya menghadap ke jendela.

Ia juga tidak mengeluh kalau Ludwina kelamaan mandi dan bersiap-siap di pagi hari, ia tidak pilih-pilih kalau soal makanan dan mau mencoba apa saja. Mereka gantian memilih tempat makan dan gantian membayar, sejauh ini Ludwina merasa tidak ada yang fussy soal uang dan pengeluaran.

Ludwina yang biasanya senang traveling sendirian akhirnya bisa menemukan teman bercakap-cakap di sepanjang perjalanan. Karena ia sudah pernah ke berbagai tempat, ia selalu punya cerita unik dari tempat yang mereka kunjungi dan Andrea selalu mendengarkan dengan penuh minat.

Ludwina punya teman-teman di Paris dan ia berencana untuk mengajak mereka bertemu untuk memperkenalkan Andrea kepada mereka. Laura adalah teman kuliahnya di Columbia yang jatuh cinta pada seorang pemuda Prancis dan pindah ke Paris untuk bersamanya.

Mereka sudah bersama selama 3 tahun dan setahu Ludwina mereka adalah pasangan modern yang tidak ingin punya anak. Ia berharap Andrea bisa melihat bahwa tidak semua pasangan harus punya anak.

Mereka akhirnya tiba di Stasiun Gare du Nord setelah naik Thalys selama tiga jam. Ludwina merasa bahagia sekali saat menginjakkan kaki di Paris.

Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia melihat kota Paris secara berbeda. Sekelilingnya tampak indah dan ia berani sumpah Ludwina bahkan seperti mendengar musik mengalun di kejauhan. Dulu ia hanya melihat Paris sebagai kumpulan bangunan tua dan bersejarah, serta Sungai Seine. Kini, dengan Andrea di depannya, kota Paris seakan menjadi latar belakang lukisan yang sempurna.

"Kita nginep di mana?" tanya Ludwina sambil menyetop taksi.

"Pullman Paris Tour Eiffel," jawab Andrea.

Ludwina terkesiap, ia tahu hotel itu mahal sekali. "Kok nginep di Pullman?"

"Biar bisa lihat menara Eiffel dari kamar. Kapan lagi kita ke Paris berdua?" jawab Andrea santai, seolah apa yang ia lakukan adalah hal biasa saja. "Lagipula kita sudah menghemat biaya akomodasi dengan memesan hanya satu kamar."

"Oh..." Ludwina mengerti. Andrea memesan hotel yang istimewa bagi mereka di Paris karena baginya kota ini juga memiliki nilai khusus dibandingkan Amsterdam dan Roma. Gadis itu tersenyum lebar dan diam-diam memuji pilihan Andrea.

"Nanti malam kita bisa ke Menara Eiffel dan lihat menaranya yang berlampu. Besok kita jalan-jalan ke Sacre Coeur dan Moulin Rouge. Sorenya kita ke Arch de Triomphe dan lanjut piknik di lapangan rumput depan menara Eiffel sambil minum wine. Aku mau ajak teman-temanku ketemu kita di piknik itu. Hari terakhir kita ke naik kapal menyusuri Sungai Seine dan ke Museum Louvre. Kamu setuju?"

Andrea mengangguk. Taksi mereka sudah melewati Menara Eiffel yang menjulang, dan ia menikmati keindahan kota itu. Andrea bersyukur saat pertama kali ia menginjakkan kaki ke Eropa, ia bersama seorang gadis yang istimewa. Ia tak bisa membayangkan datang ke kota cantik ini sendirian.

Kota Paris adalah kota yang sangat indah, bahkan lebih indah dari Amsterdam yang memiliki bangunan tua cantik berusia ratusan tahun dan berbagai kanal serta bunga-bunga yang menghias di setiap pinggir jalan.

Sungai Seine yang besar dengan kapal yang berlalu lalang, bangunan-bangunan seperti istana yang bertebaran di mana-mana, serta berbagai patung yang bermotif emas membuat suasana Paris seperti di zaman kerajaan, tetapi mobil-mobil dan pengunjung yang mengenakan pakaian modern membuat Andrea sadar bahwa pemandangan ini nyata di zaman mereka.

"What do you think about Paris so far?" tanya Ludwina saat mereka tiba di lobi hotel Pullman.

"Graceful," kata Andrea, tidak menyembunyikan kekagumannya. "My favorite city so far."

"Good to hear that."

My favorite city too, pikir Ludwina dalam hati.

Mereka mendatangi resepsionis dan segera check in. Petugas memeriksa pesanan atas nama Andrea di dalam daftar dan segera wajahnya tampak berubah.

"I am very sorry, I mistook your booking and prepared deluxe room with double bed," Petugas itu tampak menggeleng-geleng penuh rasa bersalah. "Will that be OK with you?"

Ludwina dan Andrea saling pandang. Petugas check in salah menginput kamar pesanan mereka sebagai kamar dengan satu tempat tidur besar, bukannya dua tempat tidur twin.

"Don't you have other rooms with twin beds?" tanya Ludwina.

Petugas itu menggeleng dengan wajah menyesal. "I am sorry, the last one was booked already and the guests already checked in. Why don't I give you complimentary dinner on us, if you take the room with double bed. We are deeply sorry for the inconvenience...."

Andrea menghela nafas. Petugas ini cukup baik, mengkompensasi mereka dengan makan malam gratis di hotel, tetapi ia tidak dapat memberikan mereka kamar dengan dua tempat tidur.

"That's fine. We'll take it. Thank you," jawab Ludwina akhirnya. Ia tahu Andrea tidak akan mengambil keputusan untuk menerima tawaran petugas hotel, maka ia yang harus buru-buru memutuskan untuk mereka.

"Nggak apa-apa, nanti kita suit siapa yang tidur di lantai...." bisiknya dengan suara jahil.

Petugas bellboy lalu memandu mereka ke lantai 10 dan membawakan koper keduanya. Mereka masuk ke sebuah kamar yang sangat indah, dengan jendela besar menghadap ke Menara Eiffel.

"This is perfect!"

Ludwina memberi tip pada bellboy dan mulai menyusun kopernya di sudut dekat jendela. Kamar mereka indah sekali dan ditata dengan linen mahal serta perabotan yang berkelas, tetapi ukurannya sangat kecil dibandingkan kamar-kamar hotel bintang 5 di Asia yang luas.

Hanya ada satu tempat tidur besar dan sebuah sofa kecil di dalam kamar. Seandainya di situ ada sofa besar, salah satu dari mereka bisa tidur di sofa dan yang lainnya di tempat tidur.

Kalau melihat kondisi ini, mereka memang harus suit untuk menentukan siapa yang tidur di lantai.

Keduanya saling pandang.