Akhirnya Ludwina menemukan topik pembicaraan yang lebih ringan. Tidak enak rasanya makan dalam diam.
"Kamu tahu dari mana alamat emailku? Itu kan email pribadiku, hanya diberikan ke teman dan keluarga, sama kepentingan personal," tanyanya kemudian.
"Oh, itu... Kamu pernah posting boarding pass di instagram. Aku bisa tahu banyak sekali informasi kamu dari barcodenya," jawab Andrea. "Media sosial itu nggak aman. Jangan banyak posting informasi pribadi di sana. Bayangkan kalau aku ini stalker yang punya niat jahat, kalau aku mau aku bisa tahu pergerakan kamu sampai mendetail dan menguntitmu."
Ludwina membekap mulutnya dengan kaget, "Serius?? Hanya dari boarding pass? Apa saja yang kamu ketahui tentang aku?"
"Aku tahu email kamu, tempat tanggal lahir, kebiasaan terbang kamu, kota apa saja yang pernah kamu kunjungi... masih banyak informasi lain yang bisa aku dapat tapi aku berhenti. Aku nggak mau menyalahgunakan aksesku untuk mengintip kehidupanmu."
"Terima kasih," tukas Ludwina lega. Ia menggeleng-gelengkan kepala gundah. Ia tidak menyangka hanya dengan memposting boarding passnya waktu itu, ada begitu banyak informasinya yang bisa tersebar. Ia buru-buru membuka instagram dan mencari foto tersebut, lalu menghapusnya.
"Terima kasih sudah memberitahuku tentang ini, aku akan lebih hati-hati ke depannya. Terima kasih juga karena kamu nggak mengintip kehidupanku... That is some scary shit."
Ludwina mendesah gundah, "Apa lagi yang mesti aku hapus?"
"Google tahu semua pergerakan kamu. Kalau kamu buka riwayat kamu di Google, akan tercatat semua kegiatan kamu dan tempat yang pernah kamu kunjungi di seluruh dunia. Sampai jamnya juga tercatat di situ. Kalau kamu masih pakai Google, ya mau nggak mau informasi ini akan terus diambil oleh Google. Google hanya berhenti melacak kamu di China karena pemerintah China melarang mereka. Semua fotomu dan postinganmu di Facebook juga menjadi milik mereka dan digunakan mereka untuk kepentingan komersial dan iklan. Aku sih nggak punya akun di media sosial mana pun."
Pantesan aku nggak bisa cari tahu apa-apa tentang kamu, pikir Ludwina.
"Terus aku harus bagaimana? Gimana biar mereka nggak mengambil dataku?"
"Pakai media sosial seperlunya saja, nggak usah taruh terlalu banyak informasi atau fotomu di sana. Kalau kamu punya bisnis, pakai media sosial untuk keperluan komersial masih ok. Seperti Moccasin Restaurant ini, bisa terkenal karena media sosial. Kalau kamu mau mempromosikan novelmu, bisa pakai media sosial. Tapi untuk hal-hal yang privasi, sebaiknya tidak usah..."
"Oh, oke..." Ludwina tak bisa membayangkan hidup tanpa media sosial seperti Andrea. Rasanya pasti berat sekali... Ugh... Nanti kepada siapa ia bisa pamer foto-foto travelingnya kalau ia berhenti menggunakan instagram dan Facebook?
Seperti membaca pikiran Ludwina, Andrea kemudian mengalihkan pembicaraan pada perjalanannya ke Scotlandia minggu lalu.
"Bagaimana perjalanan kamu mencari inspirasi ke Edinburgh? Ada fotonya nggak?"
"Ah, iya... Edinburgh bagus banget. Ada banyak kastil di sana. Pemandangan alamnya juga keren..." Ludwina teringat foto-fotonya yang banyak di ponselnya dan pindah duduk ke sebelah Andrea untuk memamerkannya. "Nah.. ini dia kafe yang aku bilang waktu itu."
Andrea mengagumi foto-foto Ludwina dan memberi komentar serta pertanyaan tentang suasana di Edinburgh yang dijawab gadis itu dengan senang hati. Dengan gembira ia bercerita apa saja yang ia lakukan di sana.
"Kamu sudah mengunjungi begitu banyak tempat. Mana yang paling berkesan buatmu?" tanya Andrea kemudian.
"Hmm... Aku suka Tuscany di Italia... Tempatnya indaaaah sekali, dengan ladang bunga matahari, kota-kota kecil yang kuno, jalan-jalan berkelok dan bukit hijau yang cantik."
"Oh, aku ingat membaca artikel kamu tentang Italia, waktu kita pertama ketemu di bandara," kata Andrea, "Di kantor imigrasi bandara kamu tanya kepala bandara apakah ada koran Kompas Sabtu karena artikel perjalanan kamu ke Italia baru diterbitkan. Aku baca di situ. Aku suka lho tulisanmu... ceritanya hidup. Kau membuatku ingin pergi ke Italia."
Ludwina menatap Andrea dengan pandangan penuh cinta, "Aww... kau baca artikelku."
Ia membuka satu folder di ponselnya, "Mau lihat foto-fotoku di Italia?"
Andrea mengangguk sambil tersenyum. Ia mencermati setiap foto yang diambil Ludwina saat ia berada di Tuscany dan beberapa kali berdecak kagum.
"Cantik sekali."
"You should go there someday," kata Ludwina semangat, "Aku bersedia menjadi pemandumu. Aku sudah hafal Italia luar dalam."
"Would you do that for me?" tanya Andrea sambil menatap Ludwina lekat-lekat. Ia suka sekali mendengar gadis itu dari tadi dengan bersemangat bercerita tentang perjalanan-perjalanannya. Traveling bersama gadis ceria ini pasti akan sangat menyenangkan. "Aku memang punya cita-cita ke Italia. Ibuku bilang, ayahku tinggal di Milan. Aku tidak pernah bertemu dengannya."
"Oh, I am sorry, I didn't know you've never met your father." Ludwina balas menatap Andrea, lalu mengangguk. "I would go to Italy with you."
Andrea tidak berkata apa-apa selama beberapa menit. Ia seperti fokus pada wine-nya, dan setelah gelasnya kosong ia memberi tanda kepada pelayan untuk membawakan segelas lagi. Barulah kemudian ia mulai bicara perlahan-lahan.
"Ibuku kenal ayahku di Bali. Dia masih muda dan naif dan jatuh cinta sama orang Italia brengsek yang jadi manajernya di hotel. Waktu ibu hamil, laki-laki itu tidak mau bertanggung jawab dan segera pulang kembali ke Italia. Selama 27 tahun aku hidup, kami tidak pernah bertemu.
Nama Andrea adalah nama laki-laki yang cukup umum di Italia, tapi di Indonesia banyak yang pikir aku ini perempuan. Kebayang kan, waktu ambil antrian untuk paspor atau registrasi di mana, waktu namaku dipanggil, petugasnya kaget lihat yang datang laki-laki..."
Ia memandang Ludwina yang mendengarkan ceritanya baik-baik, "Aku dilahirkan tanpa ayah, dan di akte kelahiran juga hanya ada nama ibu. Aku sering diejek sebagai anak haram dan itu rasanya sangat menyakitkan, but after a while, you get used to it and it doesn't hurt you anymore. Pengalaman itu membuatku lebih berhati-hati sebagai laki-laki. Aku tidak ingin menyakiti anak orang, dan aku tidak ingin menghadirkan manusia ke dunia ini untuk mengalami penderitaan yang kualami."
"I understand, heii... kau kan tahu namaku diambil dari nama Ludwig van Beethoven, itu juga bukan nama yang umum di Indonesia. Kau harus tahu berapa banyak orang yang memanggilku dengan nada simphony nomor 5... dadadadaaa.... dadadadaaa..." kata Ludwina sambil tertawa.
Ia senang melihat Andrea ikut tersenyum dan wajahnya tidak lagi seserius tadi.
Ia sadar sih, saat ini Andrea sedang membuka diri kepadanya. Pemuda itu ingin Ludwina tahu segala kekurangannya, agar gadis itu bisa memutuskan apakah akan melanjutkan perasaannya kepada Andrea atau tidak.
Ludwina tahu bahwa Andrea pintar, ia tinggal hanya dengan ibunya di Jakarta, dan baru-baru ini mendapatkan pekerjaan bagus di Singapura. Tetapi selain itu, Ludwina tidak tahu apa-apa tentang latar belakangnya dan masa lalunya.
"Lalu kenapa memangnya kalau kau tidak punya ayah? Kamu kelihatannya decent, jelas ibumu berhasil mendidikmu menjadi laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Aku banyak kok mengenal orang lain yang punya keluarga utuh tetapi mereka tumbuh jadi laki-laki brengsek. You shouldn't be ashamed of your family." Ludwina memegang tangan Andrea sambil tersenyum, "I'm actually proud of you. You've come so far."
Andrea mengangguk dan menepuk-nepuk tangan Ludwina yang memegang tangannya barusan. Ia merasa hatinya menghangat saat melihat sikap Ludwina yang supportive.
"Aku juga nggak punya warisan apa pun, Ludwina. Yang aku punya hanya diriku sendiri. Semua milikku, kuperoleh dengan usahaku sendiri."
Dalam hati Ludwina yang justru malu karena ia tidak pernah memperoleh apa pun dengan usahanya sendiri. Semua yang dimilikinya adalah pemberian orangtuanya yang kaya raya.
"Kamu hebat, sudah mapan di usia begini muda," puji Ludwina jujur. "Aku masih mengandalkan orangtua. Kalaupun aku bisa sukses menjadi penulis, uangnya nggak akan banyak. Tapi aku nggak manja kok. Aku juga bisa hidup sederhana. Makanku saja sedikit..."
Ia menunjuk piring makanannya yang hanya habis setengah, lalu tertawa tersipu-sipu, "Lihat, makanku sedikit, jadi nggak perlu biaya banyak untuk memeliharaku tetap hidup."
Andrea tersenyum dan mengangguk membenarkan.
Suasana kini sudah mencair dibandingkan saat sebelumnya. Andrea ternyata cukup terbuka dengan masa lalunya. setelah gelas wine kedua, ia pun bercerita tentang Adelina.