Wajah Andrea sedikit memerah dari wine yang diminumnya. Ludwina menjadi sadar bahwa pemuda ini tidak punya toleransi alkohol yang bagus. Dia sendiri bisa minum sampai satu botol wine dan masih baik-baik saja, tetapi rupanya, dua gelas adalah batas bagi Andrea.
"Maybe you should stop drinking," kata Ludwina sambil menurunkan gelas Andrea. Pemuda itu menggeleng sambil memandangnya lekat-lekat.
"Batasku dua gelas. Setelah ini aku tidak minum lagi," katanya sambil tersenyum.
"Oh, bagus. Kamu tahu batas." Ludwina menuang segelas untuk dirinya sendiri lalu mendentingkan gelasnya ke gelas Andrea baru meneguk wine-nya. "Aku masih bisa minum beberapa gelas lagi."
"Cheers!" kata Andrea, "untuk....?"
"Untuk kencan pertama kita tanpa aku perlu mengarang alasan bodoh," jawab Ludwina sambil tertawa kecil. "Terima kasih sudah meminta duluan. Aku malu kalau terus-terusan mencari alasan konyol supaya bisa ketemu kamu."
"Terima kasih sudah menerima ajakanku untuk makan malam," balas Andrea. "Aku senang bisa bertemu lagi denganmu. Kamu orang yang sangat menyenangkan."
Ludwina memandang Andrea dengan mata berbinar-binar. Ia mengangguk sambil tersenyum lebar.
"So, kamu pernah hampir menikah 4 tahun lalu... How interesting. Kenapa tidak jadi?" tanyanya kemudian.
"It's a long story," kata Andrea. Matanya sesaat terlihat sedih. Ia terlihat diam agak lama seperti berusaha memutuskan untuk mulai dari mana.
"Kalau itu membuatmu sedih, tidak usah diceritakan," tukas Ludwina cepat-cepat. "Aku hanya penasaran. Nggak terlalu penting kok. Kamu orang yang unik dan aku ingin tahu semua tentang kamu... tapi aku nggak mau melihat kamu sedih."
"Aku jatuh cinta dengan sahabatku di sekolah. Kami teman sebangku sepanjang SMA, dan kemudian sama-sama kuliah di UI, beda jurusan. Dia gadis paling cantik dan paling baik hati yang pernah aku kenal. Sayangnya kami beda agama, dan keluarganya yang kaya raya tidak bisa menerimaku," Andrea tersenyum dan menyentuh pipi Ludwina pelan, "Tidak semua orangtua seterbuka dan sehangat orangtuamu. Empat tahun lalu kami memutuskan untuk kawin lari ke Singapura."
Ludwina menahan nafas, hingga Andrea melanjutkan ceritanya.
"Lalu...?"
"Seminggu sebelum kami berangkat ke Singapura, Adelina pindah ke London. Ibunya sakit kanker dan ia tidak tega menyakiti hati orangtuanya dalam keadaan ibunya sakit seperti itu. Mereka pindah ke Inggris untuk mengobati penyakit ibunya, dan aku tak pernah bertemu dengan mereka lagi."
"Kamu nggak cari tahu kabarnya sekarang? Kamu kan pakar security, bisa dengan mudah cari tahu, siapa tahu ibunya sudah sembuh... dan siapa tahu Adelina masih menunggu kamu," tanya Ludwina dengan suara agak bergetar. Ini informasi yang sangat mengejutkan baginya. Ia tak pernah menduga, di hati Andrea dulu pernah ada gadis yang mengisi hidupnya dengan sangat dalam. Mereka bahkan sudah memutuskan menikah!
"Adelina sudah menemukan orang lain setahun setelah pindah ke London, dan aku menghormati keputusannya. Aku nggak pernah stalking dia, I'm not that kind of person. Aku juga nggak pernah stalking kamu kan, walaupun aku bisa melakukannya?"
"Kamu masih cinta sama Adeline?" tanya Ludwina lagi.
Andrea menggeleng pelan, "Dia dulu sahabatku, tetapi kami sudah hampir 4 tahun nggak ketemu, dan rasanya kami berdua sudah sama-sama move on dengan kehidupan kami."
Ludwina memegang tangan Andrea dan menepuk-nepuknya lembut, "I am sorry to hear that, pasti waktu dia pergi kamu merasa sedih banget."
Andrea tersenyum menatap Ludwina, "Life happens. Kalau kamu bagaimana? Pernah hampir nikah dengan siapa?"
Ludwina membekap mulutnya dengan sikap pura-pura kaget, "Kok kamu tahu? Aku pernah hampir nikah drive thru di Las Vegas waktu party sama temen-temen kuliah dan kami mabuk berat...."
Sepasang alis Andrea merengut mendengarnya, ia tidak tahu apakah Ludwina bercanda atau tidak.
"Uhmm...terus?"
"Aku cuma bercanda... hahaha" Ludwina mencuil hidung Andrea yang ikut merengut. "Aku nggak pernah punya pacar serius. Aku terlalu sibuk traveling. Lagipula aku nggak kuatir sama jodoh... Menurutku perempuan harus melakukan banyak hal besar dalam hidup sebelum settle down dan menikah. Aku punya waktu 10 tahun lagi sebelum aku berhenti. Aku juga sebenarnya nggak pernah memikirkan tentang menikah, apalagi punya anak. Tanggung jawabnya terlalu besar..."
Andrea mengangguk-angguk, "Aku mengerti."
Saat itu, sebenarnya Ludwina sudah menyesali kata-katanya. Mengapa ia begitu jujur di kencan pertama mereka? Andrea tadi jelas mengisyaratkan bahwa ia adalah seorang family man yang ingin menikah dan punya anak.
Ia bahkan tidak ragu untuk menikahi Adelina 4 tahun lalu waktu ia masih berumur 23 tahun. Sementara Ludwina yang masih kekanakan dan manja, tidak bisa membayangkan dirinya berhenti traveling untuk tinggal diam di suatu tempat dan menikah, apalagi punya anak.
Ia saaaaaangat menyukai Andrea, tapi mengapa pemuda itu harus begitu dewasa dan ingin menikah? Kenapa dia tidak seperti pemuda-pemuda lain seumurnya yang masih senang bertualang dan menikmati perjalanan melihat dunia? Ludwina membayangkan traveling bersama Andrea pasti akan sangat menyenangkan.
"You are a wonderful person," kata Ludwina kemudian. "I hope you will find the happiness you deserve".
"Thank you, Wina."
Ludwina menghabiskan wine di gelasnya, mengisinya kembali, dan meneguknya sampai habis. Ia saaaaaangat menyukai Andrea.
Mengapa tadi ia tidak berpura-pura bersikap seperti gadis normal yang ingin settle down dan menikah dan punya anak? Setidaknya mereka tidak perlu mengakhiri penjajakan setelah kencan pertama ini... Masih ada alasan untuk ketemu lagi.
Mungkin nanti, seiring dengan waktu, Andrea akan berubah pikiran, kalau dia bertemu dengan banyak pasangan yang bercerai dan hidup menderita, dia bisa melihat sendiri betapa menikah itu nggak seindah yang banyak orang bayangkan.
"Are you guys both OK?" tanya Kevin yang muncul tiba-tiba. Andrea dan Ludwina serentak menjawab,
"Ya, baik-baik saja. Terima kasih. Makanannya enak sekali."
Keduanya saling pandang dan tersenyum, mereka tidak menyangka keduanya akan kompak seperti itu.
"Mau dipanggilkan taksi?"
"Aku menginap di Raffles, tidak terlalu jauh kalau jalan kaki menurunkan makanan. Kayaknya aku mau menikmati udara segar dan pulang dengan jalan kaki saja," kata Ludwina.
"Aku antar ya. Aku juga suka jalan kaki,"
"You do?" Ludwina tersenyum lebar dan bangkit dari duduknya. Ia merangkul Kevin dan pamit, lalu memberi tanda agar Andrea mengikutinya. "Bye, Kevin. Nanti aku datang lagi. Andrea, ayo pulang."
Andrea pamit juga kepada Kevin dan mengikuti Ludwina. Mereka berjalan berdampingan keluar Moccasin dan menyusuri trotoar bersih Singapura ke arah Barat.
"Kamu tinggal di mana?" tanya Ludwina sambil jalan.
"Di Beach Road," jawab Andrea.
"Oh..." Ludwina ingat dulu keluarganya punya rumah di daerah itu. "Kamu suka tinggal di Singapura?"
"Suka. Di sini banyak orang dari berbagai bangsa tinggal bersama. Kotanya rapi dan bersih. Semuanya reliable. Bagaimana pendapatmu sendiri setelah dua tahun puasa datang ke kota ini? Apa kamu bakal datang ke Singapura lagi atau ini yang terakhir?"
"Hmm... mungkin aku datang lagi."
"I'm happy to hear that."
Mereka tak bicara apa-apa lagi dan menikmati berjalan dalam diam. Sesungguhnya Ludwina berharap mereka tidak pernah sampai di Raffles Hotel... dan tanpa sengaja ia berjalan lambat sekali. Ia tidak melihat Andrea berkali-kali melirik ke arahnya dan tersenyum simpul.
Akhirnya mereka pun tibalah di depan Raffles Hotel dan Ludwina harus mengucap selamat tinggal.
"Besok kamu mau kemana?" tanya Andrea sebelum pergi.
"Hmm.. mungkin aku mencari inspirasi menulis di Chijmes, atau di taman..."
"Besok aku bisa kerja dari luar kantor, mau kutemani mencari inspirasi? Kamu bisa mengetik novelmu atau membaca buku, aku bisa sambil melakukan testing aplikasi dengan laptopku."
Ludwina tak percaya pada pendengarannya sendiri. Ia menatap Andrea dengan mata berbinar-binar.
"Benarkah? I would love that!"
"Baiklah. Sampai jumpa besok." Andrea tersenyum lebar dan berjalan menuju apartemennya di Beach Road. Ia menoleh dan melambai ketika melihat Ludwina masih berdiri di tempatnya semula, menunggu hingga ia hilang dari pandangan.