Chereads / Ludwina & Andrea / Chapter 13 - Inspirasi Itu Adanya di Sini...

Chapter 13 - Inspirasi Itu Adanya di Sini...

Andrea tidak punya akun di media sosial mana pun. Ia tahu betapa perusahaan-perusahaan teknologi menyimpan data para penggunanya untuk kepentingan bisnis dan ia tidak rela privasinya dilanggar oleh Facebook, Twitter, LinkedIn, Google, dan lain-lain.

Tetapi ia bersyukur atas keberadaan para raksasa internet itu karena ia bisa mengikuti berita tentang Ludwina kalau ia sedang memikirkan gadis itu.

Ludwina itu sering sekali berpindah tempat, Andrea sampai hampir kesulitan mengikuti jejaknya. Minggu ini ia di Kyoto, dan berikutnya sudah ke Xian, lanjut ke Hong Kong, kemudian mampir di Melbourne.

Selama enam bulan Andrea mengikuti foto-fotonya di Instagram, hanya New York yang dikunjungi gadis itu dua kali. Sepertinya kota itu memang memiliki tempat istimewa di hatinya.

Ah, Andrea ingat, Ludwina memang dulu kuliah di Columbia University. Tentu ia punya teman-teman semasa kuliah di New York, dibandingkan dengan kota lain di dunia yang hanya dikunjunginya saat traveling.

Sayang sekali Ludwina tidak suka berkunjung ke Singapura...Andrea akan senang jika berjumpa dengannya di sini.

Pikiran Andrea melayang sedikit saat melihat foto Ludwina di Central Park sedang berpose dengan sebuah buku. Di sebelahnya ada seorang pemuda kulit putih berambut ikal panjang yang tampak tersenyum akrab.

Ia bertanya dalam hati apa kira-kira hubungan pemuda itu dengan Ludwina. Mungkin teman kuliahnya?

"Hi, Andre... Nanti malam ikut gathering kantor?" Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu ruangannya dan muncul Lucia dari balik pintu. Lucia adalah office manager yang cantik dan dari awal Andrea masuk kerja selalu bersikap manis kepadanya.

"Ah, tidak bisa, aku pulang ke Jakarta menjenguk ibuku," jawab Andrea sambil tersenyum. "Aku sudah sebulan tidak pulang."

"Oh, too bad. Hopefully next time?"

Andrea hanya tersenyum, tidak menjanjikan apa-apa.

Selama enam bulan bekerja di Singapura, Andrea selalu menyempatkan diri untuk pulang ke Jakarta setiap dua minggu. Ibunya hanya tinggal sendiri di Jakarta bersama kedua anjing mereka dan ia mengerti pasti ibunya kesepian setelah ia pindah keluar negeri.

Biasanya ia akan mengambil penerbangan Jumat malam setelah jam kerja dan menghabiskan akhir pekan di rumah ibunya, memasak bersama sambil ngobrol atau membantu ibunya berkebun di taman kecil di rumah mereka. Hari senin subuh ia akan terbang kembali ke Singapura dan langsung ke kantornya dari bandara Changi.

Sebulanan ini ia tidak pulang karena sedang fokus menyelesaikan pengujian sistem cyber security untuk klien VIP baru perusahaan, karenanya begitu proyek itu selesai ia segera memesan tiket dan pulang ke Jakarta. Dengan hanya membawa ransel, ia pun berangkat ke bandara.

Begitu mendarat di Sukarno Hatta, Andrea baru ingat bahwa ia tidak memiliki uang rupiah di dompetnya untuk naik taksi. Akhirnya ia naik ke lantai 2 dulu untuk mencari ATM di area keberangkatan.

Setelah menarik uang yang cukup, ia pun bergegas menuju lift untuk turun ke lantai dasar dan mencari taksi untuk pulang. Saat pintu otomatis terbuka dan ia hampir keluar terminal... tiba-tiba langkahnya terhenti.

Gadis berambut panjang dan pipi berbintik-bintik yang ada di balik pintu otomatis yang barusan terbuka itu juga menghentikan langkahnya....

Mereka berdua saling menatap dengan pandangan tidak percaya.

"Eh... kamu dari mana?"

"Dari Singapura, mau pulang ke tempat Ibu. Kamu mau ke mana?"

"Mau ke Inggris..."

Tanpa dikomando sepasang senyum muncul di wajah keduanya secara bersamaan.

"Wahh...sudah lama sekali ya, berapa bulan?" tanya Ludwina dengan suara penuh semangat, "Sudah berapa lama kita nggak ketemu?"

"Uhm... 7 bulan lebih beberapa hari," jawab Andrea, masih tersenyum. Ia tak percaya keberuntungannya malam ini. Untung di dompetnya tadi tidak ada rupiah sehingga ia terpaksa naik ke terminal keberangkatan untuk mencari ATM dan secara kebetulan bisa bertemu Ludwina yang sedang akan berangkat ke Inggris.

"Bagaimana kabarmu di Singapura? Suka tinggal di sana?"

"It's OK. Kotanya bersih, rapi, semuanya teratur," jawab Andrea. Ia menunjuk kedua koper Ludwina di troli, "Berapa lama di Inggris?"

"Sebenarnya aku mau tinggal sebulan di Edinburgh, makanya bawaannya banyak." Ludwina tertawa kecil.

"Oh, aku pikir kamu masih di New York. Ternyata sudah di Indonesia dan sekarang malah mau ke Skotlandia," kata Andrea keheranan. Memang susah sekali mengikuti jejak Ludwina ini. Fotonya di Instagram yang dilihat Andrea tadi siang diambil di Central Park.

"Oh, aku sudah pulang dari New York minggu lalu. Sekarang aku mau menapak tilas kehidupan JK Rowling selama di Skotlandia, untuk mencari inspirasi menulis. Aku akan mengunjungi kedai kopi tempatnya biasa duduk menulis berjam-jam, melintasi jalan-jalan dan mendatangi tempat yang ia datangi..."

Andrea ingat bahwa selama enam bulan ini ia mengikuti pergerakan Ludwina berpindah dari satu kota ke kota lainnya di dunia dengan begitu ringan.

Ia bisa memperkirakan berapa besar uang yang harus dikeluarkan untuk membiayai gaya hidupnya yang mahal itu. Ternyata semua perjalanannya semata demi mencari inspirasi menulis. Betapa mahalnya inspirasi itu!

Sungguh beruntungnya Ludwina karena orangtuanya yang demikian kaya mampu memberikan apa saja yang ia inginkan. Gadis itu tak pernah mengalami kesulitan hidup sama sekali.

Andrea tanpa sadar menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar penjelasan Ludwina.

"Kamu nggak bakat menjadi penulis novel. Kamu terlalu bahagia," katanya kemudian dengan pandangan kasihan. Ia tidak bermaksud tega, tetapi menurutnya Ludwina perlu mendengar kebenaran ini agar ia berhenti mencari inspirasi di tempat-tempat yang tidak semestinya, dan berhenti membuang waktu di jalan.

"Kok...kamu ngomong gitu?" tanya Ludwina dengan suara pelan, tetapi ia tidak tersinggung.

Andrea menghela nafas panjang.

"Kamu nggak bisa menulis dengan kreatif karena kamu nggak pernah susah. Semua seniman besar menghasilkan karya-karya terbaik bahkan genius mereka saat mereka miskin, atau kesusahan, atau depresi. Lihat saja musisi Sting misalnya, sekarang dia bahagia dan nggak pernah menghasilkan mahakarya apa pun lagi. Karya-karya legendaris Van Gogh dihasilkan saat ia depresi.

Kamu ini sama sekali nggak pernah hidup susah, hidupmu terlindungi bubble tidak kasat mata yang menghindarkan kamu dari kesedihan, rasa kesal harus menunggu, diperlakukan orang dengan tidak baik, rasa takut karena nggak tahu harus makan apa besok, dan lain-lain, karena buat kamu semuanya ada, semuanya indah, semuanya terjamin.

Kamu nggak akan ngerti bagaimana perasaan orang yang sedih karena ditolak cinta, atau perasaan orang yang putus asa karena tidak punya tujuan... Kamu hanya bisa menulis tentang hotel mewah di Paris, wisata gondola di Venice, daun-daun berguguran di Central Park...."

Ia mengambil brosur tentang Scotlandia yang ada di tangan Ludwina yang masih terpana mendengar kata-katanya. "Tentang kastil di Scotlandia...Kalau kamu traveling keliling dunia, kamu hanya melihat kulit luar kehidupan. Sementara kamu kalau mau menulis novel, harus mencari inspirasi tentang manusia dan hati serta jiwa mereka."

Ludwina terpana mendengar kata-kata Andrea.

"Kemana pun kamu pergi, yang kamu cari nggak akan ketemu. Inspirasi itu adanya... di sini." Andrea memegang tangan Ludwina yang tadi memegang brosur dan menaruhnya di dadanya.

Mereka saling menatap selama beberapa lama, hingga akhirnya deheman dari penumpang di belakang Ludwina yang ingin masuk lewat pintu otomatis seketika membuyarkan kebisuan di antara keduanya.

"Te...terima kasih. Aku mengerti maksudmu. Aku berangkat dulu."

Ludwina buru-buru menarik tangannya dari pegangan Andrea dan mendorong trolinya masuk ke dalam terminal.

Wajahnya terasa panas dan ia tidak berani menoleh ke belakang. Andrea mengangguk. Ia menoleh ke arah Ludwina pergi dan baru beranjak setelah gadis itu hilang dari pandangan.

Tadinya ia bermaksud mengatakan bahwa inspirasi itu adanya di hati Ludwina sendiri, tetapi saat menyentuh tangan Ludwina, ia sadar bahwa tidak sopan kalau ia menaruh tangan gadis itu di dada Ludwina untuk menjelaskan maksudnya, maka ia menariknya ke dadanya sendiri. Sekarang ia hanya bisa berharap Ludwina mengerti maksudnya tadi....

Ah, pasti mengerti. Ludwina kan pintar.

Andrea menghabiskan akhir pekan dengan berkebun di rumah ibunya. Suasana hatinya sangat senang karena ternyata takdir mempertemukannya dengan Ludwina setelah 7 bulan. Ia pun menimbang-nimbang apakah ia akan menghubungi Ludwina di Scotlandia dan menanyakan kemajuan novelnya.

Akhirnya ia menemukan excuse yang bagus untuk menghubungi gadis itu.

Sementara itu Ludwina yang biasa tidur nyaman saat terbang di bangku bisnis, kali ini sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Hatinya terus berdebar-debar, dan entah kenapa tangan kanannya masih terus merasakan kehangatan saat dipegang Andrea dan ditaruh di dadanya tadi.

Perasaan itu tidak juga hilang sampai Ludwina tiba di London, berganti pesawat ke Edinburgh dan masuk ke hotelnya. Ahhh....rasanya sungguh menyiksa.

Belum pernah Ludwina merasa sesedih ini.. kecuali enam bulan lalu ketika ia akhirnya menelepon Andrea setelah sebulan lebih mencari alasan, dan ternyata pemuda itu baru saja pindah ke Singapura.

Di situ Ludwina merasa sedih sekali. Ia terlambat menelepon sehingga Andrea sudah terlanjur pindah. Apalagi Ludwina juga terlanjur mengatakan bahwa ia tak suka bepergian ke Singapura.... Tentu akan kelihatan aneh kalau tiba-tiba saja Ludwina mulai terbang ke sana, kan?

Situasinya saat itu sungguh kacau dan menyedihkan dan Ludwina menangis seharian setelah panggilan telepon terakhir itu.

Johann menasihatinya supaya mengesampingkan gengsinya dan menghubungi Andrea, tetapi lagi-lagi Ludwina terlambat karena nomor Simpati Andrea sudah tidak aktif, pasti sekarang dia sudah menggunakan nomor Singapura.

Akhirnya Ludwina berhasil mengatasi kesedihannya dengan fokus pada rencana-rencana travelingnya. Dalam waktu 6 bulan ia memecahkan rekor pribadinya dengan mengunjungi 20 negara. Hatinya mulai tenang dan kembali bahagia. Ia mengumpulkan banyak ide untuk novel baru.

Tapi...

Begitu ia bertemu Andrea kembali di bandara tadi malam... semua ketenangan yang dibangunnya seperti runtuh tak berbekas, dan ia tak bisa berhenti memikirkan pemuda itu.

"Would you like to order something else? We are about to close," kata pelayan di kedai kopi tiba-tiba mengganggu lamunan Ludwina. Ia menggeleng lalu membereskan laptopnya dan membayar minumannya.

Ludwina pulang ke hotelnya dengan hati resah. Ia sangat menyesal karena waktu bertemu Andrea kemarin ia juga tidak meminta nomor telepon barunya.

"Oh iya... dia pikir aku masih di New York..." cetusnya tiba-tiba. "Berarti dia lihat fotoku di Instagram"

Secercah harapan terbit di pikiran Ludwina. Ia membuka akun instagramnya dan melihat siapa saja followernya...

Setelah scroll ribuan nama, akhirnya ia sadar bahwa perbuatannya sia-sia, karena akun instagramnya public dan siapa saja bisa melihat tanpa harus punya akun. Ia kemudian memutuskan mencari kontak Andrea di Google, Facebook, dan semua media yang terpikirkan olehnya.

Tidak ada.

Ludwina baru sadar bahwa ia tidak tahu nama lengkap Andrea dan tidak tahu ia bekerja di mana. Ia hanya bisa mengetik "Andrea, Singapore, Andrea, Jakarta" di Google dan menangis kesal karena sama sekali tidak tahu apa-apa tentang pemuda itu.

Seandainya Andrea ada di media sosial, mungkin Ludwina bisa mengetahui kabarnya, dan melihat-lihat apa yang dia lakukan di Singapura, apakah dia sekarang dengan dengan seorang perempuan atau tidak....

Tidak ada berita sama sekali.

Ini tidak adil.... Andrea bisa tahu bahwa Ludwina minggu lalu di New York, sementara Ludwina bahkan tidak tahu nama lengkap Andrea...

Ludwina merasa merana sekali di Edinburgh dan tidak bisa menikmati liburan/pencarian inspirasinya. Akhirnya seminggu kemudian ia memutuskan pulang.

"Lho...kok tumben pulang lebih cepat?" tanya Johann yang menjemputnya di bandara. Ludwina hanya mengerucutkan bibirnya dengan sebal dan tidak menjawab. Begitu ia sampai di rumah, gadis itu langsung tidur.

Pagi harinya ia membuka laptop untuk mencari tiket ke Singapura. Ia sudah mengambil keputusan untuk sudah tidak perduli dengan gengsi. Ia akan mulai bepergian ke Singapura dan entah bagaimana ia akan bertemu lagi di Andrea.

Sebuah email di inboxnya tiba-tiba menarik perhatiannya,subjeknya: How is your Edinburgh trip? Ludwina mengklik email itu dengan hati berdebar.

"Hey, Ludwina. I hope you are well and find what you are looking for in Edinburgh. I loved meeting you by chance the other day, but I also hate to keep meeting you by chance. I always come to Jakarta every second and fourth Friday evening to visit my mom. If you fly out by then, let's meet for coffee and have proper catch up." Andrea.

[Hai, Ludwina. Semoga kamu kabarnya baik ya, dan kamu bisa menemukan inspirasi yang kamu cari di Edinburgh. Aku senang waktu itu bisa kebetulan ketemu kamu di bandara, tapi aku nggak mau kita selalu ketemunya karena kebetulan.

Aku pulang ke Jakarta setiap Jumat malam minggu kedua dan keempat untuk menjenguk Ibu. Kalau kamu ada jadwal traveling dan ke bandara pada saat yang sama, kita sempatkan ketemu dan ngobrol ya. - Andrea]

Dari mana Andrea mendapatkan alamat emailku? pikir Ludwina.

Ia mengingat-ingat bahwa ia punya beberapa alamat email yang dipublish di media sosialnya dan di tulisan perjalanan wisata yang ia kirim ke Kompas, tetapi alamat email yang ini cukup pribadi dan hanya ia berikan kepada anggota keluarga dan teman-temannya.

Ludwina tidak keberatan sih, ia sudah sangat senang menerima kabar dari Andrea, tanpa diduga sama sekali.

Senyum lebar segera menghiasi wajahnya, saat ia buru-buru mengetik balasan email.

[Andrea! Apa nama lengkapmu?]

[Andrea Baskara]

[Oh, aku Ludwina Kurniawan]

[Aku tahu.]

[Kapan ulang tahunmu?]

[15 November.]

[Kau tidak mau tahu kapan ulang tahunku?]

[Aku tahu]

[Oh...]

Ludwina merasa wajahnya memerah saat senyumnya semakin lebar. Ia lalu mengetik email terakhir.

[Aku mau mencari inspirasi menulis di Singapura besok. Ada rekomendasi tempat yang menarik yang penuh dengan inspirasi?]

[I know some.]

Ludwina menutup laptopnya dengan bahagia lalu memeluk laptop itu dan diajak berdansa keliling ruangan. Ia turun dari kamarnya sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Ayah, ibu, dan kakaknya yang sedang sarapan bersama di meja makan tampak keheranan.

"Aku besok mau ke Singapura." Ludwina menjelaskan tanpa ditanya. Ayah ibunya hanya saling pandang dan tersenyum kecil.