Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 12 - Si Babah (1)

Chapter 12 - Si Babah (1)

Malam itu terang bulan. Benar – benar bulan purnama. Kota Payakumbuh kelihatan ramai oleh orang – orang yang keluar. Tapi di salah satu sudut kota, di rumah seorang Cina di kamar belakang, kelihatan berkumpul tiga orang lelaki. Mereka duduk bersila di atas tikar rotan. Udara dalam ruangan dipenuhi oleh bau sake dan candu. Diantara lelaki itu ada tiga perempuan. Satu keturunan Cina, yang dua lagi peranakan India. Mereka duduk sambil bersandar atau dipeluk oleh Jepang yang duduk di tikar rotan itu.

Seorang Cina bertubuh gemuk berkepala botak mendatangi kelompok jantan dan betina itu. Dia datang dengan sebuah tabung bambu yang panjangnya sejengkal. Saat dia duduk segera saja Jepang – Jepang itu duduk mengitarinya. Uang dikeluarkan, dan mereka mulai main dadu. Cina gemuk itu adalah pemilik rumah di mana kini mereka berada.

Kini dia bertindak sebagai bandar dalam judi dadu yang diadakan tersebut. Rumah Cina ini dikenal penduduk sebagai rumah kuning. Yaitu rumah pelacuran terselubung. Yang datang kemari khusus para perwira saja. Sebab di sini juga disediakan perempuan – perempuan pilihan. Salah satu dari perempuan itu adalah anak gadis Cina botak itu sendiri.

Anak gadisnya memang terkenal cantik dan bertubuh padat. Setiap perwira bisa memakainya dengan bayaran yang tak tanggung – tanggung tingginya. Selain tempat lacur dan tempat judi, pejuang – pejuang Indonesia juga sudah lama mencurigai rumah itu sebagai sebuah pusat mata-mata untuk pihak Jepang. Soalnya Cina itu sudah berdiam sejak lama di rumah tersebut. Ketika zaman penjajahan Belanda, dia sudah menjadi semacam kepercayaan orang Belanda pula. Kini ketika Jepang berkuasa, dia juga menjadi kepercayaan Jepang.

Pejuang – pejuang Indonesia sudah lama mengintai rumah tersebut. Namun kendati memiliki beberapa bukti, mereka tak dapat melakukan apapun. Apalagi kini dia mendapat perlindungan Jepang. Maka usaha pejuang – pejuang Indonesia untuk menangkap Cina ini tak pernah berhasil. Padahal beberapa orang pejuang yang tertangkap, diantaranya anak buah Mayor M yang berkedudukan di Piobang, disebabkan oleh Cina gemuk ini. Dia menyebar intelnya diantara penduduk pribumi dan perempuan – perempuan lacur. Bahkan tertangkapnya beberapa pejuang yang mencuri senjata di Kubu Gadang empat bulan yang lalu juga atas petunjuk Cina ini.

"Sudah datang dia ?" seorang perwira Jepang yang berpangkat Lettu (Chu – I), bertanya sambil menambah uang taruhannya.

"Belum, mungkin sebentar lagi", jawab Babah gemuk tersebut.

Mereka meneruskan main dadu. Tiba – tiba Chu – I itu tegak. Menatap pada ketiga perempuan yang ada dalam ruangan itu.

"Hei, mana Amoy ..?" tanyanya.

Ketiga perempuan itu menatap pada si babah gepuk[1] yang sedang duduk main dadu. Si gepuk main terus, meraih uang di tikar yang dimenanginya.

"Mana Amoy, gepuk?" tanya si Chu-I.

Si gepuk memberi isyarat dengan menggerakkan kepalanya ke arah kamar. Namun ketika Jepang itu akan tegak, si gepuk memberi isyarat meminta uang terlebih dahulu dengan menampungkan tangannya. Chu-I tersebut merogoh kantong dan menyerahkan beberapa lembar uang, kemudian melangkah kekamar yang dimaksud si babah gepuk.

Ketika dia baru sampai di depan pintu, pintu kamar itu terbuka, seorang Jepang yang juga berpangkat letnan keluar dengan menyeka peluh di lehernya. Mereka bertegur sapa sepatah dua. Sampai di dalam Jepang itu melihat Amoy anak babah gemuk itu sedang merapikan tempat tidur. Posisinya yang sedang membungkuk membelakangi pintu dengan handuk melilit tubuh, menampakkan pangkal pahanya dari belakang. Jantung Jepang itu berdebar kencang. Seperti orang kesurupan dia menyeruduk ke gadis bertubuh montok itu.

Di luar rumah Cina itu sejak tadi seorang lelaki kelihatan tegak. Dia seperti menanti sesuatu. Dan setelah lebih dari dua jam dia tegak di sana, barulah dia lihat dua orang lelaki mendekati rumah itu. Dia cepat – cepat melangkah mendekati kedua lelaki itu.

" Hei. Jumpa lagi kita ..! " dia berkata pada kedua lelaki itu. Dan kedua lelaki itu berhenti.

Menatap padanya. Dalam cahaya bulan, mereka segera mengenali orang yang menegur mereka itu.

" Hmm. Kau Bungsu ..!"

" Ya. Aku si Bungsu. Sudah lebih dua tahun kita tak bertemu ya Baribeh ?"

Baribeh yang dulu pernah melanyau tubuhnya ketika mereka kalah berjudi di Surau bekas di kampungnya, tertawa menggerendeng.

" Tapi kudengar kau sudah mampus dihantam samurai Saburo." Baribeh yang pesilat itu berkata.

Tubuh si Bungsu seperti jadi kaku mendengar nama Saburo disebut. Untung saja malam hari, hingga perobahan air mukanya tak kelihatan oleh Baribeh.

" Ah, itu cerita burung. Buktinya saya masih hidup. Apa perlunya Jepang membunuh saya. Hmm, ini si Jul ya?" Si Bungsu tersenyum pada lelaki juling yang dia sebut sebagai si Jul itu.

" Kalera!!. Jangan ikut – ikutan waang memanggil saya dengan sebutan itu buyung. Kuremas mulut waang dengan cirik nanti ..!" ujar si Jul tersinggung. Sebab orang yang berani dan yang boleh memanggilnya dengan sebutan si Jul itu hanya pimpinannya, si Baribeh.

" Tenanglah Jul. Mungkin dia punya duit banyak seperti dulu. Hei Bungsu, apakah waang masih suka berjudi ?"

" Akhir – akhir ini tidak lagi. Tak ada yang mau bertaruh besar. Percuma saja main. Menghabiskan waktu saja".

Baribeh menyikut si Jul perlahan. Si Jul tahu maksudnya, yaitu anak muda ini akan mereka jadikan korban lagi.

"Ah, saya jera main dengan kalian. Menang kalian ingin menerima, kalah tak membayar. Kalau sekedar tak membayar saja tak apa. Ini diri saya kalian lanyau. Itu membuat saya ngeri .." ujar Bungsu.

Baribeh tertawa, memperlihatkan giginya yang merah karena sirih dan runcing – runcing seperti gigi tikus.

" Ahaaa .. jangan takut. Jangan takut. Di tempat ini aman. Ada orang Jepang dan Cina sebagai juri. Waang aman percayalah. Ayo. Ayooo ..!"

Si Bungsu semula seperti ragu dan takut. Tapi karena tangannya ditarik oleh Baribeh, akhirnya dia menuruti juga. Padahal dia telah menunggu kesempatan ini sejak lama.

Bukankah dulu, saat dia sadar dari pingsannya setelah dilanyau Baribeh dan dua temannya, setelah semua uangnya mereka sikat di surau bekas itu dia, bersumpah akan menuntut balas? Kini kesempatan itu datang. Dia melangkah perlahan mengikuti Baribeh. Di belakangnya berjalan si Juling. Mereka memasuki rumah Babah gemuk itu. Babah yang kini tengah asyik bermain dadu dengan dua orang tentara Jepang yang anak gadisnya tengah dilanyau oleh tentara Jepang berpangkat Chu – i itu. Mereka melangkah terus ke dalam.

Baribeh dan si Jul nampaknya sudah terlalu biasa di rumah ini. Mereka mengenal setiap penghuni dan sudut rumah itu. Ketika mereka muncul ditempat orang yang tengah berjudi dadu itu, si Babah berbisik pada salah seorang perwira Jepang didepannya :

" Ini mereka datang," kemudian dia berseru pada Baribeh

" Hai Baribeh. Lama tak datang lagi. Mana saja ente pigi ?"

"We pigi jauh. We ada bawa kabar baik, dan ada bawa kawan baik. Ini kawan mau main dadu sama babah ".

Baribeh menjawab sambil menirukan gaya bicara babah gemuk itu. Babah gemuk itu menatap pada si Bungsu. Demikian pula kedua serdadu Jepang itu. Kedua Jepang itu menatapnya dengan seksama.

Sementara Babah gemuk itu hanya menatap sebentar. Namun si Bungsu, yang nyaris tiga tahun hidup di pinggang gunung Sago, bergaul dan mempelajari kehidupan mahluk yang ada di sana, terutama hewan buas agar tak mati dilapahnya[2], dapat menangkap pandangan yang ganjil maknanya dari tatapan mata si Babah yang sekejab itu. Dia tak dapat mengetahui dengan pasti, apa yang harus dia curigai dari tatapan si gemuk itu. Namun firasatnya yang tajam, yang dia bawa dari pengalaman hidup sekitar dua tahun di gunung Sago, memperingatkan bahwa kalau terjadi apa – apa, maka yang berbahaya dan harus diawasi adalah Babah gemuk yang kelihatan loyo itu.

Dengan pesan naluri demikian, dia lalu mengangguk kepada mereka. Kemudian duduk agak berjarak dari kedua Jepang tadi. Baribeh dan temannya si Juling itu juga mengambil tempat duduk menghadapi si Babah.

Ketiga mereka yang baru datang itu belum segera bertaruh. Mereka hanya duduk memperhatikan permainan yang sedang berlangsung.

Si Baribeh merogoh kantong. Mengeluarkan sebuah bungkusan. Kemudian mengeluarkan semacam tembakau, tapi agak kasar. Menggulungnya besar – besar, kemudian menghirupnya seperti mengisap cerutu. Kedua perwira Jepang yang tengah berjudi itu mengangkat kepala mencium bau asap yang dihembuskan oleh si Baribeh.

" Hmm. Candu. Candu nomor satu " ujar yang seorang Salah seorang diantara mereka lalu meraih bungkusan si Baribeh. Menggulungnya besar–besar. Dan menghisapnya. Temannya juga ikut meniru. Kemudian si Juling. Mereka menghisap candu itu dengan ni'matnya.

"Siap ..?" Babah gemuk itu bertanya pada kedua Jepang yang tengah kesedapan itu sambil mengangkat bambu di tangannya.

"Ayo kita main" ujar seorang Jepang pada Baribeh yang kemudian menggamit si Jul dan Bungsu untuk ikut memasang taruhan

"Mulailah .."

Jepang yang berkepala botak dan bertubuh kurus berkata sambil tetap menghisap candunya. Si Bungsu melihat Babah gemuk itu mengambil tiga buah dadu dari piring yang tertelentang di tikar. Kemudian memasukkan kedalam bambu yang panjangnya lebih dari sejengkal itu.

Si Bungsu memperhatikan jari – jari tangan Babah. Aneh, Cina itu bertubuh gemuk dengan perut buncit. Namun jari – jari tangannya tidak selaras dengan tubuhnya yang subur itu.

Biasanya orang – orang gemuk jari jemarinya pastilah bulat – bulat gemuk pula. Tapi jari-jari Babah ini kelihatan langsing dan panjang – panjang. Berbeda dengan Cina – Cina tua lainnya, yang biasanya membiarkan kukunya tak terawat, kuku Babah ini kelihatan dipepat bersih.

Kini dia tengah mengguncang bambu yang berisi dadu itu. Terdengar bunyi dadu saling berputar dan beradu dalam bambu tersebut. Empat kali putaran cepat, tiba – tiba bambu itu ditelungkupkannya di atas piring. Dalam waktu yang sangat singkat, terdengar ketiga buah dadu itu jatuh ke piring. Babah itu melepaskan tangannya dari bambu. Dan bambu itu tertegak di atas piring menutupi ketiga butir dadu di dalamnya.

Baribeh memasang taruhannya pada angka – angka dua, tiga dan empat. Dia memang bertaruh begitu. Main tebak dibanyak nomor. Biasanya salah satu pasti kena. Sementara si Bungsu hanya memasang disatu nomor.

Dan dalam empat kali meletakkan taruhan tadi, dia tetap bertahan memasang disatu nomor saja. Kinipun dia bermaksud begitu, mengambil uang dari kantongnya. Kemudian meletakkan di angka satu. Si Juling memasang dinomor empat, yaitu diangka pasangan Baribeh. Babah gemuk itu mengangkat bambu yang menutupi dadu.

Satu !

Ya, ketiga dadu itu menunjukkan angka satu di atasnya. Baribeh tercengang. Juling tercengang. Perwira Jepang yang satu itu, yang kali ini tak ikut memasang taruhan juga tercengang. Si Bungsu ternyata menebak dengan tepat dan memenangkan taruhan. Babah gemuk itu tersenyum. Kemudian membayar pada si Bungsu sebanyak enam kali lipat dari taruhannya yang dipasang. Lambat – lambat dia memasukkan lagi buah dadunya. Kemudian memutar dadu dalam bambu itu. Setelah lima kali putaran cepat, bambu berisi dadu itu dengan cepat dia telungkupkan.

Kembali terdengar suara mengerincing ketika buah dadu jatuh di atas piring di bawah telungkupnya potongan bambu.

Si Bungsu memasang teliganya. Kalau dulu sebelum "mengungsi" selama dua tahun ke gunung dia selalu menang main dadu adalah berkat pandainya dia main curang, maka kini lain halnya. Dulu dialah yang memegang dadu. Dan selalu dadunya hanya sebuah.

Dia bisa memainkan dadu itu. Kini dengan tiga buah dadu, dia mengandalkan pendengarannya. Kalau saja dia tak pernah berlatih di gunung Sago, mungkin kini dia akan kalah terus. Sebab babah gemuk itu lihainya bukan main pula. Tapi kini dia dibekali dengan pendengaran setajam pendengaran macan tutul. Dengan jelas dia mendengar jatuhnya buah dadu itu kepiring. Dia juga bisa membedakan bunyi angin yang tertekan, tergantung dari banyak atau sedikitnya lobang pada dadu itu yang menghadap ke bawah.

Dadu yang keras bunyi jatuhnya, pastilah yang sedikit lobang yang menghadap ke bawah. Sebab pada lobang – lobang itu sedikit angin yang tertahan. Kalau lobang enam yang menghadap ke bawah, maka bunyinya akan lebih lunak dibandingkan dengan angka satu. Sebab dalam lobang – lobang dadu yang enam buah itu angin banyak tertahan dan membuat jatuhnya lebih pelan.

Hanya kini dibutuhkan kepandaian menerka tepat antara lobang enam dengan lobang lima.

Untuk membedakannya dibutuhkan keahlian bertahun – tahun. Namun bagi si Bungsu hal itu sudah merupakan kaji menurun. Dia memang seorang penjudi ulung sebelumnya.

Kini dengan pendengarannya yang tajam, dia segera dapat menebak. Kalau empat taruhan terdahulu dia hanya ingin coba – coba, maka kini dia bertaruh dengan penuh keyakinan. Semua uang kemenangannya tadi dia taruh di angka satu, empat dan enam. Baribeh menaruh uangnya di angka tiga dan lima. Perwira Jepang yang satu itu menaruh taruhannya di angka enam, Juling menaruh di angka satu.

"Sudah ..?" si Babah bertanya.

Tak ada yang menyahut. Mereka semua menatap diam pada piring itu. Babah gemuk itu mengangkat bambu. Dan kembali mereka terkejut. Ketiga buah dadu itu menunjukkan angka persis seperti taruhan si Bungsu.

Yang muncul di atas adalah mata satu, empat dan enam. Dengan demikian dia kembali memenangkan taruhan. Perwira Jepang yang memasang di angka enam ikut bersorak gembira. Demikian pula si Juling yang menaruh uangnya di angka satu. Mereka menerima bayaran taruhannya.

Si Babah membayar dengan tenang. Matanya sesekali menatap pada si Bungsu. Dan bulu tengkuk si Bungsu merinding melihat kilatan mata Babah gendut itu. Namun dia tetap duduk diam di tempatnya. Tongkat samurainya dia letakkan di paha. Siap menanti segala kemungkinan. Lagi pula apa yang harus dia takutkan ? Bukankah pertaruhan ini jujur ? Bukan dia yang jadi bandar. Dia hanya pemasang taruhan. Dalam perjudian, biasanya yang selalu curang adalah bandar. Dan kinipun kalau akan ada huru hara, maka itu hanyalah karena dua soal.

Pertama karena bandar curang, dan ini tak kelihatan tanda – tandanya. Dan kedua karena bandar atau salah satu pihak tak rela kalah. Dan inipun tak ada atau belum ada tanda – tandanya. Meski telah membayar cukup banyak dalam dua kali taruhan ini, tapi Babah gemuk itu membayar masih dengan tersenyum. Dia tampaknya memang cukong yang siap berjudi dengan siapapun dan dalam taruhan berapapun. Kini jari – jarinya yang panjang dan kurus itu mulai mengambil buah dadu. Memasukkan kedalam potongan bambu dan mengangkatnya tinggi. Si Bungsu kebetulan sedang menatapnya pula. Mereka saling pandang. Babah itu tersenyum. Dan kembali urat – urat darah di tubuh si Bungsu mengencang melihat tatapan mata dan senyum Babah gemuk ini.

Lambat – lambat tangan si Babah mulai memutar bambu berisi dadu. Suara dadu terdengar bersentuhan dan berputar di dinding tabung bambu pendek itu. Mata Babah gemuk itu bergantian menatap si Bungsu, Baribeh, perwira Jepang dan si Juling.

Menatap sambil tangannya tetap memutar tabung bambu berisi dadu tersebut. Si Bungsu tidak lagi menatap pada si Babah. Meskipun dia tahu Babah itu memandang padanya beberapa kali selama mengguncang dadu. Tapi kini dia menunduk. Telinganya dia pasang baik – baik. Pendengarannya dia pusatkan pada bijih dadu yang berputar itu. Dan tiba – tiba Babah itu menghentikan putarannya. Berbeda dengan cara sebelumnya, kali ini dia tak langsung menelungkupkan tabung itu di atas piring. Melainkan memegangnya dulu. Buah dadu itu berkumpul di dasar tabung. Beberapa detik berlalu. Lalu tiba-tiba, dengan amat cepat tabung bambu itu di telungkupkan di piring di depannya. Tak ada suara buah dadu yang menyentuh piring. Sepi. Perwira Jepang itu, Baribeh dan si Juling jadi heran, sebab tak satupun terdengar buah dadu yang jatuh kepiring. Tak satupun.

Kepandaian Babah ini bukan main. Baribeh jadi kagum sebab selama ini Babah itu belum pernah melakukan hal itu. Kini buah dadu itu menyentuh piring tanpa terdengar sedikitpun suaranya.

" Pasanglah," kata si Babah perlahan.

Tangannya masih tetap memegang tabung yang tertelungkup itu. Perwira Jepang itu sejenak memandang pada si Bungsu. Tapi karena si Bungsu masih diam, dia segera memasang taruhannya di angka empat. Baribeh dengan ragu memasang taruhannya di angka lima dan satu. Si Juling memasang di angka dua. Si Bungsu masih diam. Babah gemuk itu menatap padanya.

" Tidak ikut memasang ?" tanya si babah.

Si Bungsu menatap Cina itu. Mereka saling pandang.

" Tidak ikut bertaruh ..?" babah itu kembali bertanya.

Sementara yang lain, termasuk tiga orang perempuan cantik yang kini duduk dekat Baribeh, Juling dan perwira Jepang itu, menatap padanya dengan diam.

" Pasang saja taruhannya ". Babah itu berkata lagi.

" Taruhan baru saya pasang kalau dadunya sudah jatuh di piring " si Bungsu berkata perlahan.

Perwira Jepang serta Baribeh saling pandang. Mereka jadi ragu atas ucapan anak muda ini. Apakah buah dadu itu memang belum jatuh ke piring ? Masakan belum. Mana bisa dadu itu tergantung atau tertahan di atas dalam tabung bambu itu. Mustahil.

"Jatuhkanlah buah dadu itu ke piring, baru saya memasang taruhan ". Ujar Bungsu. Babah itu tersenyum. Mau tak mau dia terpaksa harus memuji keunggulan pendengaran anak muda ini. Anak muda yang luar biasa, pikirnya. Luar biasa lihainya berjudi.

Sebuah dencingan halus terdengar di dalam tabung itu. Sebuah dadu jatuh. Sepi setelah itu. Si Bungsu masih tetap menunduk. Memasang telinga. Sebuah dentingan lagi. Dan sepi. Babah itu mengangkat tangannya dari bambu tersebut. Perwira Jepang itu dan Baribeh kembali saling pandang.

" Baru dua buah yang jatuh ". perwira itu berkata.

Babah itu tersenyum sambil menatap pada si Bungsu. Si Bungsu mengambil semua uang yang dia menangkan dalam taruhan tadi. Kemudian meletakkan semuanya pada nomor tiga dan lima. Kemudian sepi.

" Tak ada yang akan merobah letak taruhan ?" Babah itu bertanya.

Tak seorangpun yang menyahut. Babah itu kemudian mengangkat tabung bambu itu. Dan tiba – tiba semua orang, kecuali si Bungsu, jadi tertegun.

Dua diantara tiga dadu itu memang menunjukkan angka – angka seperti yang ditebak si Bungsu. Mata dadu yang muncul di atas adalah mata satu, lima dan tiga. Berarti dua taruhannya menebak tepat dan benar. Dia tak memasang taruhan pada angka satu, namunan itu tak mempengaruhi kemenangannya.

Si Babah mulai berpeluh. Dia terpaksa tegak dan berjalan menuju biliknya. Tak lama dia muncul membawa sebuah kantong besar. Lalu duduk lagi d i tempatnya tadi dan membuka kantong yang tadi dia bawa. Menatap ke uang taruhan si Bungsu beberapa saat. Kemudian mulai menghitung uang yang dia ambil dari dalam kantong. Dan meletakkannya pada uang taruhan si Bungsu. Si Bungsu hanya menatap dengan diam. Dia tahu, meski Babah itu tak menghitung taruhannya, namun Babah itu tahu dengan pasti berapa harus membayar. Suatu keahlian yang jarang tersua. Menghitung uang dari jarak tertentu tanpa menyentuhnya.

Dari seratus penjudi lihai, barangkali ilmu ini hanya terdapat pada satu atau paling banyak dua pejudi. Dengan demikian, si Babah telah menunjukkan dua ilmu simpanannya. Pertama demontrasi tenaga dalam. Yaitu tatkala tadi dia menahan ketiga dadu itu di bahagian atas tabung bambu.

Perwira Jepang dan Baribeh menyangka bahwa dadu itu berada di piring. Tapi ternyata masih dia tahan melalui penyaluran tenaga dalamnya pada dinding tabung bambu itu. Dan ilmunya ini ternyata diketahui oleh si Bungsu. Kedua adalah ilmu menghitung tanpa menyentuh duit sebentar ini. Dan si Bungsu juga mengetahuinya. Oleh karena itu dia tak mau menghitung uang bayaran yang diberikan oleh Babah. Uang itu dia kaut[3] dan dia letakkan didepannya. Yang ikut beruntung adalah Baribeh.

Taruhannya di angka lima juga mengena. Sementara taruhan perwira itu dan taruhan si Jul ditarik oleh si Babah. Si Babah masih tersenyum. Kemudian memungut bijih dadu di atas piring, kemudian memasukkannya ke dalam tabung bambu itu. Dia memutarnya. Kemudian terbatuk.

Saat itulah tiba-tiba saja ke ruangan itu berlompatan enam orang Kempetai dengan senjata terhunus. Mereka dikurung di tengah. Si Bungsu secara reflek segera meraih samurainya yang terletak di paha. Namun entah bagaimana caranya, tahu-tahu samurai itu terpental jauh kebelakang terkena tendangan si Babah. Sebelum si Bungsu sadar apa yang terjadi, tendangan si Babah mendarat di dadanya. Dia terguling dan segera saja muntah darah. Kepalanya berkunang-kunang. Ketika dia coba untuk bangkit, rambutnya ditarik dengan keras. Dia terduduk. Dan segera saja empat buah sangkur terhunus ditekankan ke dada dan lehernya.

"Kalau kau melawan, kau kami bunuh disini ".

Kempetai yang memimpin penyergapan ini mendesis dengan tajam. Si Bungsu tak dapat bergerak sedikitpun. Dia melihat Babah tadi duduk dengan tenang. Begitu pula Baribeh dan si Juling. Semula dia menyangka bahwa penggerebekan ini adalah penggerebekan Kempetai terhadap tempat-tempat judi. Karena dia pernah mendengar bahwa tentara Jepang dilarang berjudi. Tapi kali ini rupanya penggerebekan itu memang sudah direncanakan. Si Bungsu tak menyadari sedikitpun, bahwa dia masuk perangkap.

Sudah tiga hari ini dia memperhatikan rumah Babah ini. Dia mendapat informasi bahwa rumah Babah ini termasuk suatu tempat berkumpulnya para perwira untuk berjudi dan bersenang-senang dengan pelacur kelas tinggi.

Dia mengawasi rumah ini untuk mengetahui jejak Saburo. Dia berharap untuk bertemu dengan Kapten yang telah membantai keluarganya itu.

Tanpa disadari selama dia mengawasi rumah ini dari kejauhan ada pula orang lain yang juga mengawasinya. Orang itu tak lain dari si Babah sendiri. Si Babah ini memang harus hati-hati. Dia tidak mau mati konyol. Oleh karena itu dia mengawasi set iap orang yang lewat di depan rumahnya.

Makanya tak heran kalau kehadiran si Bungsu tiga hari berturut-turut tak jauh dari rumahnya menarik perhatiannya. Si Bungsu yang memata-matai rumah itu kini balik dimata-matai.

Suatu hari si Babah bertemu dengan Baribeh di pasar. Dia bawa Baribeh kesuatu tempat dimana dapat melihat si Bungsu dengan aman. Tentu saja si Baribeh dan si Juling mengenal anak muda itu dengan baik. Tapi mereka tak mengetahui untuk apa si Bungsu tegak di sana. Mereka hanya mengetahui bahwa si Bungsu sudah mati ditebas Saburo dan anak buahnya sekitar dua tahun yang lalu. Apakah si Bungsu menyangka bahwa kebocoran rahasia persembunyiaan Datuk Berbangsa dulu adalah andil Babah gemuk ini

Babah gemuk itu jadi was-was. Sebab rahasia bahwa di Situjuh Ladang Laweh ada orang yang menyusun kekuatan untuk melawan Jepang, memang Babah inilah yang memberitahukannya pada Kempetai. Si Babah pulalah yang membayar beberapa orang Minang dengan bayaran yang tinggi, untuk mengorek rahasia bahwa yang memimpin gerakan itu adalah Datuk Berbangsa dan Datuk Sati.

Babah ini memang menjadi semacam pusat informasi bagi balatentara Jepang. Dia sudah berada di Payakumbuh ini sejak puluhan tahun. Ketika Belanda berkuasa dia menjadi kaki tangan Belanda. Dan ketika Jepang datang dia menjadi cecunguk Jepang pula. Untuk mengetahui apa maksud pemuda ini, makanya Babah itu lalu memasang perangkap. Si Baribeh dan si Juling dibuat pura-pura terkejut kalau bertemu dengannya. Kemudian membujuknya untuk masuk berjudi ke dalam. Di dalam mereka akan menangkapnya. Begitu ia masuk, seorang kurir yang dipasang tak jauh dari rumah itu segera melaporkan pada Kempetai akan adanya seorang mata-mata di rumah si Babah. Dan si Bungsu masuk ke dalam perangkap yang dipasang itu. Dia masuk sebenarnya dengan maksud ingin mencari informasi tentang Saburo. Kini ternyata dia diringkus.

Babah itu tersenyum menatapnya. Senyumnya persis seperti senyum ketika membayar taruhan tadi. Kembali si Bungsu merasa bergidik melihat senyum itu.

"Anak muda, coba terangkan apa maksudmu memata-matai rumahku ini," Babah itu bertanya.

-------

[1] gepuk = gemuk

[2] dilapahnya = dilahap/dimakannya

[3] kaut = raup