Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 18 - Pak Kusir

Chapter 18 - Pak Kusir

Kedua tangan Datuk jahanam itu putus hingga siku. Anak buahnya yang satu lagi, yang masih selamat, menggigil. celananya segera basah. Dan tiba tiba dia balik kanan. Lari kedalam kegelapan. Dialah satu satunya yang selamat. Datuk itu menggelepar gelepar. Memekik mekik. Minta ampun. Kaki dan tangannya putus semua

"Bunuhlah saya. Tolonglah. Jangan biarkan saya menderita … oh tolonglah .." dia meratap.

Bungsu menatapnya dengan wajah datar. Kemudian dia berkata dengan suara tanpa emosi.

"Engkau takkan mati Datuk. Darahmu akan kuhentikan alirannya agar kau tak mati kehabisan darah. Kematian terlalu mulia bagimu. Engkau akan tetap hidup dengan tubuh seperti sekarang. cukup banyak orang sengsara olehmu. Mulai hari ini, kau akan merasakan kesengsaraan yang lebih hebat dari itu. Ini adalah balasan dari kejahatan selama ini. Engkau seorang datuk seorang penghulu, seorang kepala suku. Yang seharusnya membimbing anak kemenakanmu. Yang seharusnya meluruskan yang bengkok, menyambung yang singkat menyayangi yang muda, melindungi yang lemah. Tapi ternyata gelar yang engkau sandang engkau laknati sendiri …"

"Ampun saya anak muda … tolonglah saya. Jangan biarkan diri saya hina begini. Bunuhlah saya .. bunuhlah saya .." ratap datuk yang sudah lenyap seluruh kepongahannya.

Si Bungsu hanya menatapnya dengan dingin sambil menekan beberapa bahagian di tempat tubuhnya yang putus, darah tiba-tiba berhenti mengalir. Kemudian menatap ketujuh mayat yang bergelimpangan dalam kamar tunggu penginapan itu. Lalu lambat lambat dia berbalik.

Menghadap pada Mei-mei. Gadis itu berlari memeluknya.

"Koko .."

"Mari kita pergi Moy-moy .."

Dan malam itu, mereka meninggalkan penginapan tersebut. Si Bungsu tahu dalam waktu singkat, Kempetai akan memenuhi penginapan itu. Dan dia tak mau ditangkap. Dengan sebuah bendi yang berada di depan penginapan itu, mereka pergi membelah malam yang dingin. Malam yang hampir bersahut dengan subuh.

"Ke mana kita koko ..?"

"Saya tak tahu Moy-moy. Saya tak punya kenalan di sini. Jangan ke rumah famili ibumu di Kampung cina, berbahaya bagi keluarganya."

"Kita kepenginapan lain koko ?" "Tidak. Semua penginapan akan digeledah Kempetai…"

Kusir bendi, seorang lelaki tua, yang tadi mengintip perkelahian dalam penginapan itu mendengarkan saja percakapan kedua anak muda tersebut. Dari pembicaraan mereka, dia mengetahui, bahwa kedua anak muda ini bukan suami istri. Dia mengetahui sedikit banyaknya bahasa cina. Sebab dia bersahabat dengan sebuah keluarga Tionghoa yang tinggal di daerah Tembok, yang berdekatan dengan Kampung cina. Kedua anak muda ini, kalau tidak sepasang kekasih, pastilah dua orang bersahabat. Kusir tua itu juga mengetahui, bahwa Datuk basunguik buruk dan teman temannya yang dibantai anak muda ini adalah penyamun yang ditakuti.

Markas Datuk itu dan anak buahnya terletak di dalam rimba buluh di Tambuo. Suatu tempat angker di dekat kampung Tigobaleh di tepi Kota Bukittinggi. Banyak orang yang mengetahui bahwa rimba buluh Tambuo itu adalah markas dan sekaligus tempat persembunyian para perampok. Namun tak ada yang berani mengadukan pada Jepang. Apalagi bertindak sendiri menangkap mereka. Datuk ini terkenal bengis. Hal itu hampir saja terbukti kalau anak muda ini tak cepat dengan samurai nya tadi. Kini kusir bendi itu dapat menangkap dari pembicaraan kedua penompangnya ini, bahwa mereka kesulitan tempat menginap. Hatinya jadi hiba.

"Seluruh kota akan segera diperiksa oleh Kempetai .." kusir itu berkata perlahan. Si Bungsu menoleh padanya.

"Apakah orang orang itu dilindungi oleh Jepang ? " tanyanya ingin tahu.

"Tidak. Tapi Jepang akan mencari setiap pembunuh. Apalagi yang kau bunuh malam ini tujuh orang. Suatu jumlah yang tak sedikit, Jepang membiarkan gerombolan Datuk itu merajalela untuk kepentingan mereka secara tak langsung. Dalam setiap kekacauan, mereka memetik untungnya …"

Si Bungsu menarik nafas panjang. Mereka sama sama terdiam. Yang terdengar memecah sunyi adalah suara ladam kuda yang beradu dengan aspal. Membelah malam yang telah jauh menikam larut. Si Bungsu tak menyadari kemana bendi itu tengah menuju. Rusuknya yang patah membuat dirinya letih tak terkira. Makan kaki lelaki lelaki di penginapan tadi benar benar meluluhkan tubuhnya.

Mei-meilah yang pertama menyadari, bahwa bendi itu makin jauh dan makin masuk kepalunan gelap. Dia menggoyang tubuh si Bungsu yang bersandar ke dirinya. Si Bungsu tak bergerak.

"Koko .. Koko …" panggilnya perlahan dekat telinga si Bungsu.

Si Bungsu mengeluh pendek. Tak bisa menjawab, tapi keluhan itu sebagai tanda bahwa dia mendengarkan panggilan Mei-mei.

"Kemana kita Koko ?" ada nada cemas dalam suara gadis itu.

"Kemana …?" si Bungsu balas bertanya perlahan.

"Lihatlah, kita dibawa kepalunan rimba …" bisik Mei-mei. Masih dalam keadaan menyandarkan kepalanya yang terasa amat berat, tanpa membuka mata, si Bungsu bertanya perlahan.

"Akan bapak bawa kemana kami ?"

"Kalian tak punya tempat untuk menginap di kota anak muda .."

"Ya. Tapi kini kami akan bapak bawa kemana ?"

"Ke rumah saya …"

"Ke rumah bapak …?"

"Ya. Di rumah saya kalian akan aman. Hais ck ck .." kusir itu mendecah kudanya. Terasa goncangan agak keras ketika bendi itu mulai meninggalkan jalan beraspal dan memasuki jalan kecil yang tak datar. Mei-mei memeluk bahu si Bungsu agar jangan sampai melosoh turun.

"Kerumah bapak …?" si Bungsu mengulangi tanyanya perlahan.

Dan setelah itu dia tak sadar diri. Mei-mei tak bisa berbuat apa apa. Kalaupun dia berniat melawan, dan bisa melarikan diri, namun dia tak akan melakukannya. Dia tak mau meninggalkan anak muda yang telah menolongnya ini. Kalaupun bencana akan menimpa dirinya, dia ingin tetap berada di dekat si Bungsu.

"Haissy ck … ck Haissy …" kusir bendi tersebut mendecah kudanya lagi. Kuda itu seperti berjalan dalam cahaya terang. Berlari seenaknya. Melangkahi lobang dan batu sebesar-besar tinju. Dia hafal jalan itu. Meski malam yang hampir disambut subuh itu amat kental gelapnya. Mei-mei coba memperhatikan jalan dan belantara yang mereka lalui.

Jalan itu di kiri kanannya penuh oleh pohon pohon. Seperti hutan saja layaknya. Tapi yang paling banyak di antara pohon pohon itu adalah pohon bambu. Besar dan tinggi seperti akan menjangkau langit. Dahulu waktu kecil, dia pernah tinggal di kota ini. Tapi saat itu dia masih kecil, kemudian si Babah, ayah tirinya itu, membawa mereka pindah ke Payakumbuh. Waktu kecil itu, dia tak pernah sampai kemari. Paling paling hanya ke rumah tetangga di kampung cina. Tiba tiba bendi itu berhenti. Kusir berseru, kemudian dia berjalan ke belakang. Ke tempat si Bungsu dan Mei-mei duduk.

"Mari kutolong menurunkannya …" kata kusir tua itu lagi sambil memegang tangan si Bungsu. Lalu tiba tiba, dalam gerakannya yang amat cepat tubuh si Bungsu telah berada di bahunya. Pintu pondok terbuka. Seorang perempuan separoh baya muncul dengan lampu togok di tangannya. Mei-mei turun dari bendi dan mengikuti kusir itu. Saat akan masuk kepondok perempuan paroh baya itu tertegun menatap Mei-mei. Tapi hanya sebentar. Kemudian menghindar dari pintu memberi jalan pada Mei-mei..

"Masuklah .." katanya.

Suaranya lembut. Mei-mei melangkah masuk. Pondok itu cukup besar. Berdinding bambu, berlantai tanah beratap rumbia. Seorang anak perempuan muncul. Barangkali usianya sekitar dua belas tahun. Namun tubuhnya kelihatan segar. Kusir bendi itu meletakkan tubuh si Bungsu di sebuah kamar di atas balai balai bambu. Mei-mei tegak di sisi pembaringan.

"Biarkan dia tidur …" kata kusir itu sambil melangkah ke luar kamar.

Dia minta istrinya untuk membuat kopi. Mei-mei duduk termenung di tepi pembaringan dekat tubuh si Bungsu. Anak muda itu tergolek tak sadar diri. Gadis itu meraba wajahnya.

Terasa dingin dan berpeluh. Dia tegak dan berjalan kepintu.

"Pak. dia berpeluh dan tubuhnya dingin …" katanya pada kusir yang kini tengah membuka kekang kudanya.

"Biarkan saja. Dia takkan apa apa. Dia memiliki tubuh yang kuat. Sebentar lagi dia akan sembuh. Nona istirahatlah di dalam …" kata kusir itu.

Suaranya terdengar berat tapi ramah dan bersahabat. Kekawatiran yang sejak tadi bersarang di hati Mei-mei lenyap ketika mendengar suara kusir itu. Dia lalu berbalik ke kamar. Duduk di sebuah bangku kecil dekat dinding. Menatap diam diam pada si Bungsu yang masih saja tak sadar. Tak lama kemudian, terdengar suara azan dari kejauhan. Kusir itu sembahyang subuh dengan istri dan gadis kecilnya. Tak selang berapa lama setelah sembahyang subuh itu, Mei-mei mendengar suara orang datang. Dia mendengar kusir itu berjalan ke luar. Kemudian sepi. Tapi hanya sebentar. Tak lama antaranya, dia dengar suara tanah berdentam dan suara seperti orang berkelahi.

Mei-mei tertegak. Takutnya muncul. Siapa orang yang baru datang itu ? Dia tegak dan berjalan ketempat tidur di mana si Bungsu masih terbaring. Dia ingin membangunkan anak muda itu. Tapi dia tak sampai hati. Anak muda itu tidak tidur, melainkan tak sadar karena letih dikeroyok. Kini dia terbaring diam. Suara perkelahian di luar masih terdengar. Dengan perlahan Mei-mei berjalan kejendela. Dia mengintip dari lobang kecil yang terdapat di pinggir jendela. Di luar sana, dalam cahaya subuh, dia lihat orang tua yang jadi kusir bendi yang mereka tumpangi tadi, sedang berkelahi dengan seorang anak muda. Anak muda itu kelihatan amat gesit. Namun kusir itu juga gesit. Tubuh tuanya yang malam tadi dibungkus dengan kain dan sebuah sebo, kini kelihatan terbuka. Hanya memakai celana panjang hitam tanpa baju. Tubuhnya kelihatan biasa saja, namun di balik tubuh yang biasa itu jelas terbaca tenaga yang tangguh.

"Sampai di sini dulu, Kini kau upik .." kusir itu berkata menunjuk gadis kecil yang dia temui malam tadi.

Dari lobang kecil itu dia melihat gadis kecil anak kusir itu maju ke tengah lapangan kecil di belakang rumah itu. Gadis berusia dua belas tahun itu berpakaian seperti lelaki. Bercelana dan berbaju longgar. Dari caranya bersiap. Mei-mei segera menarik nafas lega. orang itu ternyata hanya latihan silat. Dia jadi tertarik. Ingin melihat gadis kecil itu bersilat. Gadis itu mulai membuka serangan setelah memberi hormat.

"Jangan memukul ketika menarik nafas .." kusir itu berkata memberi petunjuk.

Gadis itu menarik lagi pukulannya yang tengah dia lancarkan. Memulai lagi langkah dari awal. Kemudian beruntun mengirimkan pukulan dan tendangan ke arah ayahnya. Gerakan gadis itu cukup cepat. Namun dengan mudah kusir itu mengelak dan memberi petunjuk terus. Tiba tiba lelaki tua itu berhenti, lalu menghadap kepondoknya.

"Hei, Nona Jangan mengintip di situ. Kalau ingin belajar silat, datang kemari.." Seru lelaki itu.

Mei-mei cepat cepat menarik kepalanya dari lobang yang tak sampai sebesar jari itu. Dia kaget pada ketajaman firasat kusir itu. Dia duduk kembali di pembaringan dekat si Bungsu yang masih tertidur. Sesekali matanya memandang juga ke lobang kecil di tepi jendela di mana tadi dia mengintip. Suara kusir yang menyuruhnya keluar itu seperti memanggil manggilnya. Dia tatap wajah si Bungsu, hatinya jadi lega. Sebab kini wajah anak muda itu tak lagi meringis seperti tadi. Kini dia seperti benar benar tidur. Wajahnya tak lagi menahan sakit.

Nampaknya dia memang tengah tertidur lelap. Mei-mei menarik nafas lega. Di luar dia dengar lagi orang latihan bersilat. Lambat lambat dia melangkah keluar. Berjalan ke belakang. Dan tiba di pinggir lapangan berpasir yang luasnya tak sampai lima depa persegi. Di tengah lapangan Upik anak kusir itu tengah bersilat dengan lelaki muda yang tadi dia lihat bersilat dengan kusir. Kusir itu tengah tegak dengan kaki terpentang menatap ke tengah sasaran.

Mei-mei duduk di bangku bambu yang terletak di pinggir sasaran. Tak lama kemudian kedua orang itu selesai berlatih. Si Upik dengan tersenyum ramah mendekati Mei-mei.

Gadis kecil itu mengulurkan tangan bersalaman. Mei-mei ikut tersenyum melihat keramahannya dan menyambut uluran tangannya.

"Nama saya Upik. Siapa nama kakak ?" tanyanya dengan suara bersahabat.

Mei-mei terharu, jarang sekali sikap bersahabat begini datang dari orang Melayu terhadap orang Tionghoa. Biasanya dia merasa diasingkan di tengah orang orang Melayu. Tapi gadis kecil ini, demikian juga ayahnya yang kusir itu, seperti telah mengenalnya dengan baik selama bertahun tahun. Sebenarnya jarak usia kedua gadis itu hanya sekitar lima tahun. Suatu jarak yang tak seberapa jauh. Si Upik benar benar gadis desa yang polos dan manja. Sementara Mei-mei adalah gadis muda yang dalam usianya yang belum seberapa itu, telah menapaki kehidupan manusia dewasa yang alangkah pahitnya dan alangkah hitamnya.