Samurai itu melesat dalam gelap dan menancap persis di antara kedua mata si Kempetai. Begitu samurai pendek itu lepas dari ujung ujung jarinya Mei-mei berguling lagi dengan cepat ke kanan. Bedil Jepang itu menyalak saat dia sudah dua kali dia bergulingan. Peluru bedil itu menerpa tempat kosong, bersamaan rubuhnya tubuh Kempetai itu.
Mei-mei tersandar ke dinding rumah. Nafasnya memburu. Suasana sepi. Salak anjing yang biasanya riuh di malam begini, kini pada terdiam mendengar suara dua kali letusan itu.
Mereka menyurutkan diri ke dalam semak atau ke bawah rumah. Sebab sudah beberapa kali Jepang memburu anjing. Memburunya masuk kampung keluar kampung. Menurut Jepang, anjing itu harus dibunuhi. Sebab dia memakan makanan yang harusnya jadi makanan manusia. Tambahan lagi, yang paling parah, anjing anjing itu sedang dijangkiti penyakit rabies. Penyakit yang biasanya menulari anjing bila penduduk suatu negeri dilanda kekurangan makanan. Dewasa itu pula, penduduk mana di Indonesia yang tak kekurangan makanan di bawah Pemerintahan Rasisme Jepang ? Manusia dan anjing memang saling berebutan makanan. Suatu tragedi sebenarnya. Tapi begitulah sejarah mencatatnya. Penduduk Indonesia yang mengalami tahun tahun penderitaan di bawah kuku Jepang itu, akan tetap mengingatnya sampai mati. Etek Ani dan si Upik yang sejak tadi duduk berpelukan di ruangan tengah, yaitu sejak Mei-mei diseret masuk bilik oleh Djun-i, kini menanti dengan tegang.
"Unii. Uni Uni Mei-mei…" si Upik memanggil di antara tangisnya.
Memanggil uninya yang tak kunjung keluar dan tak kunjung terdengar suaranya dari dalam bilik yang tadi dimasuki dua orang Kempetai itu. Tak ada jawaban dari dalam.
"Uni Mei Mei .." si Upik mulai menangis. Dia berdiri menuju kepintu bilik.
"Uni … buka pintu uni .."
Tak ada jawaban. Sepi…!!
Tiba tiba etek Ani mendengar suara halus. Dia mengangkat kepala. Suara itu seperti dari luar.
"Upik … , Etek …"
Suara itu terdengar lagi. Seperti suara Mei-mei. Istri Datuk itu tegak. Dia seperti mendengar suara itu dari luar. Kenapa dari luar ?
"Etek .. tolong saya. Saya di luar .." Ujar suara itu periahan, seperti orang kehabisan tenaga.
Si Upik mendengar pula suara itu. ibunya mengambil lampu dinding. Kemudian perlahan membuka pintu Melangkah kesamping pintu. Mereka tertegak kaku melihat tiga tubuh Kempetai yang telah jadi mayat. Lalu mereka melihat tubuh Mei-mei tersandar di dinding rumah. Dari bahu kirinya darah mengalir. Kepala gadis itu terkulai. Dan matanya menatap sayu.
"Mei-mei…"
"Etek …" himbau gadis itu lirih.
Upik menangis memeluk uninya itu. Istri Datuk berusaha menolong Mei-mei untuk bangkit dan memapahnya ke dalam. Tapi gadis itu menolak.
"Mayat mayat ini harus disembunyikan etek. Komandan mereka yang menugaskan mencari pak Datuk kemari pasti akan curiga kalau mereka tak kembali pada waktunya. Mereka akan mengirimkan pasukan lagi kemari. Bukankah di belakang rumah ada lobang besar tempat membakar sampah ? Seretlah mayat ini kesana. Nampaknya etek terpaksa bekerja dengan upik. Saya tak dapat membantu. Bahu saya tertembak. Di dalam kamar masih ada dua mayat lagi. Seretlah etek… kemudian timbun dengan apa saja. Asal mayat mereka tak kelihatan"
Istri Datuk itu memang tak melihat jalan lain yang lebih baik selain mengikuti petunjuk Mei-mei. Dengan mengerahkan semua tenaganya, dengan bantuan si Upik, dia menyeret kelima mayat Kempetai itu ke lobang pembakaran sampah di belakang rumah. Mei-mei hanya mampu melihat dari tempatnya bersandar. cukup lama pekerjaan itu mereka lakukan. Setelah selesai istri Datuk itu berniat membawa Mei-mei masuk. Namun Mei-mei menggeleng.
"Tidak etek. Berbahaya kalau saya masuk kerumah. Kalau Kempetai datang dan ternyata teman temannya tak ada, mereka akan memaksa kita.
Barangkali mereka juga berniat memperkosa saya. Dan mereka akan melihat dan mengetahui luka saya ini adalah luka bekas tembakan. Mereka akan curiga. Kematian kelima teman mereka akan segera mereka ketahui. Sembunyikan saja saya ke tempat lain. Bawa saya kepondok kecil di tengah rumpun bambu di samping sana. Biarlah saya di sana menjelang koko pulang …"
"Saya akan ikut dengan uni …" si Upik berkata sambil menangis.
"Tidak Upik. Upik harus tetap bersama etek di rumah. Tolong ambilkan obat di kamar uni. obat ramuan yang dulu diberikan koko kepada kita. Ingat ?"
Upik mengangguk. Kemudian cepat masuk. Mengambil obat, kain dan beberapa potong kue yang mereka beli siang tadi. Kemudian sebuah bantal dan tikar. Dengan suluh mereka segera menuju kepondok kecil di tengah hutan bambu itu. Pondok itu dibuat oleh si Bungsu untuk istirahat jika selesai latihan. Sesampai di pondok Mei-mei minta tolong menaburkan obat ramuan itu di lukanya.
Peluru bedil Kempetai itu ternyata menembus bahunya dari depan tembus ke belakang. Luka di belakang tiga kali selebar luka yang di depan. Gadis itu sudah sangat pucat karena darah banyak keluar. Setelah ramuan obat yang dibawa si Bungsu dari gunung Sago itu ditebarkan dilukanya, dia kelihatan sedikit tenang.
"Pulanglah etek, Upik. Kalau koko datang, katakan aku di sini …"
"Tidak. Upik tidak pulang. Upik di sini mengawani uni …"
Si Upik tak tahan untuk tak menangis melihat penderitaan Mei-mei. Mei-mei jadi terharu. Dia belai kepala adiknya itu.
"Tidak Upik. Upik harus menemani amak di rumah. Bagaimana kalau Jepang datang, dan dia menganggu amak …?"
"Amak juga di sini. Amak jangan pulang. Kita di sini saja bersama uni ya mak?" si Upik membujuk ibunya diantara tangisnya.
"Tidak Upik. Kalau Upik dan amak di sini, Jepang pasti curiga. Mereka akan membakar rumah dan mencari kita sampai dapat. upik dan amak harus di rumah. Menjawab pertanyaan Jepang yang datang".
Mei-mei berusaha meyakinkan gadis kecil itu. Akhirnya Upik pulang juga bersama ibunya. Mei-mei tinggal sendiri. Dia tak berani menghidupkan lampu togok yang ada di pondok itu. Tidak juga menghidupkan api unggun untuk menghalau nyamuk. Dia khawatir kalau api yang dia pasang akan kelihatan oleh Jepang. Gadis ini memang mempunyai firasat yang tajam. Sebab tak lama setelah Upik dan ibunya sampai di rumah, sepasukan tentara Jepang sampai pula di sana.
Sementara itu, di sebuah kedai kopi di pasar atas, si Bungsu telah menantikan kedatangan seorang lelaki. Bendinya tegak tak jauh dari kedai kopi. Kegiatan Jepang nampaknya makin sibuk menjelang awal Agustus itu. Perang melawan Sekutu di Samudra Pasifik mengirimkan berita tak menyenangkan Jepang ke seluruh tanah jajahannya. Tiba tiba si Bungsu melihat lelaki yang dia nanti itu muncul dari arah Jam Gadang. Lelaki itu adalah kurir dari Datuk Penghulu Basa. Dari dia diharapkan berita tentang dimana kini Kapten Saburo Matsuyama berada. Sampai saat ini, si Bungsu belum mengetahui kalau Kapten yang telah naik pangkat jadi Mayor itu telah dipaksa pensiun dan dipaksa pulang ke Jepang oleh Kolonel Fujiyama. Lelaki itu nampak tergesa. Si Bungsu hanya menoleh sebentar. Kemudian membelakangi lelaki itu, menghadap kopi dan pisang gorengnya. Lelaki itu mengambil tempat duduk disampingnya.
"Kopi pahit satu …" Katanya sambil menjangkau sebuah goreng ubi. Dia mengunyah goreng itu.
Sementara si Bungsu menghirup kopinya. Lelaki yang baru datang itu melayangkan pandangannya ke berbagai penjuru. Ketika dia lihat tak ada yang mencurigakan, dia berkata perlahan.
"Dia sudah dipensiunkan …"
Si Bungsu menghirup lagi kopinya, lalu bertanya.
"Dimana dia kini ?"
"Sudah pulang ke Jepang …"
Si Bungsu tertegun. Hampir saja gelas di tangannya jatuh. Sudah pulang ke Jepang ? Mungkinkah itu? Dia seharusnya tak menoleh pada lelaki tersebut. Namun dia tak perduli. Dia menatap pada lelaki yang tetap saja menatap kedepan dan mengunyah goreng ubinya.
"Pulang ke Jepang ?"
"Ya. Fujiyama tidak suka tentara Jepang bertindak sadis. Karena itu dia memaksa Mayor itu untuk pensiun dan memaksanya untuk pulang ke Jepang"
"Tapi buktinya masih banyak pembunuhan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh tentara Jepang .."
"Ya. Dan itu pasti tak sampai ketelinga Fujiyama. Sebuah peraturan dan disiplin yang baik yang diputuskan atasan, belum tentu baik pelaksanaannya sampai ke bawah. Tapi jelas, Fujiyama sebagai pimpinan tertinggi pasukan Jepang di Sumatera telah berbuat banyak untuk membuat pasukannya agar tak menjadi iblis. Hanya saja bawahannya tak semua mendukung kebijakannya. Atas kebersihannya itu, Fujiyama telah dinaikkan pangkatnya dari Tei Sha (Kolonel) menjadi Syo Sho (Mayor Jenderal).."
"Kenaikan dua tingkat ?"
"Tidak. Hanya satu tingkat. Dalam ketentaraan Jepang tak dikenal pangkat Brigadir Jenderal. Dari Kolonel langsung ke Mayor Jenderal …"
"Sudah berapa lama Saburo pulang ke Jepang ?"
"Tiga bulan yang lalu .."
"Tiga bulan yang lalu ?"
"Ya .."
"Sebelum itu dia berada di kota ini ?"
"Tidak. Setelah pindah dari Payakumbuh, dia berada di kota ini dua bulan. Kemudian diangkat menjadi chu-Tei cho (Komandan Kompi di Batusangkar). Dan ketika dia .." ucapan lelaki itu terhenti ketika mereka mendengar suara bentakan dan derap sepatu.
Mereka menoleh, dan empat orang Kempetai kelihatan menuju ke arah mereka. Di depan mereka ada seorang lelaki. Jelas lelaki itu orang Indonesia. Lelaki itu menunjuk kearah kedai kopi dimana kini mereka duduk.
"Jahannam. Ada penghianat. Saya sudah menduga, banyak orang awak yang jadi penghianat. Awas dia …saya harus pergi"
Lelaki itu beranjak cepat. Namun bentakkan menyuruh berhenti terdengar dari mulut Kempetai itu. Karena hari malam, lelaki itu tak perduli. Dia melompat, namun saat itu senapan Kempetai itu meledak. Lelaki itu terpekik rubuh. Kakinya kena tembak. Kempetai itu berlarian dengan samurai terhunus.
"Larilah Bungsu. Katakan pada pak Datuk saya terbunuh di sini. Saya akan melawan sampai tetes darah terakhir .."
Lelaki itu bicara sambil tetap berguling seperti mati. Keempat Kempetai itu sampai di sana. Yang satu menunduk membalikkan tubuh lelaki yang sampai saat itu tak diketahui oleh si Bungsu siapa namanya. Begitu Jepang itu menjamah tubuhnya, begitu lelaki itu bergerak. Tangannya terayun keatas. Keris di tanganya menancap di leher Kempetai itu. Mati.
Demikian cepatnya peristiwa itu berlangsung. Si Bungsu masih duduk ditempatnya tadi. Tangannya masih memegang gelas berisi kopi. Pemilik lepau itu juga tertegak diam. Kini, kedua Jepang yang masih hidup bersama lelaki yang tadi menunjuk kearah mereka, yang dimaki sebagai jahanam penghianat oleh kurir anak buah Datuk Penghulu Basa itu, mendekat ke lepau. Si Bungsu tertegun menyaksikan peristiwa kematian anak buah Datuk Penghulu tersebut. Lelaki itu telah berkata sebelum dia mati, bahwa dia akan berjuang sampai tetes darah terakhir. Lelaki itu sudah memilih jalan berjuang sampai mati dari pada harus tertawan oleh Kempetai.
Sebab sudah bukan rahasia lagi, setiap pejuang yang melawan Jepang, yang berhasil ditawan Kempetai, akan mendapatkan siksaan yang amat pahit sebelum nyawa mereka direnggutkan. Kalau begitu ditangkap kemudian dibawa kedepan regu tembak atau dipancung, tak akan jadi soal. Artinya mereka tak takut menghadapi kematian yang demikian. Tetapi menghadapi siksaan cabut seluruh kuku, kemudian jari jemari dipatahkan satu demi satu, kemudian rambut dibotaki dengan cara mencabutnya, siapakah yang akan tahan ? Begitulah penyiksaan model Kempetai.
Daripada menyerah dalam tahanan, menyerah dengan menyebutkan rahasia teman teman, lelaki itu merasa lebih baik mati dalam perlawanan. Dan dia telah membuktikan hal itu di hadapan mata si Bungsu.
Tanpa dapat ditahan, air mata meleleh di pipi anak muda itu. Dia teringat pada ayahnya. Pada pejuang pejuang yang telah mengorbankan nyawa mereka demi mengusir penjajah. Dan dia juga teringat pada si Baribeh dan siJuling yang sampai hati berkhianat. Dia juga teringat lelaki yang jadi tukang tunjuk tadi. Dia yakin lelaki itu pastilah orang Minang juga. Dia melihat hal itu pada gaya dan pakaiannya. Kedua Kempetai dan lelaki tukang tunjuk itu berhenti tiga depa di belakangnya. Dia dengar suara bedil dikokang. Lalu sebuah suara serak.
"Hei, kamu pemilik lepau dan yang pakai baju hitam, kemari cepat. Kemari dengan mengangkat tanganmu tinggi-tinggi . . ."
Pemilik lepau itu menatap dengan tenang pada si Bungsu. Si Bungsu heran melihat ketenangan lelaki itu. Lambat lambat tangan lelaki itu mendekati meja di depannya. Dan sekali pandang, si Bungsu melihat keris di atas meja yang dipenuhi pisang itu. Segera saja si Bungsu dapat menebak, lelaki ini pastilah salah seorang kurir atau mata mata pihak pejuang Indonesia. Sebab kalau tidak, takkan mungkin Datuk Penghulu menyuruh dia menanti kurir yang telah mati itu di lepau ini. Si Bungsu juga segera menyadari bahaya besar kalau sampai pemilik lepau ini mengambil kerisnya.
Dia berada di bawah bayangan lampu, gerakannya pasti kelihatan oleh Kempetai yang sudah siap dengan bedil terkokang. Lelaki itu akan mati sebelum dia sempat berbuat apa apa. Tapi dia tak bisa memberi ingat, lelaki itu sudah menjamah kerisnya. Saat itulah si Bungsu melemparkan gelas berisi kopi di tangannya kebelakang, ke arah Kempetai itu. Serentak dengan itu tangannya menyambar samurai di pahanya. Tubuhnya dia jatuhkan ke belakang. Tiga kali bergulingan cepat, lalu samurainya bekerja. Kedua Kempetai itu semula menatap dengan bengis melihat gerak tangan lelaki itu mengambil kerisnya. Mereka sudah siap menarik pelatuk bedil begitu keris diangkat. Tapi mereka jadi kaget ketika tiba-tiba sebuah gelas berisi kopi panas melayang ke wajah mereka. Mereka lalu menghindar sebisanya, namun tetap saja wajah mereka terpercik kopi panas itu. Mereka tahu siapa melemparkan gelas kopi ini. Pasti orang yang duduk si sebelah kurir yang telah mati itu. Namun begitu mereka bersiap. begitu si Bungsu sampai di dekat mereka dengan cara bergulingan di tanah. Dan …Sret … sret .. snap!!
Dua buah sabetan amat cepat, kemudian sebuah tikaman ke belakang. Tikam Samurai. Kedua Kempetai itu mati di tempat. Bedil di tangan kedua Jepang itu tak pernah menyalak. Tapi orang orang sudah berkerumun di kejauhan. Pemilik lepau itu tertegun. Keris ditangannya, belum sempat dia cabut dari sarungnya, kini masih terpegang di tangannya. Dia masih belum beranjak setapakpun dari tempatnya. Dia ingin mengadakan perlawanan, tapi musuh yang akan dilawannya itu sudah mati keduanya. Demikian cepat anak muda itu bertindak.