Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 26 - Syo Sho Fujiyama

Chapter 26 - Syo Sho Fujiyama

"Yang kelihatan lampu sedikit itu rumah Imam tadi,"

Datuk Penghulu berkata sambil menunjuk ke belakang. Di rumah Imam itu Letnan yang tadi memegang anak gadis si Imam masih duduk di kursi. Sementara di lantai, duduk Imam yang berlumuran darah itu bersama-sama istrinya. Di luar hujan gerimisan turun. Mata Letnan itu menyambar dengan kilatan birahi ke tubuh anak Imam itu. Gadis itu punggungnya kelihatan jelas karena bajunya robek. Letnan itu beberapa kali menelan ludahnya. Pinggul gadis itu merangsang birahinya. Dan tiba-tiba dia memberi isyarat pada seorang prajurit yang menjaga. Prajurit itu mendekat. Mereka berbisik. Kemudian si Letnan bangkit. Dan menyambar tangan gadis itu.

"Tuan telah berjanji tidak mengganggu kami. . . . ", Imam itu berkata.

Tapi Letnan itu nyengir seperti iblis. Dia tetap menarik tangan gadis yang meronta-ronta itu. Tapi apalah dayanya. Letnan itu terlalu kuat baginya. Dalam dua kali renggut dia sudah sampai ke pintu bilik. Gadis ini berteriak. Ayahnya bangkit akan menolong anaknya. Tapi ketiga prajurit lainnya sudah siap sejak tadi. Dengan sebuah pukulan popor bedil Imam itu terkulai. Istrinya terpekik memeluknya. Sementara gadis itu dengan masih memekik-mekik di seret ke bilik orang tuanya.

Dua puluh depa dari rumah itu, si Bungsu dan datuk Penghulu yang baru saja keluar dari sungai, telah melangkahkan kaki untuk memulai pelarian mereka, jadi tertegun. Mereka seperti mendengar pekik perempuan. Pekik itu juga terdengar oleh beberapa penduduk yang rumahnya berdekatan dengan rumah Datuk Penghulu. Namun tak seorang pun diantara para lelaki yang ada disekitar itu yang berani memberikan pertolongan. Mereka semua mengetahui bahwa di rumah Datuk itu ada Kempetai. Dan bila ada perempuan memekik, itu bisa disadari apa artinya.

Tak ada yang berani menolong. Sebab pertolongan berarti melawan Jepang. Dan melawan Jepang artinya cabut kuku atau dibunuh. Nah, dari pada mencari susah lebih baik diam di rumah. Itu lebih selamat. 'Bikin apa cari penyakit,' pikir mereka. Tapi tak demikian halnya dengan si Bungsu dan Datuk Penghulu. Hampir bersamaan, mereka yang sedianya akan melarikan diri itu, pada mengayunkan langkah panjang ke rumah Imam tersebut. Mereka sadar, jika mereka kelihatan oleh Jepang, itu artinya maut mengintai. Tapi menyadari bahwa ada orang lain yang butuh pertolongan, mereka melupakan bahaya yang mengancam diri mereka sendiri. Mereka segera mancapai belukar di pinggir rumah itu. Pekik dan tangis masih terdengar dari dalam.

"Ada tiga orang diluar" si Bungsu berbisik.

Lalu seperti sudah bermufakat, tiba-tiba saja mereka meloncat ke depan. Ketiga Serdadu Jepang yang tegak di bawah cucuran atap itu, yang berteduh dari gerimis, terkejut melihat kehadiran mereka yang amat tiba-tiba. Yang seorang berniat membentak, tapi suaranya hanya sampai di tenggorokan. Kerampangnya kena tendang Datuk Penghulu. Kemudian sebuah tinju mendarat di jantungnya. Dia terjajar, mati. Yang dua lagi mengangkat bedil. Namun bedil itu tak pernah meletus. Sebuah sinar halus melesat amat cepat. Dan tahu-tahu yang satu lehernya hampir putus, yang satu lagi dadanya terburai. Mereka mati tanpa sempat mengeluh. Dan tak sempat pula mengetahui, apa yang menjadi malaikat maut yang merenggut nyawa mereka demikian cepatnya. Dan si Bungsu menyisipkan kembali samurainya.

Datuk Penghulu memberi isyarat. Si Bungsu mengangguk. Di dalam bilik si Letnan tadi sudah merenggut seluruh pakaian anak gadis Imam itu. Gadis malang itu tegak di sudut ruangan dengan tubuh menggigil tanpa pakaian secabikpun. Kempetai itu menjilat bibir dan meneguk liurnya beberapa kali melihat tubuh montok gadis itu.

"Hhhhh, bagusy badan . . .bagusy badaaaan . . . .," katanya seperti orang menggigil.

Dan dalam gigilannya itu dia membuka pula pakaiannya sendiri. Kemudian mendekat pada si gadis. Gadis itu tak kuasa lagi memekik. Dia menutupi wajahnya. Dan tiba-tiba dia terkulai pingsan saking ngeri dan malunya. Tubuhnya yang terkulai cepat disambut oleh Jepang itu. Kemudian menghempaskannya ke pembaringan. Saat itulah jendela kamar itu pecah di hantam dari luar. Seiring dengan masuknya papan pecahan jendela, sesosok tubuh berpakaian serba hitam tiba-tiba saja sudah tegak dalam kamar itu. Dia adalah Datuk Penghulu yang masuk dengan meloncat menerjang jendela kamar Kempetai itu tertegun.

Tapi itulah tegunnya yang terakhir. Itulah kesempatan baginya untuk tertegun semasa hidupnya, sebab setelah itu dengan penuh kebencian pukulan Datuk Penghulu menghujam ke arah jantungnya. Dia berusaha untuk mengelak dengan mempergunakan tangkisan karate. Namun Datuk itu sudah sampai ke puncak berangnya. Begitu tangannya ditangkis, tangan yang menangkis itu dia tangkap. Kemudian dengan sebuah pelintiran yang telak, tubuh Jepang itu terjerembab ke tanah. Saat berikutnya, dengan masih memegang tangan kanan Jepang itu, kaki Datuk Penghulu menghujam ke bawah. Hujaman pertama membuat tulang leher Jepang itu berderak. Kemudian hentakkan kedua adalah hentakkan tumit ke hulu hati. Jantung dan hati Jepang itu pecah oleh jurus Hentak Alu yang dipergunakan oleh Datuk tadi.

Pada saat Datuk itu menjebol jendela, saat itu pula si Bungsu membuka pintu depan. Kemudian dia berdiri dua depa dari ketiga Jepang yang mengawasi imam dan istrinya itu. Semula mereka tak acuh. Menyangka bahwa yang hadir itu adalah temannya yang tadi keluar. Tapi begitu mendengar jendela dijebol, mereka terkejut. Dan ketika diperhatikan, ternyata yang tegak dekat pintu adalah pemuda yang mereka cari-cari.

"Bagero ini dia. Dia iniiiiii..!!" yang seorang memekik saking kagetnya.

Serentak mereka mengangkat bedil. Tiga letusan bergema mengoyak kesunyian. Tapi saat si Bungsu sudah mempergunakan loncat tupainya yang tangguh itu. Tubuhnya bergulingan ke depan sesaat sebelum ketiga bedil itu menyalak. Dalam saat seperti itu, tak ada kalimat yang bisa menggambarkan kecepatan anak muda itu mempergunakan samurainya yang tangguh itu. Dia mempergunakannya tak tanggung-tanggung. Dia baru saja kematian kekasih. Gadis cina yang dicintainya sepenuh hati. Mati karena ditembak dan diperkosa Jepang malam kemaren. Gadis itu meninggal di depannya hanya beberapa detik sebelum mereka mengucapkan ijab kabul di depan kadi Karenanya, dalam berang dan dendamnya yang amat sangat menyala-nyala, dia menebaskan samurai di tangannya dengan tak tanggung-tanggung pula. Hanya sekali tabas, ketiga kepala Kempetai itu putus Sebelum ketiga tubuh mereka jatuh memecah lantai, sekali lagi samurai di tangan anak muda itu bekerja. Tubuh mereka terpotong dua persis di tentang dada.

"Bungsu Jangan menganiaya mayat"

Suara Datuk Penghulu yang telah tegak di pintu bilik menyadarkan anak muda ini dari gejolak dendam dan amarahnya. Dia tertegun, wajahnya yang semula tegang menakutkan dengan sinar mata berkilat, lambat-lambat biasa kembali. Dia menatap kepala dan potongan tubuh serta darah yang berceceran di lantai. Kemudian menunduk. Kemudian lambat-lambat menyarungkan kembali samurainya. Istri imam itu dan anak gadisnya yang kecil terdiam. Imam itu yang lambat-lambat menyadari apa yang terjadi, juga tak bisa bicara. Mereka sudah lama mengenal anak muda ini. Karena dia selalu bepergian dengan Datuk Penghulu. Ada orang yang berbisik-bisik, bahwa anak muda ini sangat mahir memakai samurai. Dan konon kabarnya sudah puluhan Jepang dia bunuh ketika masih di Payakumbuh.

Namun itu hanya mereka dengar dari bisik-bisik. Bahkan ketika malam tadi banyak Jepang yang mati di bekas rumah Datuk Penghulu, kemudian ditemukan pula mayat yang berkeping-keping bersama ledakan di truk dekat jalan, banyak orang yang menduga itu adalah pembalasan Datuk Penghulu dan si Bungsu. Tapi mereka belum juga percaya, bahwa anak muda yang pendiam dengan wajah dan sinar mata murung ini adalah seorang perkasa begini.

Kini, ketika hal itu berlangsung di hadapan mereka, mereka bukan hanya ternganga tak percaya. Tapi lebih dari itu, mereka merasa kejadian ini terlalu hebat dalam kehidupan mereka. Sesuatu yang amat luar biasa. Sesuatu yang tak pernah mereka impikan akan bertemu dalam kehidupan mereka. Seorang anak minang, pribumi yang terjajah, yang selalu ditekan dan dianggap sampah, kini di hadapan mereka menghajar Jepang- Jepang yang laknat itu. Tidak hanya sekedar menghajar. Melainkan melakukan pembalasan yang luar biasa.

Tak pernah terbayangkan. Tak pernah terfikirkan. Istri imam itu bangkit menuju kamar, melihat anak gadisnya yang sudah diselimuti dengan kain panjang. Sementara di lantai terbujur mayat Letnan yang tadi akan melaknati tubuh anaknya itu.

"Anakmu selamat pak imam. . . ." Datuk Penghulu berkata perlahan. imam itu tiba-tiba bangkit. Dia teringat sesuatu.

"Di luar masih ada tiga orang Kempetai lagi. . . . ,"katanya perlahan dengan wajah cemas.

"Jangan khawatir, mereka telah diselesaikan. . ."

Imam itu menarik nafas. Kemudian perlahan dia berkata: "Maafkan saya Datuk. Bungsu. Saya telah mengkhianati kalian, sayalah yang mengatakan pada mereka tempat persembunyian kalian ..."

"Jangan dipikirkan pak Imam. Pak Imam tak pernah mengkhianati kami. Kami dapat menerka apa yang terjadi. Mereka pasti sudah di rumah ini ketika pak Imam baru keluar dari surau itu. Dan peristiwa selanjutnya dapat diterka. Mereka memaksa Pak Imam untuk membuka rahasia, kalau tidak anak istri pak Imam akan mereka nodai. Kami bisa menerka hal itu, karena memang demikian watak tentara pendudukan, dimanapun. Nah, kini kami harus pergi. Saya rasa pak Imam tak usah takut, nantikan saja Kempetai yang ke surau itu disini. Kalau mereka kembali, katakan kami yang membantai teman-teman mereka. Dan katakan bahwa kami juga mencari mereka. . . .."

"Tapi . . . .apakah mereka takkan mempersusah kami.. . .?"

"Mereka akan sibuk mencari yang membunuh tentara mereka daripada sekedar mempersusah Bapak.."

Ujar si Bungsu sambil mengangguk pada imam itu, kemudian pada istrinya. Dan ketika akan melangkah dia teringat sesuatu.

"Pak imam, mayat Mei-mei kami tinggalkan di surau. Kalau tidak akan menyusahkan Bapak, mohon Bapak selenggarakan mayat itu. Kami harus segera berlalu dari sini. . . ."

"Saya akan mengurusnya Bungsu. Saya akan mengurusnya. Percayalah. Terima kasih atas bantuanmu menyelamatkan keluarga saya. . .."

Kedua orang itu segera lenyap ke dalam hujan yang telah menggantikan gerimis. Tak lama setelah mereka pergi, kedelapan Serdadu Jepang yang dikirim untuk menangkap mereka di surau itu juga tiba di sana. Mereka menjadi menggigil melihat tubuh teman-teman mereka kena cencang. Mereka segera melaporkan ke markas. Kemudian imam itu serta anak istrinya juga di bawa ke markas besar Jepang di Panorama. Untung bagi imam ini, di markas itu dia ditanya langsung oleh syo-sho (Mayor Jenderal) Fujiyama Tai cho (Komandan Divisi) dan Panglima Tertinggi pasukan Jepang di sumatera. Dia baru saja naik pangkat dari Tai Sha (Kolonel) ke Mayor Jenderal.

Imam itu beruntung karena Fujiyama terkenal sebagai tentara sejati. Dialah yang telah menekan Syo Sha (Mayor) Saburo Matsuyama untuk pensiun karena telah membunuh banyak pribumi di Situjuh Ladang Laweh, diantaranya orang tua si Bungsu. Dan setelah Saburo meminta pensiun dalam usia yang belum pantas untuk pensiun, Fujiyama kembali menekannya untuk kembali ke Jepang. Fujiyama tak senang pada tentara yang menindas rakyat. Dia datang memang untuk menjajah. Tetapi penajajahan dalam arti kemiliteran yang dianut Fujiyama adalah penjajahan di bidang politik, ekonomi dan pertahanan.

Menurut doktrin tentara, rakyat negara yang terjajah, tetap saja sebagai manusia yang harus dihormati. Kalau ada permusuhan, maka yang bermusuhan adalah tentara dan pemimpin kedua negara. Bukan tentara dengan rakyat. Kecuali rakyat yang mengorganisir perlawanan. Kalau hanya rakyat biasa, maka hak mereka harus dihormati. Inilah perbedaan yang sangat menyolok antara komandan divisi yang berkedudukan di Bukitinggi ini dengan sebagian besar perwiranya.

Kini dialah yang menanyai langsung Imam itu. Imam itu menceritakan seluruh peristiwa itu. Dimulai dari dimintanya dia untuk menikahkan Mei-mei dengan si Bungsu. Kemudian diceritakannya pula bahwa gadis itu meninggal sesaat sebelum membacakan ijab kabul.

"Kenapa dia meninggal. . . ?" Fujiyama memotong.

"Ditembak dan diperkosa bergantian oleh…" Ucapan Imam itu berhenti, dia tak berani melanjutkan bicaranya.

"Siapa yang menembak dan memperkosanya. Katakan, jangan takut. . . ."

"Kabarnya. . . .kabarnya anggota pasukan tuan yang datang ke rumah Datuk Penghulu itu untuk menangkap Datuk itu. Tapi yang mereka temui hanyalah isteri Datuk itu, si Upik anaknya dan Mei-mei. . .."

"Siapa itu Mei-mei . . . ?"

"Gadis yang akan menikah dengan si Bungsu itu. . ."

"Namanya seperti nama cina. .."

"Benar. Dia memang anak cina. Tapi dia telah masuk Islam. Hidupnya penuh penderitaan. Dia ditolong oleh si Bungsu dan diakui anak oleh Datuk Penghulu…."

Fujiyama mengangguk-angguk. "Teruskan ceritamu pak Imam. . .."