Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 31 - Kari Basa

Chapter 31 - Kari Basa

Datuk Penghulu tegak dengan kaki terpentang. Menghadap Mayor itu dengan perasaan muak. Disamping mayor itu tergeletak samurainya Si Bungsu yang baru saja tergolek jatuh, melihat betapa perkasanya Datuk itu. Demikian cepat dia bergerak. Benar-benar seorang pesilat yang tangguh. Dia melihat betapa Datuk itu tetap tegak tanpa bergerak ketika Kempetai-kempetai itu mengepungnya dengan sangkur terhunus. Lalu tiba-tiba tubuh Datuk itu meliuk. Dan lambat-lambat dia berputar di atas kedua lututnya. Dan lambat-lambat dia jatuh di atas kedua lututnya. Tubuhnya berputar, menghadap pada si Bungsu yang masih tertelentang. Dengan terkejut, sesaat sebelum jatuh pingsan, si Bungsu melihat betapa perut Datuk itu robek mengalirkan darah perlahan ke bawah. Mereka bertatapan.

Mulut Datuk itu bergerak. Tapi satu suara pun tak keluar. Namun, meskipun tak ada suara, si Bungsu seperti dapat menangkap apa yang akan diucapkan Datuk itu,

"Jaga dirimu baik-baik. Tetap bertahanlah untuk hidup, Jangan menyerah pada penjajah. Tuhan bersamamu, nak."

Sepertinya kalimat itulah yang akan diucapkan Datuk Penghulu. Mulutnya tak bersuara. Tapi si Bungsu dapat membaca kalimat itu lewat ekspresi wajahnya. Lewat matanya yang berangsur jadi redup.

"Pak. . ." suara si Bungsu bergetar perlahan.

Namun setelah itu dia sendiri jatuh pingsan. Hantaman jari-jari tangan mayor itu amat menderanya. Luka di dadanya robek. Penderitaan itu tak mampu dia tahankan, dia jatuh pingsan. Dan itulah saat terakhir dia melihat Datuk Penghulu. Sebab orang tua perkasa itu mati menyusul anak dan istrinya. Tatkala dia menendang Mayor itu, samurai si mayor sudah tercabut separoh. Ketika tendangannya mendarat di rusuk si mayor Jepang itu membabatkan samurainya. Mayor itu adalah samurai yang tangguh. Pangkatnya yang Syo Sha itu saja sudah menjamin bahwa dia adalah seorang samurai yang tak bisa dikatakan tak cepat. Setiap perwira Jepang tidak hanya wajib mahir dalam mempergunakan samurai. Lebih dari itu, samurai merupakan suatu seni bela diri turun-temurun. Yang mendarah daging, yang merupakan kebanggaan tradisi bagi lelaki Jepang untuk mempelajarinya Makin mahir lelaki Jepang dengan samurainya, makin tinggi penghormatan orang padanya.

Nah, saat akan rubuh itulah dia sempat membabat perut Datuk Penghulu Dan babatannya sebagai seorang samurai andalan, berhasil membelah perut Datuk Penghulu serta memutus ususnya. Datuk itu masih bisa bertahan tetap tegak semata-mata karena ketangguhan dan kekerasan hatinya saja. saat si Bungsu jatuh pingsan, mata Datuk itu terpejam. Di sudut matanya kelihatan manik-manik air merembes perlahan. Lalu kepalanya terkulai bersama tubuhnya.

Tergeletak mencium bumi. Nyawanya dijemput Yang Khalik sebelum tubuhnya sempurna terguling di bumi. Semua tentara Jepang yang tegak mengelilingi orang tua itu pada tertegun.

Diam-diam mereka mengagumi keperkasaan lelaki yang tersungkur di hadapan mereka ini. Dihadapan mereka sekarang tergeletak dua manusia yang barangkali tak terpaut jauh beda usianya. Yang satu adalah komandan mereka yang berpangkat mayor itu. Yang satu lagi adalah Datuk Penghulu. Lelaki pribumi yang tercatat sebagai musuh balatentara Jepang.

Yang satu mati karena melawan fasisme yang menjajah negaranya. Yang satu lagi tergolek hampir mampus karena mempertahankan kekuasaan negerinya untuk menjajah negeri lain. Keduanya sama-sama pejuang buat negeri masing-masing. Keduanya sama-sama mengabdikan dirinya buat bangsa mereka pada posisi yang saling berhadapan.

Si Bungsu tak tahu beberapa lama sudah dia jatuh pingsan. Namun ketika dia sadar yang pertama dia rasakan adalah rasa sakit yang amat menyiksa di bahunya. Demikian sakitnya, sehingga tubuhnya terasa menggigil. Panas dan berpeluh. Demam dengan panas yang amat tinggi masih menyerang dirinya. Dia tak kuasa menggerakkan tubuh. Bahkan menggerakkan jari-jarinya saja dia tak kuat. Satu-satunya yang mampu dia perbuat kini hanyalah membuka kelopak matanya. Terasa berat. Tapi dia paksakan juga. Penglihatannya berputar. Merah, hitam, kuning, hijau. Warna-warni tak menentu bermain dan berpusing di hadapannya. Dia pejamkan matanya kembali. Dengan pendengarannya yang amat terlatih dia mencoba menangkap suara. Tapi tak terdengar apapun, kini lambat-lambat kembali dia buka matanya. Dan menarik nafas. Menatap ruangan di mana dia kini berada.

"Pak Datuk …." Himbaunya tatkala melihat sesosok tubuh terikat empat depa di depannya.

Tak ada jawaban.

"Pak Datuk . . ." Himbaunya lagi dengan suara pecah.

Lambat-lambat sosok tubuh itu mengangkat kepala. Bukan, dia bukan Datuk Penghulu. Si Bungsu segera mengenalinya sebagai salah satu seorang pimpinan rapat di Birugo dahulu. Dia memang tidak mengenal siapa namanya, tapi dia kenal betul lelaki itu. Saat dalam rapat itu dahulu lelaki ini hanya berdiam diri.

"Datuk Penghulu telah meninggal, Bungsu …." ujar lelaki itu mulai bicara.

"Meninggal …..?" Ujar si Bungsu. Tapi suaranya hilang di tenggorokan.

"Ya, dia meninggal ketika mula pertama kalian ditangkap di Kota Baru. . . ."

"Meninggal? Datuk Penghulu meninggal?" Bungsu masih berkata sendiri. Sepertinya tak percaya dia akan apa yang dia dengar.

"Mustahil, mustahil Datuk Penghulu meninggaL Bukankah dia melihat lelaki itu tegak dengan perkasanya setelah menghantam Syo Sha itu dengan sebuah tendangan?"

"Tak ada yang mustahil bagi takdir Tuhan anak muda. Datuk Penghulu memang telah meninggal. Banyak jasanya bagi persiapan perjuangan yang akan datang. Tapi selain teman-teman dekat, tak ada orang lain yang mengenali perjuangannya. Orang hanya mengenal dia sebagai kusir bendi. Tak lebih. Dan kami, telah kehilangan seorang pejuang, seorang teman, seorang mata-mata yang tangguh. Seorang guru silat yang berilmu tinggi. Hanya ada seorang muridnya yang menerima warisan ilmunya. Seorang gadis cina bernama Mei-mei. Tapi saya dengar gadis itu sudah meninggal pula beberapa waktu yang lalu. Kini, ilmunya itu dia bawa mati. . . ."

Lelaki itu terdiam. Si Bungsu menatapnya. Nampaknya lelaki ini cukup banyak mengetahui tentang Datuk Penghulu. Meski ada juga yang tak dia ketahui, misalnya tentang diri Mei-mei yang sebenarnya adalah tunangannya.

"Saya melihat Bapak dalam rapat di Birugo dahulu. Siapakah bapak?"

"Nama saya Kari Basa . . ." Ucapan lelaki itu terhenti tatkala pintu terdengar berderit.

"Nah, sejak saat ini, kita saling tak mengenal."

Lelaki itu masih sempat berkata perlahan sebelum pintu diujung terbuka. Dan kepala laki-laki itu terkulai lagi, pura-pura pingsan. Si Bungsu buat pertama kalinya menyadari, bahwa dirinya terikat kuat. Tangannya digantung ke atas. Kakinya diikat ke lantai. Buat pertama kalinya pula dia menyadari, dia kini berada di dalam sebuah gua.

Dalam gua. Tadi dia tak menyadari hal itu karena terpukau akan berita kematian Datuk Penghulu. Dan kini dalam gua itu telah tegak tiga orang Kempetai. Gua itu diterangi oleh lampu listrik. Si Bungsu bisa menebak. bahwa dia berada di salah satu terowongan yang digali Jepang di bawah kota Bukittinggi.

Dia sudah banyak mendengar cerita tentang gua di kota itu. cerita dari bisik ke bisik. Sebab tak ada cerita yang pasti tentang penggalian terowongan itu. Para lelaki yang menggali adalah romusha yang diambil dari Tentara Sekutu yang ditawan setelah dilucuti, ditambah dengan ribuan lelaki bangsa Indonesia dari segala penjuru tanah air. Termasuk di dalamnya puluhan laki-laki dari kota Bukittinggi dan daerah-daerah lainnya di Minangkabau. Namun tak seorang pun di antara romusha itu yang sempat berada di luar terowongan, setiap romusha yang masuk terowongan itu tak pernah diketahui ada yang keluar. Tak pernah. Mereka dimasukkan ke terowongan itu di malam buta. Tapi tak seorang pun yang melihat mereka keluar hidup ataupun mati Si Bungsu telah mendengar cerita itu semua.

Semuanya. Termasuk cerita yang mengatakan bahwa gua itu dibuat Jepang untuk melawan ekspansi balatentara Sekutu yang akan menuntut balas atas kekalahan mereka di Pilipina dan di Samudera pasifik, Di Pearl Harbour, di daratan cina, di Malaysia, dan di Indonesia.

Kini ketiga Kempetai itu melangkah masuk ke ruangan dimana mereka tertahan.

"Hmmm, kamu orang sudah sadar he Bungsu ?"

Seorang dari mereka yang berpangkat Syo-I (Letda) bersuara. si Bungsu menatapnya dengan diam. Syo-I menyeringai menatapnya. Kemudian mereka berbicara dalam bahasa mereka sesamanya. Lalu menatap kepada Kari Basa yang masih terikat. Yang berpangkat prajurit segera mengambil air dari sebuah tong besar yang terletak di sudut ruangan. Tempat dia ditahan nampaknya merupakan sebuah kamar penyiksaan. Sebab beberapa alat pemukul, bedil, samurai dan alat-alat penyiksa bergantungan di sebuah kayu yang dipakukan ke dinding.

Air itu disiramkan ke muka Kari Basa. Kari Basa tetap saja pura-pura pingsan. Yang seorang lagi, yang berpangkat Kopral, tiba-tiba dengan sebuah pekik panjang melambung. Lalu kakinya mendarat diperut Kari Basa. Itu adalah sebuah serangan karate bernama Mae Tubigeri. Sebuah tendangan yang dihunjamkan melompat, dan amat tangguh. Kari Basa segera saja melenguh dan muntah. Ketiga Kempetai itu menyengir. Lambat-lambat, wajah si Bungsu menegang melihat penyiksaan tersebut.

"Nah, Kari, atau siapapun namamu. Sebelum pagi datang, kau harus sudah mengatakan dimana saja markas kalian. Kemudian siapa-siapa saja yang melibatkan diri dalam gerakan melawan Balatentara Teno Haika. Baik dari kalangan penduduk maupun dari kalangan Gyugun. Jangan kalian kira bahwa kami tak tahu, bahwa di antara Gyugun ada yang terlibat. Hehe. Beberapa orang diantara mereka telah kami tangkap. Kini kami inginkan kepastian. Nah, katakanlah. . . Bicaralah. Lebih baik bicara sebelum disakiti, daripada terlanjur disakiti dan akhirnya bicara juga. . ."

Syo-i itu bicara perlahan dari atas kursi kayu tua yang dia pergunakan sebagai tempat duduk. Namun Kari Basa tak membuka mata sedikit pun. Syo-i itu memberi isyarat kepada si kopral yang tadi melancarkan tendangan Mae Tubigeri. Kopral bertubuh bulat ini nyengir. Sambil memandang dengan tatapan licik pada si Bungsu, dia melangkah ke dinding.

Mengambil sebuah kayu sebesar lengan orang dewasa dan panjangnya dua depa. Dia tegak sedepa dari Kari Basa. Kemudian dengan sebuah ayunan kuat sekali, kayu itu dihantamkan keperut Kari Basa. Tubuh Kari Basa seperti akan terlipat dua. Tapi ikatan pada tangan dan kakinya membuat tubuhnya terguncang kuat. Dan sekali lagi . . . Kari Basa melenguh. Ludahnya berbuih di mulut. Seluruh bulu tengkuk si Bungsu merinding melihat hal ini.