Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 33 - Tak Saling Kenal ?

Chapter 33 - Tak Saling Kenal ?

Nah, itulah kini fungsi tubuh si Bungsu. Kopral itu beberapa kali melambung yang diakhiri dengan mendaratnya tendangannya di perut dan didada si Bungsu. Letnan itu mempergunakan buku tangannya untuk menghajar wajah anak muda tersebut. Si Bungsu berusaha untuk tak memekik. Kendati terpaksa mengeluh beberapa kali saking amat sakitnya. Kemudian muntah. Isi perutnya keluar bersama darah kental. Tubuhnya kemudian diguyur dengan air. Ketika sadar, dia lihat Letnan itu sudah memegang samurai.

"He .. he kau kabarnya mahir dengan samurai. Kini kau lihat pula permainan samuraiku".

Sehabis ucapannya, samurai itu berkelebat cepat. Si Bungsu menggigit bibir agar tak memekik kesakitan. Pakaiannya segera saja cabik-cabik disambar ujung samurai si letnan. Dan bersamaan dengan itu, dadanya. Wajahnya, perutnya robek-robek. Darah mengalir dengan deras dari bekas lukanya.

"Siram..!" perintah si Letnan.

Kopral yang sama-sama sadisnya dengan si letnan itu mengambil air bekas pengacau semen. Kemudian menyiramkannya pada tubuh si Bungsu yang penuh luka itu. Ya, Tuhan, benar-benar Tuhan saja yang mengetahui betapa menderitanya anak muda tersebut.

Bayangkan, tubuh yang penuh luka di siram dengan air pengacau semen Pedih dan sakit sekali. Sakitnya mencucuk-cucuk ke hulu jantung yang paling dalam. Menyelusup ke seluruh pembuluh darah. Ke seluruh sumsum. Namun siksaan itu berlanjut terus, menyebabkan si Bungsu harus menggigit bibir sampai berdarah. Dia tak ingin menjerit. Tak ingin. Ada dua hal yang dia jaga. Pertama dia tak mau Kari Basa sampai terbangun dari pingsannya mendengar jeritannya. Dia ingin memberi istirahat pada orang tua yang dia hormati itu. Dan sebab kedua kenapa dia tak mau menjerit adalah karena malu pada Kari Basa. Kalau orang tua itu sendiri tak menyerah, kenapa dia harus menunjukkan kelemahannya dengan menjerit? Meskipun dengan siksa yang dia terima sebenarnya dia ingin menjerit setinggi langit, namun dia paksa untuk menahannya. Padahal setiap orang tahu, jika kesakitan, maka tangis pekik merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi sakit dan derita yang ditanggung. Rasa sakit dan derita itu berkurang bukan dari segi fisiknya. Melainkan dari segi psikologisnya. Rasa sakit tetap sama. Menjerit atau tak menjerit. Tetapi secara ilmu kejiwaan, menjerit atau menangis bagi seorang penderita merupakan penyaluran. Dan sebuah penyaluran merupakan pengurangan bagi penderitaan. Itu teorinya.

Tetapi si Bungsu tak mau memakai teori ini. Baginya lebih baik dan lebih terhormat untuk tetap diam. Meskipun bibirnya berdarah dia gigit dalam usahanya menahan sakit yang tak tertanggungkan itu.

Selesai upacara penyayatan dengan samurai itu, maka letnan tersebut istirahat sejenak. Namun itu bukan berarti istirahat pula bagi penderitaan si Bungsu. Sebab begitu si Letnan duduk. si prajurit tegak. Dengan tang di tangan, dia maju melangkah mendekati si Bungsu.

"Katakan siapa-siapa yang ikut dalam gerakkan kalian Siapa pula diantara Gyugun yang terlibat . .?" Ujar si Letnan dari tempat duduknya.

Si Bungsu tetap diam. Dia tengah membayangkan kesakitan yang akan dia derita. Dia tahu, tang ditangan prajurit sadis itu akan dipakai untuk mencabut kuku-kukunya seperti yang telah dilakukan pada Kari Basa. Karena dia diam, Letnan itu memberi isyarat.

Si Prajurit meraih sebuah tong. Meletakkan disisi kiri si Bungsu. Kemudian dia naik ke atas. Sebelum si Bungsu sadar apa yang akan terjadi Jepang itu menjepit telunjuk si Bungsu dengan tangnya. Letnan itu mengangguk. Dan si Bungsu kali ini tak bisa menahan pekik kesakitannya. Tak bisa! Betapa dia akan mampu menahan rasa sakit, kalau tulang telunjuknya itu dipatahkan dengan jepitan tang?

" Mengakulah . .!"

si Bungsu hanya mengerang kecil. Dan kali ini jari tengahnya dapat giliran dipatahkan. Dan kembali dia memekik.

"Mengakulah . .!"

Si Bungsu hanya mengeluh dan mengerang. Air matanya membasahi pipinya. Dan jari manisnya mendapat giliran. Dia kembali memekik. Pada pekik yang ketiga ini. Kari Basa mengangkat kepala. Dan dia melihat betapa tubuh anak muda itu berlumur darah. Pakaian dan sebahagian dagingnya robek-robek. Persis kerbau yang selesai dikerjakan di rumah jagal.

"Mengakulah..!"

Si Bungsu tetap bungkam. Dan kembali kelingkingnya dipatahkan. si Bungsu memekik. Namun dia tetap diam, tak mau membuka rahasia.

"Tahan . ." tiba-tiba ada suara. Dan yang bersuara tak lain daripada Kari Basa. Letnan itu menoleh padanya.

"Kau mau mengaku?"

"Baik saya mengaku, tapi lepaskan anak muda itu. Dia tak bersalah . . ."

"Ooo. Kau kenal padanya ya … ?"

"Justru karena saya tak kenallah makanya dia harus dibebaskan. Dia tak ada sangkut pautnya dengan perjuangan kami. Kami tak mengenalnya." Si Bungsu menatap Kari Basa.

Apakah ini semacam penyingkirannya dari kalangan pejuang-pejuang ini? Apakah Kari Basa berkata begitu karena si Bungsu juga pernah berkata begitu ketika rapat di Birugo dahulu?

Ketika pertanyaan begitu berkecamuk dalam fikiran si Bungsu, Kari Basa sekilas menatap padanya. Dan dari cahaya mata lelaki tua itu, dia dapat menangkap. Bahwa Kari Basa hanya membuat siasat.

Namun kelegaan hatinya segera lenyap ketika letnan itu berkata :

"He..he tak ada sangkut paut kalian? Kalian saling tak mengenal? He. .he Bukankah kalian sama-sama hadir ketika rapat di Birugo dahulu? Bukankah kau punya hubungan dengan Datuk Penghulu? Nah, dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa kalian punya hubungan. Jangan kami pula hendak kalian bohongi." Dan kali ini penyiksaan dilakukan berbarengan.

Si prajurit mengerjakan tubuh si Bungsu, si sersan mengerjakan Kari Basa. Kedua serdadu sadis ini lihai dalam pekerjaannya. Meskipun korbannya sudah remuk redam, sudah cabik-cabik tapi mereka jaga agar si korban tak segera mati. Mereka amat ahli dalam hal ini. Bagaimana menyiksa tawanan sampai separoh mampus, bahkan terkadang sampai tiga perempat mampus, tapi tetap saja tak sampai mampus. Dan itulah penderitaan yang ditanggung oleh kedua orang itu.

Si Bungsu sudah hampir mampus ketika dia dengar suara letusan. Letusan sekali. Dua kali. Tiga kali! Dia merasa dirinya amat luluh. Dirinyakah yang kena tembak? Kari Basa kah? Dia tak merasakan sakit karena seluruh tubuhnya adalah sakit itu sendiri. Dia tak merasa menderita karena tembakan itu karena dirinya adalah puncak dari penderitaan itu sendiri.Dan diapun terkulai. Sampai disini ajalku….. bisiknya. Dan dia juga yakin, bahwa bersama ajalnya, orang tua yang bernama Kari Basa itupun tamat pulalah riwayat hidupnya.

Namun tak demikian terjadi.

Teman-teman Datuk Penghulu dan Kari Basa mengetahui penangkapan terhadap kedua orang itu. Perintah langsung dari Engku Syafei menyuruh membebaskan mereka. Sebuah "pasukan khusus" yang beruniform beranggotakan sebelas orang segera diberangkatkan. Mereka mempergunakan beberapa bedil dan pistol yang selama ini secara diam-diam dicuri atau dibeli dengan sangat rahasia. Bahkan ada beberapa bedil peninggalan Belanda.

Tugas untuk mengetahui dimana kedua orang ini ditahan dierahkan pada Tai-I (Kapten) Dakhlan Djambek. Namun untuk menemui Kapten ini bukan main sulitnya. Jepang memang telah mencium adanya gerakan pribumi yang akan menentang penjajahan. Karena itu setiap Anggota Gyugun, mulai dari prajurit sampai para perwira diawasi dengan ketat. Hanya dengan sangat susah payahlah Tai-I Dakhlan Djambek bisa berhubungan dengan teman-temannya. Namun setelah dua hari berusaha, Dakhlan Djambek masih belum berhasil mengetahui dimana kedua orang itu ditawan. Para pimpinan tentara Jepang nampaknya memang telah waspada sejak semula pertama menjejakkan kakinya di Indonesia. Mereka sudah menduga bahwa lambat laun perlawanan dari penduduk-penduduk setempat kepada para penjajah pastilah akan timbul. Karena itu para Gyugun yang berasal dari pemuda-pemudi Indonesia tak pernah ditugaskan di proyek-proyek militer yang vital. Dan di Bukittinggi mereka tak pernah ditugaskan di bawah kota yang sedang digali itu.

Yang bertugas mengawasi pekerjaan atau mengawasi pemasukan amunisi hanyalah balatentara Jepang asli. Karena itu Dakhlan Djambek dan kawan-kawannya para Gyugun yang lain tak pernah mengetahui secara mendetail tentang situasi terowongan itu.

Dia berusaha keras untuk mengetahui ruangan-ruangannya, tapi akhirnya dia menyerah. Tak mungkin untuk mengetahui secara terperinci, apalagi dengan pengawasan yang ketat dari Kempetai terhadap Gyugun. Pada hari kedua, yaitu pada batas waktu yang diberikan, Kapten ini memberikan laporan akhir tentang penyelidikannya.

Isi laporan itu: "Tak mungkin untuk menyelediki terowongan itu dengan cara intelijen. Tapi saya yakin, kedua mereka ditawan dalam salah satu kamar di dalam terowongan tersebut. Sebab beberapa tawanan sekutu juga dibawa kesana. Untuk mengetahui dimana mereka ditahan, satu-satunya jalan adalah menangkap dan memaksa salah seorang Kempetai yang pernah membawa tawanan kesana. Saya akan mengatur jebakan. Sediakan orang yang akan menanyainya."

Dan surat yang disampaikan melalui kurir beranting itu akhirnya dilaksanakan. Seorang sersan Kempetai dengan cara yang sangat halus berhasil dijebak di Kampung Cina ketika sedang minum-minum sake dan memeluk seorang perempuan. Perempuan itu dia bawa ke hotel. Di tangga hotel yang teram-temaram keduanya dipukul hingga pingsan. Si perempuan yang berkulit hitam manis dibiarkan tergolek di sana. Si sersan dibawa dengan sebuah truk ke sebuah tempat.

Dari mulut sersan inilah diketahui detail kamar tawanan tersebut. Semula si sersan tak mau mengaku, tapi ketika sebuah jari tangannya dipatahkan meniru kekejaman Kempetai, sersan itu menyerah. Lalu membuka rahasia kamar tawanan itu.

Dan ketika pengakuannya selesai, dia terkejut takkala melihat seorang perwira Gyugun masuk rumah itu. Dia segera tegak dan memberi hormat dengan sikap sempurna. Dia jadi gembira, karena denga kehadiran perwiranya itu berarti kebebasan baginya dari tangkapan ekstrimis ini.

Namun dia segara terkejut takkala melihat perwira itu menatapnya. Orang yang mematahkan jarinya itu mengambil sebilah samurai. Memberikan kepada sersan itu. Sersan itu terheran-heran. Rasa herannya berobah jadi rasa terkejut ketika perwira Gyugun itu berkata dengan nada memerintah:

"Harakiri….!"

Sersan Kempetai itu melongo.

"Harakiri..!!" lagi-lagi perintah perwira itu bergema.

Dan kini sama-sama jadi jelas soalnya oleh si sersan. Dia diperintahkan harakiri (bunuh diri) pastilah salah satu sari dua sebab. Pertama karena dia telah membocorkan rahasia militer. Kedua karena perwiranya ini berada dipihak orang yang menangkap dan mematahkan jari tangannya. Dan dia menduga, bahwa sebab kedualah yang paling besar kemungkinannya.

"Tai-i.....?" katanya lagi.

"Saya orang Indonesia. Jepang sudah terlalu banyak membunuh bangsa saya. Kini kau harakiri atau gunakan samurai itu untuk melawan…membebaskan diri….,"

Perintah Tai-I yang tak lain daripada Dakhlan Djambek itu membuat tubuh si sersan menggigil. Dia sudah tentu memilih yang kedua. Yaitu mempergunakan samurai itu untuk melawan. Sebab baginya tak ada harapan untuk hidup. Demikian putusan Dakhlan Djambek. Kalau Jepang ini tak dibunuh, maka rahasia penangkapannya akan bocor. Dan kebocoran itu membahayakan perjuangan.

Sersan itu menebaskan samurainya. Orang pertama yang dia serang dengan samurainya adalah orang yang paling dekat dengannya. Orang itu adalah Tai-I Dakhlan Djambek. Tebasan samurainya amat cepat mengarah pada leher Kapten itu. Namun Dakhlan Djambek adalah seorang perwira yang dididik dengan kekerasan disiplin militer Jepang. Karena dia perwira, maka kepadanya juga diajarkan cara menggunakan samurai. Dan kemana-mana, perwira Jepang umumnya membawa samurai. Demikian juga dengan Kapten ini.

Begitu sabetan samurai si sersan terayun, sesuai dengan latihan dasar yang diterima, dia mundur dengan cepat dua langkah ke belakang. Kemudian ketika serangan berikutnya datang, dia menggeser tegak dua langkah. Dan si sersan lewat disampingnya. Dengan cepat sersan itu memutar tegak dan kembali mengayunkan samurainya. Namun saat itu pula samurai di pinggang Tai-I Dakhlan Djambek keluar dari sarungnya. Putaran tubuh si sersan di silang oleh tebasan samurai Dakhlan Djambek. Bahu kanan sersan itu hampir putus. Sabetan kedua membuat kepalanya hampir putus. Dia jatuh. Tapi kematian datang sebelum tubuhnya mencapai lantai rumah. Perlahan-lahan Kapten itu memasukkan samurainya kesarangnya setelah melapnya ke baju sersan yang rubuh itu

"Kuburkan dia malam ini. Dan malam ini juga kedua kawan-kawan itu harus dibebaskan. Mulai hari ini kontak antara teman-teman dengan kami para Gyugun harus diputuskan buat sementara waktu. Situasi tambah panas. Kabarnya di Jakarta telah terjadi sesuatu. Saya yakin saatnya untuk kemerdekaan sudah dekat. Karena itu, tunggu perkembangan selanjutnya. Salam saya untuk para pimpinan yang lain. Juga buat kedua teman-teman yang ditawan itu…." Dan kapten ini lenyap ke dalam gelapnya malam.