Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 34 - Penyelamatan

Chapter 34 - Penyelamatan

Kejadian pembunuhan terhadap sersan Kempetai itu tepatnya berlangsung pada tanggal 5

Agustus 1945. Dua belas hari setelah itu, Kemerdekaan Indonesia di proklamirkan di Jakarta.

Kembali pada saat-saat letusan bergema dalam gua sesaat sebelum si Bungsu jatuh pingsan. Letusan itu ternyata bukan ditujukan pada dirinya atau pada diri Kari Basa. Letusan itu adalah letusan bedil dan pistol "pasukan khusus" yang membebaskannya.

Pejuang-pejuang bawah tanah itu berhasil bergerak cepat dan menemukan tempatnya sebelum terlambat sangat. Letusan pertama adalah letusan yang ditujukan ke kepala penjaga di luar pintu kamar tahanan.

Begitu penjaga itu mati, pintu diterjang. Dan letusan-letusan berikutnya ditujukan pada si Letnan, si sersan dan prajurit yang ada dalam ruangan itu. Ketiga Kempetai sadis ini mati saat itu juga. Mereka tak sedikitpun menyangka akan ada perlawanan begitu dahsyat. Ketiga mereka mati dengan kepala rengkah kena tembak.

Dan enam orang "pasukan khusus" yang masuk keruangan itu pada mengucap istigfar takkala melihat keadaan tubuh kedua teman mereka yang tergantung itu. Yang tergantung itu bukan lagi tubuh manusia. Tapi lebih tepat untuk dikatakan sebagai manusia yang telah dijagal.

Namun harapan kembali timbul ketika mereka melihat bahwa kedua orang itu masih bernafas. Dengan gerakkan cepat, kedua mereka dilepaskan dari belenggunya. Kunci belenggu berada dalam kantong si letnan.

Dan tengah malam itu juga, kedua mereka dibawa ke rumah orang yang telah menyiapkan penampungan dan pengobatan. Pengobatan disediakan sesuai dengan pesan Kapten Dakhlan Djambek. Bahwa setiap tawanan Jepang yang dibawa ke terowongan di bawah kota itu, bila sempat keluar hanya akan mengalami dua hal. Pertama mati. Dan kedua tubuh mereka lumat. Maka yang kedua hampir-hampir menemui kenyataan. Makanya obat-obatan telah disediakan. Kedua mereka dirawat di rumah yang berlainan.

Setelah tubuh kedua orang itu sampai di rumah yang dimaksud, pasukan khusus itu lenyap. Dan jejaknya tak pernah tercium sedikitpun!.

Pihak militer Jepang bukan main kagetnya atas serbuan dan penculikan tersebut. Mereka memeriksa setiap rumah penduduk untuk mencari jejak para penculik dan kedua tawanan itu.

Ada delapan orang yang jadi korban dipihak mereka dalam peristiwa itu. Yang pertama sersan pengawas bahagian peta penggalian terowongan. Sersan ini yang mati di tebas Tai-I Dakhlan Djambek tak pernah ditemukan mayatnya. Tiga orang lagi adalah penyiksa sadis yang mati dalam kamar tahanan. Yang satu mati di pintu bahagian luar kamar tahanan tersebut. Sedangkan tiga orang lainnya mati di sepanjang terowongan menuju ke kamar tahanan.

Pihak Jepang segera dapat menduga, bahwa kamar tahanan itu diketahui melalui mulut si sersan pengawas bahagian peta penggalian terowongan. Mereka menyangka bahwa seluruh jaringan dan penyimpanan amunisi vital dalam terowongan itu telah diketahui oleh pejuang-pejuang pribumi. Makanya mereka memasang perangkap untuk menjebak kalau-kalau pejuang-pejuang itu muncul lagi.

Namun pejuang-pejuang itu tak pernah mengorek keterangan tentang hal-hal lain mengenai terowongan tersebut. Tugas mereka hanya mengetahui dimana si Bungsu dan Kari Basa ditahan. Kemudian membebaskan kedua orang itu. Dari segi ini, para pejuang itu memang alpa. Kalau saja mereka bisa sedikit sabar dalam menghadapi si sersan, kemudian merencanakan masak-masak akan banyak sekali rahasia tentang terowongan itu yang akan terungkapkan.

Itulah sebabnya kenapa sampai puluhan tahun kelak, yaitu sampai turunan demi turunan, terowongan di bawah kota itu tetap saja merupakan suatu misteri yang tak kunjung terungkapkan. Tak seorangpun di kota itu yang tahu dengan pasti, berapa panjang terowongan di bawah kota mereka.

Misteri itu tetap tak terungkapkan, karena selama puluhan tahun tak ada yang berminat untuk menyelidikinya. Baik menyelidiki dengan mencari peta rencana pembuatan terowongan tersebut. Peta itu pasti ada pada pihak militer Jepang.

Akibat dari peristiwa itu, pihak Kempetai makin curiga pada anggota Gyugun. Namun mereka tak pernah mendapatkan bukti akan keterlibatan para Gyugun itu. Seluruh anggota Gyugun yang ada di Bukittinggi diinterogasi. Dimana dan kemana mereka dimalam lenyapnya si Sersan yang memegang rahasia terowongan itu. Semua anggota Gyugun mempunyai alibi. Punya bukti-bukti bahwa mereka berada disuatu tempat, dimana banyak orang jadi saksi.

Tai-I Dakhlan Djambek sendiri yang ikut diinterogasi pihak Kempetai, mempunyai alibi (alasan) yang kuat. Bahwa dia tak ikut dalam gerakan itu.

Malam itu dia justru bertugas disalah satu markas Kempetai bersama enam orang tentara Jepang asli lainnya. Dan keenam tentara Jepang yang sama-sama bertugas malam itu dengannya menerangkan bahwa Tai-I itu tak pernah meninggalkan markas malam itu. Lalu bagaimana Dakhlan Djambek sampai bisa hadir dan justru membunuh sersan itu dihadapan para pejuang malam itu? Ceritanya sangat sederhana. Peristiwa dia membunuh sersan itu dengan samurai hanya berjarak sejangkau tangan dari markas Kempetai itu. Tepatnya, rumah tempat si sersan dibunuh terletak persis di belakang markas Kempetai itu. Dan antara markas dengan rumah itu hanya dibatasi dengan sebuah pagar batu setinggi pinggang.

Rumah itu sebuah rumah batu yang sudah lam ditinggal penghuninya. Pemiliknya merantau ke Jawa. Tapi kuncinya ada pada seorang adiknya di Mandiangin. Nah rumah inilah yang dipilih Dakhlan Djambek untuk menanyai sersan. Keputusan itu memang berbahaya. Tapi tak ada jalan lain, justru jalan itu pula yang paling aman. Kempetai pasti takkan pernah mencurigai kalau rumah di belakang markas mereka itu justru dipergunakan oleh pihak pejuang. Disamping tak mencurigai, Dakhlan Djambek bisa hadir disana tanpa menimbulkan kecurigaan.

Tinggal kini waktu diperhitungan dengan cermat. Harus pas waktunya antara dibekuknya si sersan di hotel dengan tibanya di di rumah tersebut. Setelah si sersan dibekuk lalu dibawa ke rumah itu dengan truk. Dakhlan Djambek yang tegak di depan melihat mereka lewat. Dia masih tegak di depan beberapa saat. Lalu masuk ke markas. Memerintahkan pada tiga orang Gyugun asal Indonesia untuk mengadakan patroli sekeliling markas. Ketiga Gyugun itu keluar setelah memberi hormat. Kemudian Dakhlan Djambek duduk di depan Komandan Piket malam itu. Yaitu seorang Jepang berpangkat Mayor. Tiba-tiba dia bangkit.

"Sakit perut…." Katanya menyeringai.

"Ha…banyak makan duren sore tadi. Bisa mencret Tai-i…" Si Mayor berkata sambil tertawa.

Dakhlan Djambek juga ikut tertawa. Empat orang Kempetai yang ada dalam ruangan itu juga tertawa. Sebab mereka giliran piket setiap 24 jam. Dan mereka telah mulai piket sejak tadi pagi. Dan sore tadi ada yang mentraktir makan durian. Mereka membeli durian lima belas buah. Lalu mereka makan bersama di kantin disebelah kantor.

Dakhlan Djambek dengan memegang perut lalu berlari ke belakang. Menutup pintu kakus. Menguncinya. Dan kakus ini juga sudah dia perhitungkan. Kakus ini mempunyai jendela besar di belakangnya. Sekali hayun dia sudah membuka jendela. Kemudian terjun ke belakang. Berlari empat langkah, tiba di pagar. Meloncati pagar itu. Duduk dibaliknya. Dia bersiul menirukan bunyi burung malam. Terdengar sahutan. Dia bergegas tegak dan melangkah memasuki rumah itu dari belakang.

Tiga orang Gyugun yang tadi dia perintahkan untuk patroli menantinya di pintu. Dan mereka masuk. Kisah bagaimana si sersan mati, sudah diuraikan terdahulu. Dakhlan Djambek memberi kesempatan kepada sersan itu untuk membela diri. Sebenarnya dia bisa saja membunuih sersan itu tanpa perlawanan. Tapi sebagai seorang pejuang, seperti umumnya pejuang-pejuang Indonesia, dia tak mau membunuh lawan yang tak berdaya. Apalagi dia seorang perwira. Makanya dia memberi kesempatan kepada sersan itu untuk membela diri. Sebenarnya bisa saja keadaan berbalik jadi berbahaya. Yaitu kalau si sersan justru yang menang dalam perkelahian itu. Mungkin si sersan bisa juga dibunuh oleh pejuang-pejuang yang ada dalam ruangan itu. Namun kalau sudah jatuh korban, apalagi korban itu seorang Dakhlan Djambek, perwira Gyugun yang diandalkan untuk memimpin anggotanya kelak dalam revolusi, bukankah akan sia-sia jadinya?

Namun Dakhlan Djambek tetap pada sikap satrianya. Disamping juga dia punya keyakinan pada dirinya, dan terutama pada Tuhannya. Setelah sersan itu mati, jejak perkelahian di ruangan belakang rumah itu dilenyapkan. Dan Dakhlan Djambek kembali melompati jendela kakus. Kemudian pura-pura batuk dalam kakus. Pura-pura menyiramkan air. Lalu keluar dari kakus setelah yakin jejaknya tak ada di dinding. Dengan pura-pura melekatkan celana dan merapikan baju, dia membuka pintu. Masuk kembali keruangan dimana si Mayor tengah mendengarkan siaran radio yang dipancarkan oleh Markas Besar tentara Jepang. Dengan menarik nafas lega, dia duduk. Seperti orang yang baru saja lepas dari siksaan.

"Hmmm, keluar semua?" Mayor itu bertanya sambil tersenyum.

"Tidak. Ususku masih tinggal di dalam...….'" Jawab Dakhlan Djambek. Mayor itu dan keempat Kempetai tertawa terkekeh. Waktu yang terpakai baginya untuk "buang air" itu tidak lebih dari sepuluh menit. Benar-benar perhitungan seorang militer yang teliti. Dan ketika interogasi, seluruh prajurit dan sang Mayor yang piket malam itu jadi saksi, bahwa dia tidak pernah keluar sesaatpun pada malam lenyapnya si sersan. Dan Kempetai tak pula pernah menyelidiki rumah kosong yang telah lama tak dihuni yang terletak persis dibelakang markas mereka.

Kekhilafan-kekhilafan kecil begini biasanya memang terjadi satu dalam seribu peristiwa penting dipihak kemiliteran. Dan kekhilafan kecil itulah yang menyelamatkan Dakhlan Djambek serta para Gyugun yang tugas di Bukittinggi malam itu dari pembantaian Kempetai.

-000-

Si Bungsu membuka mata. Silau sekali. Tapi selain silau yang amat sangat, yang paling dia rasakan adalah lapar yang menusuk-nusuk perut. Lapar sekali. Dia Kembali membuka mata. Sedikit demi sedikit. Dari balik bulu-bulu matanya dia mencoba melihat dan membiasakan dengan sinar terang.

Dia tak tahu dimana dia. Tak tahu apa yang terjadi. Rasanya kini dia tengah berbaring. Tapi dimana? Berbaring? Kenapa bisa berbaring? Dia coba merekat kembali sisa-sisa ingatannya. Yaitu tentang situasi terakhir yang pernah dia alami.

Terowongan

Rantai di kaki

Rantai di tangan

Rantai yang dicorkan dengan semen

Dicor ke lantai

Dicor ke langit-langit terowongan

Penyiksaan!

Ah, bukankah dia disiksa oleh tiga orang serdadu Jepang yang sadisnya melebihi hewan?

Kari Basa!

Tiba-tiba dia ingat pada orang tua itu. Bukankah orang tua itu terbelenggu pula empat depa di depannya dalam terowongan itu?

Dimana dia kini?

Ingatan pada orang tua itu membuat dia membuka matanya lebar-lebar. Menoleh ke kiri. Tak ada. Menoleh kekanan. Tak ada!

"Pak Kari…..!" dia memanggil perlahan.

Tak ada sahutan. Di luar ada suara ayam betina berkotek. Dia memperhatikan tempatnya. Benar, dia memang tengah berbaring di tempat tidur. Tempat tidur berkelambu. Berseprai kain setirimin merah jambu. Berkelambu juga dengan kain seterimin merah jambu. Seperti tempat tidur penganten baru. Bau harum kembang melati merembes kehidungnya dengan lembut. Benarkah dia masih hidup? Atau ini hanya sebuah mimpi? Mimpi dari sebuah siksa yyang tak tertangguhkan ditangan ketiga Kempetai sadis itu?

Ya, dia ingat lagi kini.

Tubuhnya dijadikan tempat pelampiasan kekejaman ketiga serdadu itu. Lalu suara tembakkan. Apakah tembakkan itu bukan untuk dirinya? Kalau dia kini masih hidup, pastilah tembakkan itu ditujukan pada Kari Basa. Kari Basa meninggal! Ya Tuhan.

"Pak Kari…." Dia memanggil lagi dan berusaha untuk duduk.

"Tetaplah berbaring..!" tiba-tiba suara mencegahnya. Lembut sekali. Rasa sakit dikepalanya karena berusaha bangkit itu lenyap ketika mendengar suara lembut itu.

"Mana Pak Kari?" tanya nya pada orang yang masih belum kelihatan wajahnya itu.

"Pak Kari..?" suara itu menjawab.

"Ya pak Kari, dimana dia dikuburkan?"

Tak ada jawaban. Tapi orang yang menjawab ucapannya itu kini kelihatan. Seorang gadis! Berwajah bundar. Bermata hitam. Berkulit kuning. Berambut hitam dengan mata yang bersinar lembut. Cantik adalah kata-kata yang tepat untuknya.Si Bungsu mengerutkan kening. Siapakah gadis ini?

"Dimana saya…?' tanyanya gugup.

Gadis itu tersenyum. Senyumnya amat teduh. Matanya yang bersinar lembut menatap si Bungsu dengan tatapan gemerlap.

"Uda berada disini…" jawabnya dengan masih tersenyum.

"Di sini? Di sini dimana…?'