Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 32 - Siksaan Maha Pedih

Chapter 32 - Siksaan Maha Pedih

"Nah, Kari. Kini jawab pertanyaanku. Kau kenal anak muda ini bukan ?"

Letnan dua itu bertanya sambil menunjuk pada si Bungsu. Kari Basa berusaha mengangkat kepala. Menatap Letnan itu. Namun kepalanya terkulai lagi, tapi kemudian perlahan dia menggeleng.

"Tak Kenal, ya?"

Seiring pertanyaan itu, letnan tersebut memberi isyarat pada si Kopral. Kayu sebesar lengan itu kembali dihantamkan keperut Kari Basa. Kari Basa itu tak menjerit. Hanya suara lenguhannya terdengar menyayat hati si Bungsu.

"Jawablah, kau kenal padanya bukan?"

Kari Basa dalam keadaan terkulai kembali menggeleng perlahan. Letnan itu menyumpah-nyumpah dalam bahasa nenek moyangnya.

"Baiklah…baiklah. Kalau kau tak kenal dengan mereka. Kini kau cukup mengangguk saja. Akan kubacakan beberapa nama anggota Gyugun yang kami ketahui terlibat dalam gerakkan kalian ini. Kalau ada di antara mereka yang kau kenali, kau cukup mengangguk saja. Jika ada satu orang saja yang kau kenali, maka malam ini juga kau kami bebaskan."

Usai bicara si letnan lalu memberi isyarat pada si Kopral. Kopral tersebut membuka ransel. Mengeluarkan sebuah buku hitam. Mengambil sehelai kertas dan memberikannya pada si Letnan.

"Nah, Kari Basa dengarkanlah baik-baik. Saya akan mulai dari yang berpangkat Nito Hei(Prajurit Dua)" ujarnya.

Lalu dia mulai membaca daftar yang terdiri dari tak kurang enam puluh nama dengan mengeja perlahan. Namun sampai akhir enam puluh nama itu dibacakan kepala Kari Basa tetap menggeleng. Muka Letnan yang sejak tadi tersenyum-senyum dan nyengir-nyengir kuda, kini berobah jadi keras. Dia memberi isyarat pada si kopral. Kopral itu berjalan ke dinding. Dari sana dia mengambil sebuah sebuah tang.

"Kau memang tak mengenali salah seorang pun dari mereka?" Letnan itu bertanya.

Kari Basa menggeleng. Letnan itu menggertakkan gigi.

"Selain tak mengenali mereka, tapi kamu orang ikut dalam gerakkan melawan Jepang, apakah juga kamu tak mengenali mereka sebagai orang kampungmu?"

Kari Basa menggeleng. Si letnan memberi isyarat lagi. Kopral yang memegang tang itu maju. Dia membungkuk. sebelum si Bungsu sadar apa yang akan dilakukan Jepang itu, terdengar Kari Basa memekik. Dan dengan terkejut si Bungsu melihat betapa di mulut tang itu terjepit sesuatu. Kuku Yah Tuhan, kuku empu[1] kaki Kari Basa dicabut dengan tang Darah meleleh diempu kakinya itu.

"Jawablah Kau mengenali salah satu dari mereka ?"

Kari Basa menggeleng dengan gerakan keras.

"Baik. Kini saya baca yang berpangkat Itto- Hei. (Prajurit Satu)."

Karena disetiap akhir mendengar nama yang dibacakan Kari Basa tetap menggeleng, maka dia memekik lagi karena sebuah kukunya dicabut lagi. Dan. Lagi. Lagi Nama-nama Gyugun itu disebut terus setelah Nitto f Hei, Itto f Hei, Tjo f Hei, Hei cho, Go cho, Go-n syo, Syo cho, Djun-I, Syo-I, dan sampai ke Tai-I (Kapten) yang berpangkat tertinggi bagi para Gyugun yang berasal dari putera Indonesia waktu itu.

Entah berapa kali Kari Basa memekik. Pingsan, Memekik, pingsan. Menggeleng, memekik, pingsan. Menggeleng, memekik, pingsan. Disiram air. Begitu terus berulang-ulang. Yang tak kurang menderitanya adalah si Bungsu. Tubuhnya bersimbah peluh. Beberapa kali dia memejamkan mata. Ia menggigit bibir. Menahan pendengaran agar tak tertangkap suara pekik Kari Basa yang hanya beberapa depa di depannya. Namun bagaimana dia akan menahan pendengarannya? Tiap pekik Kari Basa menyebabkan hatinya seperti tertikam.

Dan kesepuluh kuku jari Kari Basa ini habis tercabut Ya Tuhan, alangkah menderitanya lelaki itu. Namun Tuhan jualah Yang Maha Kuasa, karena lelaki itu tetap saja berkeras untuk menggeleng. Tubuhnya tergantung saja di rantai. Tergantung tak sadarkan diri.

"Jahannam.." Letnan itu bersuara lagi.

Kopral dan prajurit bawahannya mengambil ember besar berisi air. Kemudian menyiramkan pada Kari Basa. Kari Basa membuka mata, mengangkat kepala perlahan, kemudian terkulai lagi. Letnan itu meninggalkan kursinya. Berjalan mendekati Kari Basa. Dengan kasar dia mencekal rambut Kari Basa. Menyentakkan hingga kepalanya tertegak.

"Bicaralah", Letnan itu mengeram.

Tapi di wajah Kari Basa hanya tergurat kebencian, dan tangan Letnan itupun bergerak. Sebuah pukulan karate jarak dekat menghajar mulut Kari Basa. Terdengar bunyi tak sedap ketika pukulannya beradu dengan bibir Kari Basa.

"Nah, bicaralah syetan" Letnan itu berkata lagi sambil menegakkan kepala Kari Basa. Dan tiba-tiba…

"Tuih!!!!"

Kari Basa meludahi muka Letnan yang berjarak sejengkal di hadapannya itu. Ludahnya bercampur darah dan gigi. Ya, pukulan tidak hanya memecahkan bibirnya. Tapi juga merontokkan empat buah gigi depannya. Letnan itu menyumpah-nyumpah dan muntah kena ludahnya. Dan tiba-tiba dia berbalik. Menghantam Kari Basa dengan tendangan, pukulan-Tendangan-Pukul Tendang Pukul Lalu terhenti terengah-engah. Tubuh Kari Basa tergantung tak bergerak. Dan mata si Bungsu berkunang-kunang. Tubuhnya basah oleh peluh. Dia jadi malu pada dirinya. Teringat olehnya betapa cepatnya dia menyerah ketika di Koto Baru itu. Kenapa dia turuti perintah Mayor itu untuk menyerah membuang samurai? Kenapa ? Bukankah dia bisa melawan? Secepat itukah dia harus menyerah? Kini lihatlah Kari Basa ini. Tak segeming pun dia beranjak dari pendiriannya.

Dia jadi malu pada dirinya sendiri. Dan dia mengagumi lelaki yang barangkali usianya telah melampaui empat puluh lima ini. Dia tatap tubuh lelaki yang terkulai dalam ikatannya itu. Kelihatannya lemah dan tak berdaya. Tapi di dalam tubuhnya yang kini tak berdaya itu, alangkah besarnya kehormatan yang dia miliki. Alangkah mulia pribadinya. Alangkah banyaknya. pejuang-pejuang lainnya berhutang nyawa padanya. Sekali saja dia buka mulut, mengatakan salah seorang di antara Gyugun itu ikut dalam gerakkan mereka, bisa dipastikan bahwa Gyugun yang lain akan bisa digulung dan dihukum tembak. Si Bungsu berani bertaruh, jarang satu diantara seratus ribu bangsanya yang akan tahan menutup rahasia jika telah disiksa seperti Kari Basa ini. Kini dia melihat betapa teguhnya lelaki tua ini memegang rahasia. Betapa teguhnya. Tak tergoyahkan oleh pukulan kayu. Tak tercabikkan meski oleh cabutan kuku. Dan tak beranjak meski bibir dan giginya rontok.

"Hari sudah pagi. Mari kita tinggalkan dia ….." letnan itu berkata. Mereka bersiap untuk pergi. Letnan itu berhenti, kemudian menoleh pada si Bungsu.

"Beberapa saat lagi giliranmu Bungsu. Engkau telah banyak menimbulkan korban diantara balatentara Tenno Heika. Apa yang akan kau terima jauh lebih nikmat daripada yang diterima Kari Basa. Nah, bersiaplah menjelang kami datang. . . he . .he. . .he"

Dan Kempetai itu kembali lenyap di balik pintu kayu betulang besi dan berbingkai beton diujung kamar tersebut. Tinggallah kini si Bungsu dan Kari Basa. Sunyi... cahaya lampu listrik yang menggantung tinggi di langit-langit terowongan bersinar suram. Menerangi kamar tahanan mereka yang berukuran empat kali meter tersebut.

Si Bungsu meneliti ruangan itu. Meneliti kalau-kalau dia bisa menyelamatkan diri. Ya, inilah saatnya untuk berusaha lepas. Sementara Kempetai-kempetai keparat itu pergi. Kalau saja dia lepas, dan di dinding sana ada dua bilah samurai, oh alangkah akan jahanamnya Jepang-Jepang itu dia perbuat. Dan matanya meneliti. Kamar itu sengaja dibuat untuk kamar penyiksaan tawanan itu terlihat dari gelang-gelang perantai kaki dan perantai tangan yang tersebar di lantai dan di langit-langit. Kemudian perkakas penyiksaan. Bau ruangan ini juga pengap. amis.

Tak syak lagi, disini telah cukup banyak darah tertumpah. Telah cukup banyak nyawa direnggutkan. Kini bagaimana dia harus membebaskan diri ? Dia tengok tangannya. Keduanya terantai ke atas. Dia coba merenggut rantai itu. Tapi terlalu kukuh. Nampaknya rantai itu ditanamkan dan dicor dengan semen ke loteng Goa yang terbuat dari batu itu. Tangannya tak mungkin lepas. Kecuali kalau dipotong sebatas pergelangan. Dia mau saja memotongnya sebatas pergelangan asal bebas. Tapi tanpa jari-jemari, apakah artinya lagi? Dan kalau dia ingin bebas, dia harus memotong kedua pergelangan tangannya. Lantas dengan apa lagi dia harus membalas ? Dia teringat pada bayangan tatkala Datuk Penghulu akan rubuh. Ya, dia ingat kini. Ekspresi dan sinar mata orang tua itu seakan-akan berkata :

"Jaga dirimu baik-baik nak. Tetaplah bertahan untuk hidup.Jangan menyerah pada penjajah. Tuhan bersamamu. . ."

Itulah kata yang tak terucapkan, tapi sempat dia baca dari wajah orang tua itu.

Tetaplah bertahan untuk hidup. Jangan menyerah.....

Kalimat ini seperti sebuah sumpah yang dipegang teguh oleh pejuang-pejuang ini. Matanya melirik pada Kari Basa. Ke tubuhnya yang terkulai. Tapi jelas dadanya beralun perlahan. Dia masih hidup. Sekurang-kurangnya dia kini tengah bertahan untuk tetap hidup. Dan dia tak menyerah pada penjajah. Betapapun siksaan yang dia terima. Dia tak menyerah ... Ya, betapapun penderitaannya, namun Kari Basa tak pernah menyerah untuk membuka rahasia.

Dan dia juga tengah bertahan untuk hidup, Perlahan-lahan, semangat untuk takkan menyerah, semangat untuk berusaha agar tetap hidup muncul menguat pada dirinya. Berhasil atau tidak dia melepaskan diri dari belenggu ini, batapapun jua dia harus bertahan untuk tetap hidup. Harus… Tapi di samping itu dia juga harus berusaha untuk membebaskan diri. Harus. Dia tak boleh menyerah. Tak boleh menanti sampai Jepang-jepang itu datang menyiksa dirinya. Dia harus bergerak. Dia menatap kekakinya. Kakinya dimasukkan ke sebuah gelang yang dikunci. Gelang itu dihubungkan dengan dua buah mata rantai yang kukuh, ditanamkan ke lantai yang juga dicor dengan beton. Dia menarik nafas. Menggoyangkan kaki. Menggoyangkan tangan. Tak ada harapan pikirnya.

"Ya. Tak ada harapan ….."

Sebuah suara yang amat perlahan mengejutkannya. Dia menoleh pada Kari Basa. Tapi lelaki itu masih terkulai. Diakah yang bicara?

"Tak ada harapan untuk dapat melepaskan diri ….."

Kembali ada suara, dan suara itu jelas suara Kari Basa.

"Pak Kari . ." katanya heran.

"Ya. Sayalah yang bersuara Bungsu. Saya memang tak melihat engkau, mata saya kabur. Bahkan untuk bernafas pun saya susah. Namun telinga saya dapat menangkap bunyi gemerincing rantai karena engkau goyang. Dan saya bisa menduga, engkau pastilah tengah mencari-cari jalan untuk membebaskan diri. Saya tahu itu dengan pasti, sebab saya juga telah melakukan sebelum engkau dimasukkan kemari. Dan seperti yang engkau lihat, usaha saya sia-sia .. ." Kari Basa terdiam.

Si Bungsu juga terdiam. Dia terdiam karena kekagumannya pada daya tahan lelaki di depannya itu.

"Rantai ini terlalu besar Bungsu. Dan ditanamkan dalam-dalam di lantai serta di loteng. Sebelum dicor dengan semen, diberi bertulang besi. Tak ada harapan memang .. " Kari Basa bicara lagi.

Si Bungsu tak bicara. Sebenarnya banyak yang ingin dia katakan. Tapi dia tak mau mengatakannya. Dia tak mau melawan Kari Basa bicara. Dia ingin agar orang tua itu istirahat. Dia sangat mengasihani lelaki tersebut.

Dan Kari Basa akhirnya memang terkulai diam. Pingsan lagi. Penderitaannya benar-benar sempurna. Kakinya berlumur darah setelah sepuluh kuku jarinya dicabuti. Dia muntah beberapa kali setelah perutnya dihantam dengan potongan kayu sebesar lengan. Dan mulutnya berdarah, giginya copot dihantam pukulan karate. Namun pejuang yang tak banyak dikenal ini, alangkah teguhnya pada pendiriannya.

Dan memang tak ada jalan untuk melepaskan diri dari belenggu dikaki dan ditangan si Bungsu. Kari Basa memang berkata benar. Meski segala usaha telah dia jalankan, namun itu hanya menambah penderitaannya saja. Pergelangan tangannya lecet dan berdarah karena usahanya itu. Dan ketika ketiga Kempetai yang menyiksa Kari Basa itu muncul lagi dengan menyeringai si Letnan berkata.

"Hmmmmm ….. .ingin lari ya. He. .hee. .ingin lari he.. he . ."

Seringainya amat buruk. Tapi yang lebih buruk lagi adalah perlakuan setelah itu. Si Bungsu, seperti halnya Kari Basa, dipaksa untuk mengatakan siapa-siapa saja yang diketahuinya mengorganisir perlawanan terhadap Jepang.

Siapa saja teman Datuk Penghulu. Siapa saja yang telah dihubungi mereka dalam Gyugun. Apakah Engku Syafei di Kayu Tanam, Encik Rahman El Yunussiyah di Padang Panjangtermasuk ke dalam orang-orang yang menyusun kekuatan ini. Kemudian kepadanya dibacakan pula sederet nama Gyugun seperti yang dibacakan pada Kari Basa. Berlain dengan Kari Basa yang selalu menggeleng, maka si Bungsu hanya menatap dengan pandangan dingin pada ketiga Kempetai itu. Tak pernah menggeleng sekalipun. Tak pernah mengangguk sedikitpun. Dan ketiga Kempetai itu mengerjakannya dengan sempurna pula. Ketiga mereka nampaknya dilatih untuk menjadi orang-orang yang tak mepunyai kemanusiaan. Dalam ketentaraan nampaknya memang dididik orang-orang seperti mereka. Gunanya untuk bahagian interogasi. Dan ketiganya spesialis penyiksaan ini sambil tertawa gembira, sambil menyeringai buruk, mempermak tubuh si Bungsu. Tahap pertama, si Kopral mempergunakan tubuh si Bungsu yang terikat itu sebagai sebuah karung latihan. Yaitu karung yang diikatkan dan diisi dengan pasir. Bagi siswa-siswa beladiri, karung seperti ini dinamakan sansak dalam dunia tinju atau makiwara dalam dunia karate, dipergunakan untuk melatih tendangan dan pukulan.

----

[1] empu = jempol