Tanpa terasa setahun telah berlalu. Selama setahun itu Mei-mei dan si Bungsu tetap tinggal di rumah Datuk Penghulu di kampung Padang Gamuak Tarok. Mereka seperti tinggal di rumah orangtua sendiri. Datuk Penghulu dan istrinya menerima mereka dengan tangan terbuka. Datuk Penghulu ternyata seorang pejuang yang menghubungi anggota Gyugun, yaitu tentara Jepang yang berasal dari pemuda pemuda Indonesia. Dia menginventarisir senjata yang berhasil dicuri, juga logistik, dikumpulkan untuk mempersiapkan bila terjadi perang kelak. Dia juga mencatat nama nama para anggota Gyugun yang bersedia menjadi tentara Peta yaitu pasukan Pembela Tanah Air. Kesibukan Datuk Penghulu akhir akhir ini memang makin meningkat.
Sementara itu, kemahiran Mei-mei dalam persilatan setahun ini maju dengan amat pesat.
Salim yang selama ini bertindak sebagai pembantu Datuk Penghulu untuk mengajar Mei-mei, kini sudah tercecer jauh sekali. Bahkan dalam beberapa kali latihan, Mei-mei berhasil mengalahkan Datuk Penghulu. Datuk Penghulu jadi sangat bangga dan bahagia mempunyai murid seperti dia. Berbeda dengan guru guru silat pada umumnya, yang merasa terhina bila muridnya berhasil mengalahkannya. Datuk Penghulu justru merasa karena tak ada lagi ilmu yang bisa dia turunkan kepada Mei-mei.
Sedangkan si Bungsu juga melatih samurainya. Dia tak ikut belajar silat. Meskipun Datuk Penghulu pernah menawarkan padanya untuk ikut namun dia merasa sudah terlambat. Keinginannya kini hanya satu, membalaskan dendam keluarganya membunuh Saburo dengan samurainya. Ayahnya telah bersumpah sesaat sebelum mati, bahwa dia akan menuntut balas membunuh Saburo dengan samurai. Dia saksi langsung saat sumpah itu diucapkan. Adalah kewajibannya untuk melaksanakan.
Karena itu, selama setahun di rumah Datuk dia melatih kecepatan samurainya dalam hutan bambu yang ada di sana.Dia mengulangi lagi cara latihannya seperti di gunung Sago dahulu. Mencabut dan memasukkan samurai secepat yang mampu dia laksanakan. Memancungkannya keempat penjuru. Berkali kali hal serupa itu dia ulangi. setelah kecepatannya kembali normal, lalu dia memejamkan mata, memusatkan konsentrasi. Mengerahkan tenaga untuk mendengarkan geseran yang paling halus sekalipun ketika angin berhembus.
Beberapa daun bambu jatuh. Dia menanti, ketika daun bambu itu tinggal sedepa dari permukaan tanah dia mencabut samurainya, secepat kilat. Kemudian dengan masih tetap memejamkan mata, dia bergerak dua langkah kekanan. Menyabetkan samurainya dua kali. Dua helai daun bambu terbelah. Kemudian berguling cepat kekiri, menyabetkan samurainya dua kali, sehelai daun bambu belah dua. Dan sehelai lagi luput dari tebasan samurainya. Dia mengulangi latihan begitu terus menerus. Hingga akhirnya kecepatan dan kemahirannya bertambah dari yang sudah-sudah. Selama setahun itu mereka tetap tinggal bersama Datuk Penghulu dan Tek Ani. Dengan uang yang mereka bawa dari Payakumbuh, ditambah perhiasan yang mereka peroleh dari rumah Babah gemuk pimpinan komunis itu, Mei-mei dan si Bungsu dapat membantu kehidupan Datuk itu. Bahkan Mei-mei menyuruh si Upik sekolah terus dengan biayanya. Malam itu, ketika Datuk Penghulu dan si Bungsu tak di rumah, Mei-mei tengah membaca Al Quran, Tek Ani dan Upik menyimaknya. Suaranya yang halus lembut seperti membelah hutan bambu. Menyelusup di antara pohon pohon dan daunnya yang hijau. Di rumah Datuk itu hanya mereka bertiga kini.
Datuk Penghulu entah berada dimana. Kegiatannya sangat memuncak. Sebab waktu itu adalah penghujung bulan Juli 1945. Yaitu dua pekan lagi sebelum Proklamasi dibacakan di Pengangsaan Timur Jakarta Pejuang pejuang Indonesia saling mengadakan kontak dengan tokoh tokoh pergerakan. Datuk Penghulu pimpinan dari delapan kurir utama kaum pejuang yang berpusat di Bukittinggi. Dialah yang menghubungkan kontak antara Mayor Dakhlan Jambek yang saat itu bertugas dalam Gyugun dan bermarkas di Pasaman dengan Mayor Makkimuddin di Payakumbuh. Kepada mereka disampaikan pesan pesan dari Engku Syafei. Tokoh pejuang di bawah tanah yang bermarkas di Kayu Tanam. Kontak itu juga menghubungkan mereka dengan encik Rahmah El Yunussiyah. Seorang pejuang wanita yang mendirikan sekolah Diniyah Puteri di Padangpanjang. Menjelang hari Proklamasi, kesibukan para pejuang sangat meningkat.
Sebaliknya, Kempetai yang merupakan Polisi Militer Jepang, memperketat pula pengawasan mereka. Sudah tentu anggota anggota Gyugun yang berasal dari pemuda Indonesia berada dalam pengawasan utama dan sangat ketat. Gerak gerik mereka diawasi secara rahasia. Dari pengawasan dan penyelidikan itulah bocor rahasia tentang diri Datuk Penghulu ayah si Upik di Padang Gamuak itu. Dari penyelidikan diketahui bahwa kusir bendi hanya dibuat sebagai kedok saja dari tugas mata matanya. Kempetai menyiapkan suatu penyerangan ke rumahnya.
Dan malam itu lima orang Kempetai pilihan datang kerumah mereka. Namun seperti telah diutarakan di atas, saat itu Datuk tersebut tak ada di rumah. Yang ada hanyalah istri Datuk itu, Mei-mei dan si Upik. Perempuan ketiganya. Si Bungsu sendiripun tak ada di rumah tersebut. Dia tengah menggantikan tugas Datuk Penghulu membawa bendinya. Ada berita penting yang sedang dia nanti di kota. Yaitu tentang diri Saburo. Untuk itu dia menyamar sebagai kusir untuk menemui kurir di kota.
Tek Ani, si Upik dan Mei-mei kaget dan terhenti mengaji tatkala pintu didobrak oleh Kempetai.
"Mana Datuk Penghulu .."
Seorang Kempetai bertanya dengan senjata terhunus. Sementara yang seorang lagi mengawasi setiap sudut rumah. Mata mereka merah dan nyalang. Waspada terhadap segala kemungkinan. Ketika pernyataan itu diulangi, barulah tek Ani menjawab, bahwa suaminya memang tak ada. orang yang menggeledah itu kemudian berbisik bisik dengan Komandannya yang berpangkat Djun-i (Pembantu Letnan) yang memimpin penggerebekan itu. Djun-i itu menatap Mei-mei dengan mata berkilat. Ketika dia mengangguk, yang berbisik tadi lalu keluar. Lalu terdengar suaranya menyuruh jaga sekitar rumah itu. Dari jawaban di luar, Mei-mei segera tahu bahwa di luar ada tiga orang lagi tentara Jepang.
"Hei, kamu sini ikut. Saya mau periksa .." Ujar Djun-i itu kepada Mei-mei.
Si Upik mulai menangis. Tapi dia terdiam begitu dibentak oleh Kempetai yang seorang lagi. Perlahan Mei-mei bangkit. Mei-mei itu menelan ludahnya melihat tubuh montok gadis cina itu. Segera saja dia menyeret tangan Mei-mei ke bilik yang biasanya ditempati si Bungsu.
Kemudian pintu dia tutup, Si Upik memeluk ibunya dengan wajah pucat. Sementara serdadu yang satu lagi menatap mereka dengan seringai buruk. Dari dalam kamar terdengar suara gelosok posoh tak menentu. Dan Kempetai yang di ruang tengah itu menelan ludahnya beberapa kali. Membayangkan kenikmatan yang sedang dikenyam oleh komandannya di dalam bilik itu bersama gadis montok tadi. Dia jadi tak sabaran menunggu giliran, cukup lama dia menanti, dan tiba tiba pintu kamar terbuka. Mei-mei muncul dengan senyum di bibir. Dia memberi isyarat pada Kempetai yang ada di ruang tengah itu. Kempetai itu bergegas. Tak peduli komandannya tadi belum keluar, yang jelas dia harus cepat mendapat giliran.
Dia masuk kamar itu. Didapatinya komandannya masih terbaring dalam pakaian lengkap. Tapi yang menjadikannya heran adalah karena komandannya itu terbaring tidak di tempat tidur. Melainkan di lantai. Pertanyaan belum menjawab, ketika dia berpaling pada gadis itu, tangan gadis itu bergerak cepat sekali. Pukulan dengan sisi tangannya mendarat di tengkuk Kempetai itu. Kempetai tersebut bukanlah orang lemah. Sebagai seorang Kempetai, dia belajar karate dan Yudo. Pukulan pertama dia tangkis dengan tangannya. Namun meleset. Pukulan gadis itu amat cepat. Tapi pukulan itu belum merubuhkannya. Dalam keadaan heran dan kaget Kempetai itu coba memeluk gadis tersebut.
Itulah kesalahannya. Mei-mei membiarkan Kempetai itu memeluknya, disaat tubuh mereka merapat, Mei-mei menghantamkan lututnya keatas. Mendarat persis di selangkang Jepang itu. Jepang itu hampir saja terpekik. Mei-mei bertindak cepat. Tangannya segera menutup mulut Jepang itu. Kalau teriakannya sampai kedengaran oleh tiga temannya di luar, bisa berbahaya. Dan Kempetai itu melosoh turun. Kentang kentangnya pecah. Mei-mei hari ini bukan lagi Mei-mei setahun yang lalu. Bukan lagi Mei-mei yang lemah yang tak dapat berbuat apa apa ketika tubuhnya digumuli oleh perwira perwira Jepang di Payakumbuh dulu.
Mei-mei hari ini adalah Mei-mei yang telah berisi. Dia membuktikan hal itu dengan merubuhkan kedua Kempetai ini dengan mudah. Kempetai yang berpangkat Djun-i yang masuk pertama kali tadi jugamendapatkan perlakuan yang sama. Begitu masuk dan menutup pintu, dia segera memeluk dan berusaha mencium gadis itu. Mei-mei seperti akan membalas pelukannya. Namun kedua tangannya memegang leher Djun-i itu. Begitu terpegang lehernya, sementara Jepang itu masih asik menciumi mukanya, Mei-mei menghantam lututnya keselangkang Jepang itu. Ketika Jepang itu tersentak kaget dan amat sakit, kedua tangannya memegang leher Jepang itu bergerak pula. Yang satu mencengkram rambut di belakang kepala Kempetai itu. Tangan yang satu lagi menghantam dagunya. Rambut Jepang itu dia tarik sekuat kuatnya arak kekanan. Sementara dagunya dipukul arah kekiri. Akibatnya kepala Jepang itu terputar dengan paksa amat kuat. Terdengar suara tulang berderak. Leher Jepang itu patah tulangnya. Dia mati tanpa sempat berteriak. Itulah yang dialami oleh Djun-i yang masuk pertama kali. Kini sudah dua orang selesai oleh Mei-mei.
Benci dan dendam yang telah lama menyala dalam dada gadis ini kepada Jepang yang telah melaknati tubuhnya, kini mendapat tempat pelampiasannya. Diam diam dia mengunci pintu kamar. Kemudian mengambil samurai yang panjangnya dua jengkal yang tersisip di pinggang Djun-i yang telah mati itu. Lalu perlahan dia membuka jendela dan berjingkat dia keluar. Masuk kedalam malam yang gelap.
Tadi dia mendengar ada tiga Jepang lagi menjaga di luar rumah. Dia ingin menyudahi ketiga Jepang jahanan itu. Perlahan lahan dia menuju ke depan. Tiba tiba langkahnya terhenti. Dari depan seorang Kempetai rupanya menaruh curiga akan situasi rumah yang sepi itu. Dengan bedil terhunus dia mengitari rumah tersebut. Dan dia melihat sesosok bayangan tegak mematung dekat dinding.
"Siapa itu..!" Jepang itu membentak sambil mengacungkan bedil yang siap memuntahkan peluru.
"Malaikat maut.." Jawab Mei-mei dengan suara mendesis tajam. Dan seiring dengan itu tubuhnya bergulingan di tanah. Dalam tiga kali bergulingan yang amat cepat, dari posisi berbaring menyamping di tanah, kaki kanannya menghantam keatas. Terdengar seruan terkejut dan kesakitan dari mulut Jepang itu ketika sisi kaki Mei-mei yang terlatih mendarat di perutnya. Namun Jepang itu tak rubuh. Dia hanya terjajar kebelakang.
Bedil masih terpegang ditangannya. Dan justru saat itu, dalam keadaan terjajar kebelakang itu, telunjuknya menarik pelatuk bedil. Suara dentaman bedil mengoyak malam yang kelam. Membuat terkejut kedua temannya yang berada di depan. Mereka segera berlari kesamping.
Mei-mei merasa bahunya pedih. "Aku kena," bisik hatinya. Namun dia tak menyerah. Masih dia ingat betapa jahanam ini ketika di Payakumbuh dulu melanyau dirinya. Mungkin memang tidak mereka. Tapi komandan komandan mereka. Namun apa bedanya. Tubuhnya segera bangkit. Sebelum kedua Kempetai yang ada di depan sampai ketempat itu, sebuah tendangan lagi menghantam kerampang Jepang itu. Kali ini bedilnya jatuh. Kedua tangannya menggigil memegang tempat yang baru saja kena tendangan. Terdengar keluhan yang menegakkan bulu tengkuk. Dia segera saja jatuh di kedua lututnya. Tendangan itu benar benar tendangan malaikat maut. Ketika dia terjatuh di atas kedua lututnya itulah sebuah tendangan sisi kaki mendarat di tengkuknya. Riwayat Kempetai itu the end di sana. Saat itu pula kedua serdadu yang tadi ada di depan sampai di situ. Mereka melihat temannya terduduk. Yang paling depan mengangkat bedil. Namun jaraknya dengan Mei-mei terialu dekat. Bedilnya direngutkan oleh gadis itu. Tubuh Jepang itu terhuyung kedepan. Sebuah tinju menyongsong mulutnya. Tangan Mei-mei terasa ngilu. Buku jarinya mendarat dengan telak di bibir Jepang itu. Tapi kalau buku buku jarinya ngilu, maka Jepang itu merasa mulutnya bengkak. Dan hampir saja dia menelan giginya yang copot tiga buah. Kempetai ini tak melihat dengan jelas siapa lawannya. Namun dia tahu, orang ini pastilah pesilat. Dan mereka sudah mengetahui, bahwa silat di Minangkabau tak dapat dianggap enteng. Bedilnya sudah sejak tadi lepas. Yaitu sejak mulutnya kena bogem mentah. Tapi kini dengan cepat kakinya melayang kedepan. Mengirimkan sebuah tendangan karate bernama maei-geri yang telak.
Mei-mei melihat gerakan yang cepat itu. Dia menyilangkan kedua lengannya kebawah, menanti tendangan itu. Sebuah tangkisan Silang Bawah yang ampuh dari Silek Tuo dalam menangkis tendangan yang datang dari bawah. Tapi gadis ini memang belum berpengalaman. Dia memang mahir bersilat, tapi baru kali ini berkelahi langsung. Dan justru mempertaruhkan nyawa. Tangkisan silang bawah itu sebenarnya memang ampuh untuk menangkis tendangan pesilat Minang yang umumnya tak bersepatu. Tapi Kempetai ini memakai sepatu. Lagipula tangkisannya agak teriambat. Tak ampun lagi, tulang tangannyalah yang kena tendang. Mei-mei terpekik. Tangannya segera saja jadi bengkak. Dan Jepang itu segera menyadari dari suaranya, bahwa lawannya ini adalah seorang perempuan.
"Onaaa …" serunya.
"Onaa ?" (perempuan) tanya kawan di belakangnya.
"Haik…" jawabnya.
Dengan jawaban begitu, Kempetai itu maju ingin memeluk Mei Mei. Ingin menangkap dan meringkusnya hidup hidup, Namun disinilah kesalahan tentara Jepang itu. Disini pula kebanyakan kesalahan setiap lelaki dalam menghadapi perempuan. Selalu mendahulukan nafsu. Begitu dia mendekat, Mei-mei yang sudah bertekad untuk membunuh atau dibunuh itu segera menghunus samurai pendek yang tadi dia ambil dari pinggang Kempetai yang mati dalam bilik.
Ketika tangan Kempetai ini terjulur, tangannya juga terulur….. crep samurai tajam dan tipis itu masuk persis ke jantungnya. Kempetai itu terbelalak menyeringai sakit. Suaranya seperti suara kerbau disembelih. Gadis itu tak mau tanggung tanggung. Samurai itu dia renggutkan dengan kuat ke kanan. Merobek dada Jepang itu selebar satujengkal. Lalu samurai itu dia cabut dengan cepat dan dia tikamkan keleher Jepang itu Demikian cepat peristiwa itu. Demikian lihai gadis ini menjadi pembunuh orang yang dia benci. Kehidupan keras yang dialami selama tahun tahun yang hitam di Payakumbuh, membuat hatinya tak mudah terguncang melihat kematian. Umurnya masih sangat muda. Belum cukup delapan belas tahun. Tapi lihatlah, Kempetai yang satu lagi benar benar tertegun melihat perkelahian itu. Tak pernah dia sangka seorang wanita bisa berbuat begitu. Tapi dia sadar wanita ini amat berbahaya. Dengan kesadaran demikian, dia menghantamkan pangkal bedilnya ke tengkuk Mei-mei. Mei Mei merasa ada gerakan angin di belakangnya. Dengan cepat dia menjatuhkan diri. Kedua tangannya bertelekan di tanah. Namun tangan kirinya terasa lumpuh. Kelumpuhan akibat tembakkan dan tendangan tadi. Dengan tangan kanan bertelekan dia menghujamkan kakinya kebelakang. sebuah cuek belakang yang telak. Jepang itu tersurut selangkah ketika kena hantam pahanya. Terasa sakit kena hantam tumit gadis itu. Kempetai ini memutar bedil, mengarahkan moncong bedil itu ke depan untuk menembak, namun saat itu pula Mei-mei berputar sangat cepat. Tangan kanannya yang memegang samurai terayun cepat pula.