Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 13 - Si Babah (2)

Chapter 13 - Si Babah (2)

Si Bungsu tak menjawab.

"Jawab …! Jawablah apa maksud memata-matai rumahku ini! Kau ditugaskan oleh siapa untuk mematamataiku? Ditugaskan oleh pejuang-pejuang yang akan melawan Jepang ya?"

Si Bungsu terdiam. Dia tidak mengerti ujud petanyaan itu.

"Jawablah Bungsu. Kalau tidak kau bisa susah ". Kata Baribeh. Si Bungsu masih diam.

"Apakah Mahmud mengirim dia kemari? " si Babah bertanya pada Baribeh.

"Tidak. Dia justru mengirimkan kurirnya ke Kubu Gadang. Mereka akan menyerang Kubu itu untuk merampas persenjataan ".

"Kapan mereka merencanakan?"

"Dua malam lagi ".

"Apakah tindakan lainnya ".

"Kalau tak berhasil mereka akan membakar Kamp kita ".

Si Bungsu menatap Babah dan Baribeh berganti-ganti. Menyimak pembicaraan kedua orang itu kini persoalan menjadi jelas baginya, bahwa Baribeh bekerja untuk Babah Cina itu.

Babah itu bekerja untuk Jepang. Mereka memata-matai kegiatan pejuang-pejuang Indonesia. Si Bungsu tiba-tiba menjadi ingin muntah saking jijik dan mualnya melihat Baribeh, si Juling dan si Babah. Tapi sekaligus dia juga menjadi lega. Sebab dengan pertanyaan si Babah itu dia menjadi tahu, bahwa baik si Baribeh maupun pihak Jepang tak mengetahui sedikitpun bahwa dialah yang telah membunuh Jepang-Jepang itu dalam bulan-bulan terakhir ini.

Ini berarti pembunuhan tiga orang Kempetai di kampungnya ketika akan menangkap Salim anak Imam dari Mesjid belum diketahui Jepang. Barangkali ketiga Jepang itu disangka melarikan diri atau lenyap begitu saja. Belum ada yang menyangka bahwa dia mati terbunuh. Itu juga berarti bahwa kematian Jepang- Jepang di kedai kopi Siti di kampung Tabing dulu juga masih disangka karena mereka saling berkelahi. Persis seperti yang direncanakan dulu. Dan itu juga berarti bahwa Kempetai ini belum mengetahui bahwa yang membunuh Jepang-Jepang di tempat pelacuran Lundang dulu itu adalah seorang pribumi. Si Bungsu menjadi agak tentram. Buat sementara dia masih aman. Kini tinggal hanya bagaimana melarikan diri dari rumah Babah celaka ini.

"Hei monyet, jawablah. Apakah maksudmu mematamatai rumahku?" Babah itu memaki. Muka si Bungsu jadi merah padam.

Di negerinya sendiri ada Cina yang memakinya dengan sebutan monyet. Ada Cina yang selama puluhan tahun diterima dengan baik oleh bangsanya, diterima di tengah pergaulan dan mencari makan di bumi negerinya dan hidup dengan aman selama puluhan tahun itu, berani memaki dirinya. Memaki anak negeri dimana dia hidup menompang dengan sebutan monyet!

Alangkah jahanamnya. Dia tatap mata si Babah. Dan saat itu perwira yang tadi masuk ke bilik si Amoy anak si Babah, muncul di pintu. Dia mendengar bentakan, dan cepat-cepat menyudahi permainannya. Lalu memasang celana dan baju. Si Amoy dia tinggalkan terguling lelah di lantai.

"Ada apa ..?" tanya perwira yang bernama Ichi kepada Babah. Si babah menceritakan tentang si Bungsu yang mengintai rumahnya. Perwira itu menatap pada si Bungsu.

"Paksa dia untuk bicara. Barangkali dia ikut ketika mencuri senjata di Kubu Gadang dulu .." Kata Ichi sambil berjalan ke sudut ruangan mengambil minuman.

"Bicaralah ..!" Kata si Babah pada si Bungsu.

Kali ini tangannya bergerak. Mengambil bijih dadu sebuah. Meletakkannya di antara ibu jari dan telunjuk kanannya. Kemudian "menembakkan" buah dadu itu kearah si Bungsu.

Tanpa dapat ditahan, si Bungsu terpekik. Bijih dadu itu menghantam daun telinganya sampai robek. Darah mengucur dari sana. Namun si Bungsu tak dapat bergerak. Sebab empat bayonet masih menekan dada dan lehernya. Dapat dibayangkan betapa tingginya ilmu Babah itu. Hanya dengan jentikan halus saja, dadu itu sanggup memecah telinga si Bungsu. Tidak hanya berilmu tinggi, tapi sekaligus berhati sadis!

"Jawablah!! Kalau tidak engkau akan kubunuh seperti membunuh tikus .." Kata si Babah dengan nada dingin.

"Saya mencari Saburo ".

Akhirnya si Bungsu berkata jujur.

"Saburo ..?"

"Ya .."

"Tai-i Saburo Matsuyama?"

"Ya".

"Untuk apa kau mencarinya? "

"Ada persoalan yang harus kuselesaikan "

"Persoalan apa?"

"Itu urusanku .."

Mendengar jawaban ini, babah gemuk itu kembali mengambil sebutir dadu. Lalu kembali dia letakkan di antara ibu jari dan telunjuknya. Kemudian dia sentilkan kearah si Bungsu.

Kembali si Bungsu terpekik. Sebenarnya dia telah berusaha untuk menahan sakit. Dia menggertakkan gigi. Namun dadu itu menghantam keningnya. Namun Babah gemuk itu bukan main lihainya. Dadu itu menyerempet kening si Bungsu sedemikian rupa. Mula pertama dadu itu menjitak dahi si Bungsu. Sakitnya bukan main, kemudian melesat merobek kulit keningnya arah ke belakang. Kulitnya kepalanya robek empat jari. Darah mengucur.

Babah gemuk itu tertawa menyeringai. Demikian pula Baribeh dan si Juling. Air mata si Bungsu merembes di pipinya. Dia tak menangis. Tapi air mata itu adalah air mata menahan sakit. Dia menyumpahi dirinya yang dengan mudah masuk ke dalam perangkap orang-orang sadis ini. Si Bungsu bersumpah, kalau dia kelak dapat membalas, maka Babah gemuk ini adalah orang pertama yang paling nista dia perbuat. Dia akan cincang perut gendutnya itu. Dia benar-benar bersumpah untuk itu. Tekadnya untuk hidup makin menyala.

"Nah, buyung. Katakanlah untuk apa lu mencari Tai-i Saburo ..!" Kata Cina gendut itu.

Si Bungsu menghapus darah dikeningnya. Menghapus darah dari daun telinganya yang koyak. Pedih dan sakit dari kedua lukanya itu menyentak-nyentak.

"Bagaimana saya akan bicara kalau leher dan dada saya ditekan begini?" Katanya coba mencari kesempatan. Dia berharap dengan ucapannya itu bayonet yang ditekankan ke leher dan dadanya akan ditarik. Kalau saja dia punya kesempatan agak sedikit, dia bisa berguling dengan loncat tupai ke belakang menyambar samurainya. Demi Tuhan, akan dia cincang semua lelaki yang ada dalam ruangan ini. Terutama Cina gemuk seperti babi ini. Namun Babah itu memang orang sadis. Di tangannya tiba-tiba telah berada pula sebuah bijih dadu. Meletakkan dadu itu kembali di antara ibu jari dan telunjuknya. Dadu itu siap lagi unt uk dia sentilkan pada si Bungsu.

"Dadu ini bisa menembus jantungmu. Engkau mati. Atau bisa menembus matamu. Engkau buta. Maka sebelum salah satu di antara kemungkinan itu terjadi, bicaralah yang benar. Tak peduli ada bayonet atau tidak di lehermu!"

Benar-benar sadis. Mau tak mau si Bungsu memang harus buka mulut.

"Saya ingin menuntut balas kematian keluarga saya .." katanya perlahan.

"Dengan apa akan kau tuntut? Dengan menembaknya? Atau dengan menyerang rumahnya bersama gerombolan Indonesia? Hmm ..? Katakan bagaimana caranya!!"

"Dengan cara saya sendiri .."

"Bagaimana caramu!"

Si Bungsu terdiam. Babah gemuk itu bangkit. Kemudian mendekatinya.

"Katakan bagaimana caramu ..!" desis Babah itu.

Perwira-perwira Jepang yang lain menatap dengan diam. Si Bungsu jadi sadar, Cina ini nampaknya adalah salah seorang Perwira Intelijen Jepang, karena kelihatan sekali dia disegani perwira-perwira itu. Hanya saja jabatannya itu dia rangkap sebagai penjudi dan pengusaha rumah lacur. Demikian tak bermoralnya dia, sehingga demi pangkat dan karirnya di mata Jepang, dia rela mengorbankan anak gadisnya untuk memuaskan nafsu perwira-perwira Jepang tersebut. Karena si Bungsu masih tetap diam, Babah itu menjitak kepalanya. Terdengar suara berdetak ketika lipatan jari babah itu menghantam keningnya. Keningnya segenap bengkak sebesar telur.

"Katakanlah dengan siapa kau akan pergi menyerang Tai-i Saburo, dan dimana kalian akan berkumpul, monyet!"

Kepalanya yang kena jitak amat sakit, tapi yang lebih sakit adalah hatinya. Benar-benar sakit hati si Bungsu menerima perlakuan Babah gemuk ini. Pertama cara dia menekek atau menjitak kepalanya tadi. Benar-benar menyinggung hatinya. Kemudian ucapannya menyebut "monyet" benar-benar menyakitkan. Saking sakit hatinya, anak muda itu lupa mengontrol diri. Tanpa dapat dia tahan, dia meludahi muka Babah gemuk itu. Ludahnya menghantam wajah si Babah. Anak muda ini benar-benar lupa diri saking marahnya. Dia tak sadar sama sekali, bahwa dengan perbuatannya ini dia bisa dibunuh si Babah seketika.

Kalau itu terjadi, maka dendamnya pada Saburo takkan pernah terbalaskan.

Namun si Babah yang mukanya sudah seperti udang direbus itu benar-benar tak memberi ampun. Kakinya melayang. Si Bungsu yang memang tak pernah belajar silat itu kena hantam dadanya. Tubuhnya tercampak. Dan masih belum mencecah lantai, dia sudah muntah darah. Kemudian tubuhnya jatuh. Masih belum dia sadari apa yang terjadi, ketika sebuah tendangan kembali mendarat di rusuknya. Sakitnya bukan main. Dia mendengar tawa si Babah. Yang menendangnya barusan ini ternyata si Baribeh.

Untung si Baribeh. Sebab kalau Cina itu yang menendang, dia yakin empat rusuknya akan patah. Tendangan Baribeh itu membuat dia terguling lagi. Dia tertelungkup diam. Kening, telinga, mulut dan hidungnya melelehkan darah.

"Anjing! Melayu anjing, berani kau meludahiku, kupotong lidahmu " Sumpah si Babah dan mendekati tubuhnya. Si Bungsu benar-benar berada dalam keadaan kritis. Babah itu mengambil sebuah pisau dari atas meja. Dia nampaknya memang berniat melaksanakan sumpahnya untuk memotong lidah si Bungsu. Namun saat itu si Bungsu merasa ujung jarinya menyentuh sesuatu. Tanpa terlihat, masih dalam posisi tertelungkup, dia membuka mata.

Tiba-tiba semangatnya timbul lagi. Yang berada di ujung jarinya itu adalah samurainya!

Langkah si Babah makin mendekat. Makin dekat. Kaku berjongkok dan berniat memegang wajah anak muda itu untuk mengeluarkan lidahnya. Namun dengan gerakan yang hampir-hampir tak dapat dipercaya oleh semua orang yang ada dalam ruangan itu, si Bungsu berguling dua kali kekanan. Dua kali kekiri. Dalam gulingan yang amat cepat dan ringan dia melompat berdiri. Secarik cahaya putih berkelebat amat cepat. Tiga orang serdadu Jepang yang tadi menekan leher dan dadanya dengan sangkur masih melongo tatkala kilatan cahaya itu menerpa wajah mereka. Mereka terpekik dan roboh. Darah muncrat dari tubuh mereka. Kini si Bungsu tegak di atas unggukan uangnya dengan sikap seperti seekor Rajawali yang siap menyambar mangsanya. Samurainya terhunus melintang di depan dada. Samurai itu berlumuran darah. Matanya menatap tajam pada Babah gemuk itu.

"Siapa saja yang bergerak mencabut senjata atau berniat lari atau memekik, akan kucabut nyawanya. Tegak saja di tempat kalian baik-baik!" Ujar anak muda itu perlahan. Suaranya dingin dan penuh ancaman. Perwira Ichi yang semula berniat mencabut pistol, jadi tertegun. Tangannya terhenti di gagang pistolnya. Ancaman anak muda ini menggetarkan jantungnya. Namun jarak antara dia dengan anak muda itu cukup jauh. Lagipula tubuhnya terlindung oleh tubuh seorang wanita. Dia pasti aman kalau mencabut pistol itu diam-diam kemudian menembaknya pada tengkuk anak muda pongah ini. Dia sudah berniat untuk melaksanakan maksudnya.

Tapi entah kenapa tiba-tiba dia jadi ragu. Karenanya dia memberi isyarat dengan mata pada si Baribeh. Baribeh mengerti isyarat itu. Lelaki itu lalu bicara untuk mengalihkan perhatian si Bungsu.

"Bungsu, jangan berbuat kekacauan di sini. Engkau tak akan bisa lolos lihatlah, rumah ini telah dikepung .."

Dan waktu itulah pistol Ichi keluar dari sarungnya. Pistol itu sudah akan dia angkat. Malang dia tak mengetahui bahwa anak muda ini tidak sama dengan kebanyakan anak muda Melayu lainnya. Anak muda yang satu ini telah melatih indranya di gunung selama dua tahun lebih. Dia telah lolos dari kehidupan liar yang membutuhkan perjuangan keras untuk bisa tetap bertahan. Dia mampu bertahan hidup di tengah ganasnya belantara yang amat liar. Hidup di tengah hukum rimba. Dimana hanya yang kuat yang berhak untuk hidup. Yang lemah harus mau menjadi tumbal untuk kelangsungan hidupnya yang kuat. Dalam kehidupan di rimba belantara itu, kekuatan saja tidak menjadi jaminan untuk bisa memperpanjang nyawa. Kuat tanpa kecerdikan bisa konyol. Kuat dan cerdik saja juga belum tentu bisa selamat. Kewaspadaan dan ketajaman firasat serta pendengaran sangat dibutuhkan. Bagaimana caranya mengetahui seekor ular yang bergerak tanpa suara itu akan menyerang kita?

Bagaimana caranya mengetahui seekor harimau yang akan menerkam mangsanya, yang bergerak seringan kapas tanpa dilihat dan tanpa terdengar oleh mangsa yang akan diterkam. Makhluk di rimba raya memerlukan ketajaman firasat dan pendengarannya untuk bisa bertahan hidup. Inilah yang terpenting, bukan hanya kekuatan semata.

Burung, tupai atau kancil, adalah makhluk yang lemah tanpa daya. Namun mereka bisa hidup berkembang dan tak punah dalam belantara yang dipenuhi kebuasan itu berkat pendengaran dan firasat mereka yang tajam. Itu pulalah yang dipelajari si Bungsu selama mengasingkan diri selama dua tahun di gunung Sago. Dia bertekad untuk tetap hidup sekurang-kurangnya sampai dendam keluarganya terbalaskan. Kalau burung atau kancil saja bisa hidup, kenapa dia sebagai manusia yang berakal tidak? Kalau mereka mempunyai ketajaman pendengaran, kenapa dia tak bisa menirunya? Maka hiduplah dia di rimba itu sambil menimba banyak sekali kearifan hidup dari hewan yang purbani. Ternyata dia keluar sebagai pemenang. Tetap hidup sampai saat ini.

Itu pula yang terjadi di rumah babah gendut itu. Disaat Ichi menarik pistolnya, telinga si Bungsu yang mampu mendengar daun jatuh sekalipun saat di gunung sana, juga mendengar benda keras yang dicabut dari sarangnya. Firasatnya segera bekerja. Benda itu kalau tidak pisau pastilah pistol. Dalam waktu yang singkat sekali, dia menjatuhkan diri kebelakang. Punggungnya mencecah lantai. Kemudian kakinya bergulung keatas. Saat itu pistol meledak. Namun pelurunya menerpa tempat kosong. Dengan dua kali bergulingan amat cepat, si Bungsu melewati perempuan yang tegak di depan Ichi.

Perwira itu terkejut melihat anak muda itu tiba-tiba saja sudah berada di depannya. Pistol dia arahkan padanya. Namun samurai si Bungsu berkelebat. Tak ada pekikan. Perwira Jepang itu rubuh dengan bahu di dekat pangkal lehernya belah dua sampai ke dada. Bukan main. Benar-benar satu gerakan yang terlalu cepat untuk diikuti mata.

Seorang serdadu yang tegak di sisi Ichi justru ternganga menatap tubuh perwiranya yang jatuh tergolek dengan tubuh hampir terbelah dua. Tapi nasibnya juga sial. Tengkuknya disambar samurai si Bungsu. Kepalanya mengelinding ke bawah sebelum tubuhnya mencapai lantai. Mati.

Perempuan-perempuan pada terpekik. Si Bungsu tegak menghadap pada Babah gemuk itu. Si Babah terkejut melihat kecepatannya. Sementara si Baribeh dansi Juling tegak merapat kedinding belakang si Babah. Muka mereka pucat ketakutan. Tak pernah mereka bayangkan sedikitpun, bahwa anak muda yang pernah mereka lanyau di Surau ketika mereka kalah judi dahulu akan menjadi begini hebatnya.

"Hmm, lu jangan banyak lagag di depan we. Lu we bikin ayam potong". Ujar Si Babah sambil menyeringai buruk. Si bungsu memandangnya tak berkedip. Matanya yang biasa bersinar lembut kini membersitkan api amarah yang dahsyat. Samurainya membelintang di depan dada. Dia tegak dengan sikap gagah. Kemudian terdengar suarasuaranya bergema, dingin dan datar.

"Gendut, engkau telah hidup di negeriku ini sebelum aku dilahirkan. Bahkan mungkin kalian hidup sejak dari moyang kalian di sini. Di sini kalian hidup dan mencari nafkah. Pernah kalian diganggu anak negeri ini? Pernah kalian dihalangi untuk mencari nafkah? Tak pernah, kan? Bahkan kami menganggap kalian sebagian dari masyarakat kami. Kita sama-sama berhak hidup dan mencari kehidupan di negeri ini. Tapi apa kini yang kau perbuat untuk membalas kebaikan anak negeri ini? Yang telah berbaik hati menerima kalian hidup beberapa keturunan dengan damai di negeri ini?"

Dia berhenti sebentar, lalu:

"Ternyata kau khianati negeri ini pada Jepang. Engkau menjadi musuh dalam selimut bagi anak negeri yang telah puluhan tahun hidup bersamamu. Benar-benar sikap jahanam yang laknat. Demi uang engkau sudi berbuat apa saja. Tapi demi Tuhan, engkau harus mati malam ini. Harus, Gendut!"

Sumpah anak muda ini mau tak mau membuat bulu tengkuk Babah itu merinding. Si Baribeh dan si Juling tak berani berkutik. Tegak mematung dengan tubuh menggigil di tepi dinding. Kedua lelaki Minang ini sampai terkencing-kencing di celananya. Si Babah gendut itu nampaknya juga mengetahui bahwa anak muda di depannya ini tidak hanya menggertak sambal. Anak muda itu sanggup melaksanakannya. Karena itu dia mulai menyerang, tubuhnya seperti lenyap di bungkus sinar. Bukan main cepatnya dia bergerak. Si Bungsu buat sesaat jadi tertegun. Dia bukan pesilat, apa yang harus dia perbuat?

Suatu saat dia rasakan angin mengarah keperutnya. Dia tak melihat serangan. Tapi dia yakin angin itu berasal dari pukulan Gendut itu. Satu-satunya jalan yang bisa diambilnya adalah menghantamkan samurainya. Bersamaan dengan itu tubuhnya berguling kesamping. Namun terlambat! Sebuah tikaman menghantam pahanya. Bukan main sakitnya, dia terpekik. Darah mengucur lagi! Si Babah memburu terus.