Dia lalu berganti pakaian dengan kain sarung. Kemudian ke kamar mandi berwudhuk. Mei-mei belum tertidur. Dia melihat anak muda itu sembahyang. Dia melihat tubuh anak muda yang semampai itu. Bermuka lembut atau lebih tepat dikatakan murung. Sinar matanya sayu. Ketika si Bungsu selesai sembahyang Isa, ketika dia menoleh mengucapkan salam dia melihat Mei-mei belum juga tidur. Masih menatap padanya. Dia tersenyum pada gadis itu.
"Belum tidur Moy-moy ?"
Mei-mei menggeleng. Kemudian duduk di sisi tempat tidur. Si Bungsu masih duduk di lantai yang beralas tikar. Mei-mei pindah duduk ke bawah, duduk tak jauh dari si Bungsu.
"Koko sembahyang apa ?"
"Isa .."
"Kenapa orang Islam harus sembahyang lima kali sehari semalam ?"
"Karena begitu suruhan Tuhan .."
"Tidak melelahkan ?"
Bungsu menatap Mei-mei. Dia tersenyum. Pertanyaan begitu pernah memenuhi tengkoraknya dulu. Ketika ayahnya selalu menyuruhnya sembahyang. Waktu itu dia bukan hanya sekedar bertanya, tapi malah membangkangi suruhan ayahnya. Tak mau sembahyang. Buat apa sembahyang, pikirnya. Kesempatan untuk bersuka ria adalah waktu muda. Kelak kalau sudah tua, barulah sembahyang. Lagi pula, sembahyang lima kali sehari semalam, alangkah seringnya.
Kenapa sembahyang itu tidak hanya sekali seminggu, atau paling tidak sekali dua hari misalnya. Itu mungkin lebih ringan, namun ketika sendirian di Gunung Sago, ketika dia bersujud menyembah Allah di tengah belantara, dia merasakan betapa tentram hatinya saat dan setelah sembahyang.
Dia merasakan betapa Tuhan melindunginya. Dia merasakan suatu kedamaian setiap selesai sembahyang. Dia merasakan seperti mendapat tenaga dan semangat baru selesai sholat. Ya, itulah intinya. Menemukan kedamaian dan ketentraman, menemukan semangat dan tenaga baru, setelah mengerjakan suruhan Tuhan.
Perlahan dia menjawab pertanyaan Mei-mei,
"Tidak ada pekerjaan yang melelahkan, bila pekerjaan itu dikerjakan dengan ikhlas. Apalagi kalau kita mencintai pekerjaan itu Moy-moy"
Mei-mei menatapnya.
"Engkau pernah sembahyang Moy-moy ?"
Mei-mei menggeleng.
"Waktu kecil bersama ibu saya pernah sembahyang. Tapi semenjak ibu meninggal, saya tak lagi pernah melakukannya .." ujar Gadis itu sembari menunduk.
"Nah, tidurlah Moy-moy. Koko juga mengantuk .."
Namun mereka belum sempat membaringkan dirinya di tempat tidur, ketika terdengar suara heboh. Suara heboh itu diikuti oleh suara menggedor pintu kamar mereka.
"Hei beruk yang ada di dalam. Buka pintu ini cepat"
Suara berat terdengar memerintah. Dari suara yang berbahasa Minang itu, si Bungsu segera tahu bahwa orang di luar adalah lelaki asal daerah ini. Dia menatap pada Mei-mei yang tertunduk di tepi pembaringan. Kemudian mengambil samurainya. Kemudian melangkah kepintu.
"Tenang saja di dalam Moy- moy. Jangan buka pintu kalau bukan saya yang menyuruhnya.."
"Koko .." gadis itu berlari memeluknya.
"Tenanglah .."
"Jangan tinggalkan saya koko .."
"Tidak. Saya akan kembali .."
"Saya akan bunuh diri kalau koko meninggalkan saya.."
"Tenanglah. Nah kunci pintu .."
Dia muncul di gang di luar kamarnya. Di depan pintu, orang lelaki berjambang kasar tegak berkacak pinggang. Begitu dia muncul, lelaki itu mencekal lengannya. Kemudian menariknya keruang tengah. Mendorongnya hingga si Bungsu terjajar.
"Ini beruk yang waang katakan itu Pudin ?" orang bertubuh kasar itu berkata.
Si Bungsu menatap pada orang itu. Dan dia segera kembali mengenali kelima lelaki yang mencoba merampoknya tadi. Di sana juga ada sopir bus.
"Benar. Dialah orangnya Datuk .." jawab si Kurus.
Orang bertubuh besar itu menggerendeng. Sementara penghuni penginapan yang lain tak berani menampakkan muka. Mereka lebih merasa aman berada rapat rapat di bawah selimut daripada mencampuri urusan orang yang satu ini.
"Waang telah melukai anak buah saya buyung. Itu hanya bisa dibayar dengan dua hal. Pertama dengan seluruh isi bungkusan yang waang bawa. Atau kalau waang keberatan, maka harus waang bayar dengan nyawa waang dan tubuh bini waang …" dan si Tinggi besar itu meludah.
Hampir saja dahaknya mengenai kepala si Bungsu. Si Bungsu tegak dengan diam. Muaknya muncul melihat lelaki ini. Dia teringat lagi akan cerita kedua perempuan yang sama sama satu bus dengannya tadi. cerita tentang perampokan yang dilakukan oleh orang Minang terhadap orang orang yang bepergian dengan bus. Dia lihat, selain si Besar tinggi ini, masih ada temannya yang lain. Jumlah mereka kini sembilan orang. Hanya yang menjadi heran di hatinya adalah keberanian penyamun penyamun ini muncul di tengah kota. Nampaknya mereka tak merasa gentar sedikitpun pada Kempetai Jepang. Selama hidup beberapa bulan di Payakumbuh, si Bungsu mengetahui, bahwa tentara pendudukan Jepang menjalankan roda pemerintahan dengan ketat. Mereka menangkapi para penjudi dan perampok. Kini sembilan lelaki ini berani muncul di tengah kota. Apakah mereka memang orang bagak. yang pada Kempetai sekalipun mereka tak merasa takut? Atau barangkali karena hari sudah lewat tengah malam, mereka tahu bahwa bakal takkan ada patroli Kempetai. Atau barangkali mereka memang dilindungi oleh Jepang ?
Tapi dia tak sempat berfikir dan menyimpulkan pikirannya. Datuk bersisungut (berkumis) dan bertubuh besar itu telah memberi isyarat pada kedua anak buahnya. Dan kedua lelaki itu segera bertindak. Yang satu menangkap tengkuk si Bungsu, yang satu lagi memegang tangannya. Si Bungsu menghantamkan samurainya yang masih bersarung itu. Kayu samurai tersebut menghantam leher dan kepala lelaki itu dengan keras. Kedua lelaki itu terpekik. Namun mereka maju lagi.
Kedua lelaki itu berhenti sedepa di depan si Bungsu. Sebuah kilatan cahaya putih yang amat cepat menahan gerakkan mereka. Mereka tertahan karena tiba tiba saja setelah kilat cahaya yang amat cepat itu, dada mereka merasakan terasa amat pedih. Dan ketika mereka lihat, pakaian mereka telah robek lebar dari pundak ke perut. Dari balik pakaian yang robek seperti disayat pisau silet itu, merembes darah segar. Mereka memang tidak rubuh. Karena si Bungsu hanya sekedar melukai mereka saja.
"Hari telah larut malam. Saya tak bermusuhan dengan kalian. Saya harap jangan menganggu kami .." ujar si Bungsu datar. Sementara samurainya telah masuk kesarungnya kembali.
Di sudut lain, dua lelaki yang tadi berjalan ke kamar dimana Mei-mei berada, sekali mendobrak berhasil menghantam pintu kamar sehingga terbuka. Terdengar pekikan Mei-mei. Si Bungsu bergerak ke kamarnya. Namun Datuk yang tak diketahui namanya itu menghadangnya bersama empat temannya yang lain. Dan saat itu kedua lelaki yang masuk kamar tadi muncul dengan bungkusan mereka dan Mei-mei dalam ringkusan tangannya. Nyata sekali gadis itu menderita akibat cengkeraman tangan orang yang meringkus bahunya.
"Koko .. ", rintihannya dengan air mata yang mengalir. Melihat hal itu si Bungsu menatap Datuk bersungut itu dengan kemarahan besar. Datuk itu dapat membaca kemarahan itu. Dia menyeringai dan berkata :
"Hee .. waang beruntung buyung, bisa berbini cina. Tentu lamak(enak) ya ..? He .. he ..saya juga ingin mengicok(mencoba) sedikit. Kau boleh menonton .."
Habis berkata Datuk buruk bersungut ini berbalik. Menarik tangan Mei-mei. Wajah si Bungsu menegang. Dia sebenarnya tak ingin menurunkan tangan kejam lagi pada bangsanya sendiri. Dia tak bisa menghitung sudah berapa banyak nyawa yang telah dia rengut lewat samurainya. Namun dari sebanyak itu yang terbunuh, baru dua orang Minang yang jadi korban. Baribeh dan si Juling yang dia bunuh bersama si Babah mata mata itu.
Kedua orang itu memang berhak mendapatkan kematian. Sebab mereka memata matai perjuangan bangsanya sendiri. Bekerja untuk cina yang jadi mata mata Jepang. Cina yang menjadi penggerak Komunis. Tapi kini nampaknya dia terpaksa berlaku kejam lagi. Sejak tadi dia bersabar. Membiarkan dirinya dibekuk dan diseret dari depan kamar. Membiarkan dirinya dihina.
Tapi ketika si Datuk kalera itu merobek baju Mei-mei dan gadis itu terpekik, saat itu pula samurainya di tangannya bekerja. Tiga lelaki yang tegak tak jauh darinya, yang tadi ikut bersamanya dalam bus dan berusaha merampok mereka, terpekik dan rubuh dengan dada belah. Mati. Datuk itu tertegun. Teman temannya yang lain kaget.
"Ohooo ..jual lagak waang pada saya ya ? Waang sangka saya takut dengan permainan samurai waang itu he"
Sehabis ucapkannya tangannya bergerak menyentak kain Mei-mei. Pakaian gadis itu robek lebar. Dan dengan jahanam sekali, tangan Datuk itu meremas dada gadis itu. Mei-mei terpekik. Dengan cepat setelah mencabik baju Mei-mei Datuk itu berbalik menerjang kearah si Bungsu. Bukan main cepatnya kejadian itu berlangsung. Mulai dari menyobek baju hingga menyerang, hanya berlalu beberapa detik. Si Bungsu masih tertegun ketika serangan datuk itu datang. Dia berusaha mengelak. Namun Datuk ini seorang pesilat yang tangguh. Terjangan nya mendarat di pusat si Bungsu. Anak muda itu terjajar menghantam dinding di belakangnya. Kemudian tubuhnya melosoh turun. Matanya berkunang-kunang. Dia ingin bangkit. Tapi Datuk itu datang lagi menerjang. Dan kali ini rusuknya kena. Rusuk kiri. Terdengar suara berderak. Tanpa dapat ditahan si Bungsu terpekik. Dua tulang rusuknya kupak. Datuk itu menerjang lagi dengan seringai buruk di bibirnya. Tubuh si Bungsu tercampak dari kaki penyamun yang satu ke kaki penyamun yang lain. Itulah malangnya karena tadi dia masih tenggang menenggang. Tak segera bersikap tegas kepada lelaki lelaki ini.
Padahal dia sudah diberitahu oleh kedua perempuan yang satu bus dengannya dari Payakumbuh itu. Bahwa lelaki lelaki itu adalah penyamun-penyamun yang sering merampok pedagang yang dalam perjalanan ke Bukittinggi dari Payakumbuh atau dari Padang Panjang. Dia terlalu menenggang. Dia hanya ingin membunuh Jepang yang membunuh keluarganya. Yang menjajah negerinya. Dia tak ingin membunuh bangsanya sendiri. Ternyata belas kasihannya memakan dirinya sendiri. Mei-mei memekik mekik melihat tubuh si Bungsu tercampak dari satu kaki ke kaki yang lain.
"Jangan siksa dia.... Jangan siksa diaaa. Kuserahkan apa yang kalian minta.Jangan siksa dia … Koko …Koko", Mei Mei menatap memohon.
Lambat lambat di antara rasa sakit dan terguling guling di lanyau cuek itu, si Bungsu mendengar suara Mei-mei. Hatinya luluh ketika mendengar betapa gadis itu bersedia memberikan apa saja, termasuk dirinya, asal lelaki lelaki itu berhenti menganiaya dirinya. Dia coba menyusun ingatannya kembali. coba mengingat dimana samurai nya terjatuh. Lalu, tiba tiba sekali, dengan sisa sisa tenaga tubuhnya bergulingan amat cepat. Dengan mengandalkan pendengaran nya yang amat tajam, telinganya menangkap suara samurainya yang tersentuh kaki salah seorang lelaki itu.
Seperti magnit, ke sanalah tubuhnya bergulingan amat cepat. Para lelaki itu masih berusaha mengejarnya. Masih belum mengetahui dengan sepenuhnya bahwa tubuh anak muda itu bergulingan bukan lagi karena tendangan mereka. Ketika mereka memburu lagi, saat itulah tangan si Bungsu berhasil meraih samurainya. Dia tak bisa tegak sempurna. Rusuknya yang patah di sebelah kiri menghalangi gerakannya. Namun dengan berlutut tiba tiba samurainya bekerja. Dalam tiga kali gerakan pertama, tiga lelaki dimakan samurainya. Perut mereka robek. Ada yang dadanya belah. Menggelepar dan mati. Datuk itu kaget. Tapi dia memang seorang pesilat tangguh. Dia menendang cepat sekali. Wajah si Bungsu berubah keras seperti baja. Ketika kaki Datuk itu menendang ke wajahnya, samurainya bekerja. Dan amat cepat sekali, kaki datuk itu buntung sebatas lutut. Yang seorang lagi, yang menyerang dengan keris dia pancung tentang pinggangnya. Pinggang lelaki itu hampir putus. Datuk itu terpekik, namun si Bungsu menggeser tubuh. Dan samurainya kembali bekerja. Kaki kiri Datuk itu putus sebatas betis. Datuk itu terguling. Samurai si Bungsu bekerja lagi.