Si Bungsu memang seperti mendapatkan seorang adik. Dia pernah merasakan kasih sayang seorang kakak yang kemudian mati diperkosa Saburo. Kini dia seperti mendapatkan kembali tempat menumpahkan sayang yang telah hilang itu. Akan halnya Mei-mei, gadis Tionghoa malang yang berusia tujuh belas tahun itu adalah anak tunggal yang hidupnya selalu teraniaya. Lelaki yang diharapkannya menjadi pelindungnya adalah ayah tirinya.
Tetapi lelaki itu, si Babah gemuk komunis itu, ternyata telah menjualnya dari satu lelaki ke lelaki yang lain. Gadis yang tak pernah mendapatkan perlindungan dan kasih sayang itu kini ada dalam pelukan seorang pemuda Melayu yang telah membalaskan dendamnya, dan pemuda itu memanggilnya dengan sebutan adik, alangkah terlindungnya dia terasa.
"Apakah Koko akan pergi ke Batusangkar mencari Saburo ?" Mei-mei bertanya ketika mereka kembali ke ruangan pertama.
Si Bungsu menatapnya. "Kalau aku pergi, dengan siapa engkau tinggal di sini, Moy-moy?"
Gadis itu menunduk. Lama dia menatap jari jari tangannya. Kemudian ketika dia mengangkat kepala, si Bungsu melihat matanya basah. Gadis itu berkata perlahan :
"Di sini tak ada lagi orang tempatku berlindung. Kalau aku tidak akan mendatangkan kesusahan bagi koko, aku ikut dengan koko. Kemanapun koko pergi …" Air mata lambat lambat membasahi pipinya. Nyata sekali suaranya adalah suara gadis yang dirundung sepi.
Suara gadis yang amat butuh perlindungan dan kasih sayang. Suara seorang gadis yang mulai menginjak usia remaja, yang selalu ingin dekat dengan orang yang disayangi. Si Bungsu menarik nafas panjang. Dia benar benar menyayangi Mei-mei. Bukan karena gadis itu amat cantik bukan pula karena gadis itu telah menolong nyawanya. Tapi gadis itu dia sayangi karena si gadis memang harus disayangi. Harus dilindungi. Dalam kasih sayang, perbedaan kulit dan asal usul tak pernah menjadi hambatan. Sebab rasa sayang muncul dari dalam tidak dipermukaan.
"Apakah ada familimu di Batusangkar ?" Mei-mei menggeleng.
"Di Bukittinggi?"
"Kalau di Bukittinggi ada. Adik jauh ibu. Tinggal di Kampung cina …"
Si Bungsu berfikir. Di akan mengantarkan gadis ini terlebih dahulu ke Bukittinggi. Di sana dia bisa tinggal di rumah saudara ibunya itu. Untuk dibawa kemana pergi memang akan menyusahkan. Bukan karena dia tak mau. Tapi yang akan dia hadapi adalah bahaya melulu. Dan dia tak mau membawa bawa Mei Mei kedalam bahaya. Nanti kalau urusannya dengan Saburo di Batusangkar selesai, dia akan menjemputnya ke Bukittinggi.
"Baiklah. Kita akan pergi ke Bukittinggi bersama, kalau keadaan telah memungkinkan …"
"Terima kasih koko, terima kasih"
Mei-mei melompat memeluk si Bungsu.
Dia sangat bahagia bisa pergi bersama anak muda itu. Belasan tahun dia hidup di rumah ini. Disekap tak boleh keluar. Dia hanya bisa keluar dikala Hari Raya Imlek. Itupun tidak bisa jauh jauh. Tugas berat selalu menantinya di rumah. Memuaskan nafsu perwira perwira Jepang. Kini dia bersumpah untuk meninggalkan semua pekerjaan laknat yang dipaksakan padanya itu. Dia akan tobat dan minta ampun pada Tuhan. Tapi mereka baru bisa meninggalkan rumah itu setelah masa dua minggu. Sebab selama jangka waktu itu, Kempetai tetap mengawasi rumah tersebut dengan ketat.
Mei-mei terpaksa minta bantuan pembantunya, seorang wanita Minang, untuk membelikan keperluan mereka kepasar. Dan suatu malam, yaitu di saat mereka sudah merasa pasti untuk bisa melarikan diri, mereka lalu keluar dalam hujan lebat. Dengan membayar cukup tinggi, mereka bisa menompang sebuah bus yang akan berangkat ke Padang. Bagi mereka soal uang tak jadi halangan. Uang judi yang dimenangkan oleh si Bungsu ternyata diselamatkan Mei-mei ketika dia membersihkan jejak si Bungsu sesaat sebelum Kempetai mendobrak pintu. Selain itu, mereka juga berhasil menemukan simpanan uang dan perhiasan emas milik ayah tiri Mei-mei. Jumlahnya bisa membuat mereka jadi orang kaya. Uang itu didapat si Babah dari hasil judi, hasil menjadi mata mata untuk Belanda dan Jepang, dan hasil menjadi germo bagi beberapa perempuan di rumahnya itu. Termasuk diri Mei-mei.
Di dalam bus itu hanya ada beberapa lelaki dan tiga orang perempuan. Perempuan yang dua separo baya, yang satu lagi adalah Mei-mei. Selain ketiga perempuan itu, penompang yang lainnya adalah enam orang lelaki. Dalam hujan lebat, bus itu melaju membelah jalan raya yang nampaknya seperti ular raksasa berwarna hitam. Memanjang dan meliuk liuk di tiap tikungan. Lima lelaki penompang bus itu tak pernah menoleh ke belakang ketempat si Bungsu dan Mei-mei. Mereka hanya memandang sekali, yaitu ketika naik tadi. Setelah itu, kelima lelaki itu tetap memandang kedepan dalam kebisuan. Namun si Bungsu yang telah hidup di rimba raya, yang kini memiliki indera yang amat tajam, dapat merasakan bahaya yang datang dari kelima lelaki itu. Meski lelaki lelaki itu berdiam diri saja, bahkan saling berbisikpun tidak, namun firasatnya yang tajam membisikkan akan adanya bahaya. Dia tetap diam. Sementara bus itu berlari sambil terguncang guncang karena jalan yang berlobang lobang. Dalam diamnya dia mulai membuat perhitungan. Kenapa kelima lelaki ini sampai berniat tak baik pada mereka. Apakah itu hanya hayalannya saja? Tidak, dia tak pernah dibohongi oleh firasatnya.
Nah, mungkin ada tiga sebab kenapa mereka ingin berbuat tak baik. Pertama mungkin melihat Mei-mei yang cantik. Dizaman Jepang berkuasa, hampir tak pernah orang melihat perempuan cantik berada di luar rumah. Nah, mungkinkah lelaki lelaki ini menginginkan tubuh Mei-mei? Atau barangkali mereka telah mencium bahwa di dalam bungkusan yang dia bawa tersimpan uang dan perhiasan emas yang nilainya amat tinggi? Atau barangkali juga mereka mengetahui, bahwa Mei-mei berasal dari rumah bordil dimana si Babah menjadi mata-mata. Karena itu mereka menduga bahwa Mei-mei adalah mata mata Jepang pula. Kalau dugaan terakhir ini benar, maka si Bungsu tak begitu khawatir. Sebab tentulah kelima lelaki itu dari pihak pejuang pejuang Indonesia. Atau para lelaki itu merasa curiga atas kehadiran mereka berdua, sepasang anak muda, yang satu cina dan yang satu Melayu?
Pikirannya masih belum rampung, ketika bus tiba tiba berhenti. Dari cahaya lampu bus, si Bungsu segera mengetahui, bahwa mereka tidak lagi berada pada jalan utama menuju Bukittinggi. Nampaknya sebentar ini ketika dia melamun, bus telah dibelokkan kesuatu jalan kecil dimana dia kini berhenti. Si Bungsu mulai merasa bahwa firasatnya tadi akan terbukti. Kelima lelaki itu turun satu demi satu. Akhirnya tinggal kedua perempuan separoh baya tadi, si Bungsu, sopir dan seorang lelaki yang bertubuh kurus dan Mei-mei.
"Turunlah sanak berdua sebentar" Seorang lelaki yang bertubuh kurus, saat akan turun berkata pada si Bungsu. si Bungsu menatap saat dia turun.
"Dimana kita sekarang ..?" si Bungsu bertanya pada sopir.
"Disinilah", sopir itu menjawab seadanya.
Dari jawaban itu si Bungsu tahu, bahwa sopir bus berada dipihak kelima lelaki itu.
"Mengapa kami harus turun ?" si Bungsu bertanya pada si Kurus yang sudah menjejakkan kakinya di tanah.
"Turun sajalah kalau sanak mau selamat …"
Si Kurus itu berkata dengan suara kering serak. Mei-mei merapatkan duduknya pada si Bungsu. Tangannya memeluk tangan si Bungsu erat erat.
"Jangan turun koko ..jangan turun .." gadis itu berbisik ketakutan.
"Diamlah Moy-moy …"
"Hei, waang yang ada di atas, turunlah bersama anak cina itu"
Tiba tiba terdengar bentakan dari bawah. Mei-mei makin mengeratkan pegangan tangannya pada si Bungsu.
"Kenapa kita tak terus saja ?" si Bungsu masih mencoba bertanya pada sopir.
"Lebih baik kau turun saja daripada tubuhmu dilanyau mereka .." Sopir itu menjawab dingin.
Namun si Bungsu tak beranjak dari tempat duduknya. Tempat dimana mereka duduk, kebetulan tak ada jendela di kiri kanannya Jadi mereka aman. Sebab dinding bus itu terbuat dari kayu tebal. Yang ditakutkan si Bungsu adalah kalau kelima lelaki itu memiliki senjata api. Kalau ada, maka dia dan Mei-mei bisa celaka. Tapi kalau tidak dia merasa aman di atas bus ini.
"Kami beri waang kesempatan satu menit untuk turun. Kalau tidak. waang akan kami seret ke bawah .." terdengar lagi bentakan.
"Kenapa tak sanak katakan saja apa maksud sanak sebenarnya ?" si Bungsu menjawab.
"Turunlah. Jangan banyak cakap waang di sana …"
"Kalau sanak yang punya keperluan, silahkan naik lagi dan kita berunding di sini. Saya tak punya keperluan untuk turun" jawab si Bungsu.
Terdengar sumpah serapah dan carut marut dari kelima lelaki di bawah itu.
Namun si Bungsu tetap duduk diam di tempatnya. Ketika mereka menyuruh turun lagi, si Bungsu membisikkan sesuatu pada Mei-mei. Kemudian kedua anak muda ini bangkit dari tempat duduknya. Mereka seperti akan turun, tapi ternyata tidak. Si Bungsu hanya pindah tempat.
Kini mereka duduk persis di belakang sopir. Melihat keras kepala anak muda ini, dua orang segera naik dengan maksud menyeretnya kebawah. Si Bungsu sampai saat itu masih belum mengetahui siapa mereka sebenarnya. Apakah orang yang berniat merampok saja atau dari pihak pejuang.
Dia tak mau salah turun tangan. Sebab dia sudah bersumpah takkan menurunkan tangan jahat pada pejuang pejuang Indonesia. Sama halnya seperti dia dilanyau oleh anak buah ayahnya di dekat Mesjid ketika mula pertama turun gunung dulu. Dia tak sedikitpun mau membalas pukulan pukulan mereka. Meskipun dengan mudah dia bisa membunuh orang orang itu. Kinipun, ketika kedua orang itu naik lagi keatas bus dengan wajah berang, dia berkata dengan tenang :
"Saya harap sanak mengatakan apa maksud sanak sebenarnya. Apa yang sanak inginkan dari kami .."
"Jangan banyak bicara waang. Anjing" Lalu tangan orang itu dengan kasar merengutkan bahu Mei-mei. Gadis ini terpekik. Dan sampai di sini si Bungsu mengambil kesimpulan, bahwa orang ini bukan dari pihak pejuang Indonesia. Dia kenal sikap pejuang pejuang bangsanya. Tak mau berlaku kasar dan kurang ajar. Tangannya bergerak dan lelaki yang tengah mencekal tangan Mei Mei itu terpekik. Dia merasa dada dan lengannya pedih. cekalan pada tangan Mei-mei dia lepaskan. Dan dia lihat dada serta lengan yang tadi terasa pedih itu berdarah. Temannya yang satu lagi melompati bangku menerjang si Bungsu. Namun dalam bus sempit itu, gerakan jadi terhalang. Dan kembali dia terpekik ketika samurai di tangan si Bungsu bekerja. Pahanya robek dan mengucurkan darah. Mendengar temannya terpekik, ketiga temannya yang di bawah melompat naik. Melihat kedua temannya itu luka, ketiga mereka lalu menghunus golok yang tersisip di pinggang. Tapi apalah artinya gerakan mereka dibandingkan dengan gerakan anak muda ini. Dua kali gerakan dengan masih tetap duduk dan sebelah tangan memeluk bahu Mei-mei, ketiga orang itu pada melolong panjang. Golok di tangan mereka terpental. Dan tangan serta wajah mereka robek. Masih untung bagi kelima orang ini, karena si Bungsu tak menurunkan tangan kejam pada mereka.
Anak muda itu hanya sekedar melukainya saja. Tak berniat membunuh. Ketika kelima lelaki itu terperangah di tempat duduk mereka, si Bungsu menekankan ujung samurainya pada sopir. inilah maksudnya pindah kebelakang sopir itu. Yaitu agar mudah mengancamnya untuk menjalankan bus. Dengan suara datar, dia berkata:
"Kalau kudukmu ini tak ingin kupotong, jalankan kembali bus ini…"
Sopir itu sudah sejak tadi pucat. Begitu terasa benda runcing dan dingin mencecah tengkuknya, tubuhnya segera menggigil. Seperti robot dia kembali menghidupkan mesin bus. Beberapa kali bus itu hidup mati mesinnya. Sebab sopir itu salah memasukkan gigi.
"Tenanglah, kalau tidak nyawamu kucabut dengan samurai ini" Si Bungsu berkata.
"Ya .. ya pak. Saya tenang .. saya tenang .." Sopir itu menjawab sambil menghapus peluh.
Bus itu berjalan. Kembali memasuki jalan utama menuju Bukittinggi. Kembali merangkak terlonjak lonjak dijalan yang berlobang lobang. Deru mesinnya seperti batuk orang tua yang sudah sakit menahun, cukup lama bus itu berkuntal kuntil ketika tiba tiba sopir menginjak rem.
"Ada pemeriksaan oleh Kempetai ....." sopir berkata.
Mei-mei, menatap pada si Bungsu. Si bungsu menyimpan samurainya. Kelima lelaki yang luka itu saling memandang.
"Mau kemana ..?" suatu suara serak bertanya dari bawah kepada sopir. Buat sesaat sopir itu tergagap tak tahu apa yang harus dijawab. Sebuah kepala menjulur kedalam. Memperhatikan isi bus tua itu. Memperhatikan wajah yang luka luka.
"Hmm, ada yang luka. Kenapa ?"
"Kami baru saja dirampok di bawah sana .." si Bungsu berkata.
"Di mana ada rampok ?" Jepang itu balik bertanya.
"Di Padang Tarab .." sopir menjawab cepat.
"Siapa yang merampok ?"
"Orang Melayu .."
"Berapa orang ..?"
"Ada delapan orang. Mereka semua memakai pedang.." salah seorang yang luka itu menjawab.
"Mereka tidak merampok perempuan ?" Jepang itu bertanya lagi. Sementara matanya nanar menatap Mei-mei yang duduk memeluk si Bungsu.
"Semula mereka memang ingin. Tapi begitu dia ketahui bahwa gadis ini sakit lepra, mereka cepat cepat menyingkir. Dan hanya uang kami yang mereka sikat …" jawab si Bungsu.
"Lepra ..?" Jepang itu bertanya kaget.
"Ya. Isteri saya ini sakit lepra .. akan dibawa kerumah sakit Bukit Tinggi .." si Bungsu menjawab lagi.
Kepala Jepang itu dengan cepat menghilang keluar. Kemudian terdengar perintah untuk cepat cepat jalan. Bus itu kemudian merayap lagi. Mereka semua menarik nafas lega. Kelima lelaki itu menjadi lega, karena mereka lepas dari tangan Kempetai. Sebab merekalah yang melakukan beberapa kali perampokan di sepanjang jalan Bukittinggi Payakumbuh. Dan bus ini salah satu alat mereka untuk itu. Si Bungsu tak mengetahui, bahwa yang dia lukai adalah perampok perampok, orang Minang yang mempergunakan kesempatan dalam kesempitan orang yang mengail di air keruh. Ketika penduduk sedang ketakutan dan menderita di bawah kuku penjajahan Jepang, mereka menambah penderitaan itu dengan merampok. Padahal yang mereka rampok hanya orang-orang sebangsanya, mana berani mereka merampok tentara Jepang. Tapi malam ini mereka mendapat pelajaran pahit dari anak muda ini. Untung saja anak muda ini tak mengetahui sepak terjang mereka selama ini. Kalau saja si Bungsu tahu, mungkin kelima lelaki ini sudah mampus semua.
Bungsu merasa lega karena dia lepas dari pengawasan Kempetai. Kalau saja mereka tahu, bahwa dialah yang membunuhi Jepang di bulan-bulan terakhir ini, mungkin dia akan mati mereka tembak di dalam bus ini. Untung saja mereka tak tahu.
Sementara itu Mei-mei menatap si Bungsu dengan perasaan takjub. Dia merasa takjub, dan amat berdebar mendengar ucapan si Bungsu yang terakhir pada Jepang itu :
"Isteri saya ini sakit lepra .. akan dibawa kerumah sakit" Kata kata Isteri saya ini yang diucapkan si Bungsu mengirimkan denyut amat kencang kejantungnya. oh, kalau saja benar bahwa anak muda ini menjadi suaminya, alangkah bahagianya dia. Dia merasa aman dalam pelukannya. Merasa tentram dan terlindungi di sisinya. Si Bungsu merasa gadis itu tengah menatapnya. Dia balas menatap.
"Moy- moy .." katanya sambil tersenyum.
"Koko.."
"Sebentar lagi kita akan sampai di Bukittinggi .." bisiknya.
Mei-mei hanya mengangguk. Kemudian menyandarkan kepalanya ke bahu si Bungsu. Bus itu tadi dicegat lagi oleh Kempetai di pos penjagaan di Baso. Mereka memang tengah mendekati Bukittinggi. Kota itu mereka masuki hampir tengah malam.
"Antarkan saya kepenginapan .." si Bungsu berkata pada sopir.
"Ya .. ya.." sopir yang masih merasa ngeri pada samurai di tangan anak muda yang berada di belakangnya ini menjawab cepat.
Bus berhenti di sebuah penginapan di Aur Tajungkang. Sebelum turun, si Bungsu menoleh kepada ke lima lelaki yang masih tersandar dan luka luka itu.
"Saya tak pernah menyusahkan sanak sebelum ini. Saya tak mau kita berurusan lagi. Ingatlah itu.." katanya perlahan.
Kemudian dia membimbing tangan Mei-mei turun dari bus. Meninggalkan para rampok itu terperangah. Diam dan mati kutu. Dua orang perempuan separoh baya yang sejak tadi duduk ketakutan di belakang, ikut bergegas turun di penginapan itu. Mereka adalah dua orang perempuan yang berjualan kacang dan jagung dari Bukittnggi ke Payakumbuh dan Padang Panjang. Ketika mereka sama sama mendaftar di penginapan kecil itu, kedua perempuan itu menceritakan tentang perampokan yang beberapa kali pernah terjadi terhadap pedagang pedagang.
"Apakah kelima orang tadi adalah perampok itu ?" tanya si Bungsu.
"Tak tahu kami. Kebetulan kami tak pernah mengalami nasib kena rampok. Tapi beberapa teman yang telah pernah mengalami mengatakan, bahwa perampok perampok itu memang orang awak jua. Dan caranya memang seperti tadi. Sama sama menompang bus. Kemudian berhenti di tempat sepi. Untung ada anak muda. Kalau tidak. pastilah kami yang kena rampok …"
Si Bungsu terdiam. Kemudian mereka masuk kekamar karena hari sudah larut malam. Karena semua kamar penuh, maka dia terpaksa satu kamar dengan Mei-mei. Untung dalam kamar itu ada dua tempat tidur.
"Tidurlah Moy- moy. Besok kita cari famili ibumu yang di Kampung cina.." katanya perlahan
"Koko tidak tidur ?"
"Ya. Saya juga akan tidur. Tapi saya akan sembahyang dulu"