Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 14 - Tanggung Jawab Eraito

Chapter 14 - Tanggung Jawab Eraito

Untuk beberapa saat si Bungsu terpaksa berguling dengan meniru loncat tupai itu. Untuk beberapa saat nampaknya dia teringat lagi pada perkelahiannya yang terakhir di gunung Sago melawan dua cindaku. Ya, kenapa dia tidak bertahan tegak saja sambil memejamkan mata? Bukankah dia bisa mengandalkan pendengarannya yang tajam itu.

Kalau dia mengelak terus begini, tenaganya akan habis. Gerakkannya akan lamban. Dan bila sudah begitu maka kesempatan untuk menangkis serangan juga tak ada lagi. Maka kini dia harus merobah taktik. Si Babah ini nampaknya memang seorang pesilat Cina yang tangguh.

Firasatnya yang mencurigai si Babah ketika mula-mula masuk tadi ternyata benar. Si Babah tidak hanya berilmu silat yang tinggi, tetapi juga seorang mata-mata yang amat berbahaya.

Si Bungsu bergulingan menjauh. Saat berhasil menjauhi si Babah dia tegak kemudian memejamkan mata. Dia mendengar nafas memburu dan suara gigilan di belakangnya. Kemudian langkah menggeser. Masih dalam keadaan memejamkan mata, dan masih dalam keadaan merasakan sakitnya telinganya yang koyak, keningnya yang luka dihantam dadu si Babah, dan paha yang luka kena tikam pisau, dia menghayunkan samurainya kebelakang. Si Baribeh dan si Juling yang berada di belakangnya, yang ingin menggeser tegak dari belakang anak muda itu, tiba-tiba terpekik. Bajunya robek dihantam samurai si Bungsu. Dia tertegak diam dan merapat kembali kedinding.

"Engkau tak layak untuk hidup Baribeh. Selain penjudi, engkau ternyata menghianati negerimu. Orang semacam engkau tak layak mengaku sebagai anak Minangkabau. Karenanya engkau juga tak layak hidup di negeri ini!".

Suara si Bungsu bergema perlahan. Tapi nadanya mengirimkan gigilan yang amat menakutkan ke jantung si Baribeh dan si Juling. Anak muda itu bicara dengan mata yang masih terkatup. Dia harus membagi inderanya antara mengawasi si Baribeh dan si Juling dengan gerakan si Babah gemuk.

"Yiy … ya! Ya benar. Saya memang tak layak untuk hidup di negeri ini. Karena itu mohonlah lepaskan saya. Saya akan berangkat meninggalkan negeri ini .." si Baribeh berkata memohon terbata-bata.

Terdengar gelak renyai dari mulut si Bungsu."Hee .. he. Engkau akan pergi dari sini Baribeh?"

"Ya. Ya. Tapi kata waang saya layak hidup di negeri ini. Saya akan pergi jauh-jauh. Jauuuh sekali .."

"Hidup adalah sesuatu yang amat mulia untuk kau lumuri dengan dosa Baribeh. Kau tak berhak untuk hidup….."

Baribeh terkejut dan hampir saja dia jatuh mendengar ucapan anak muda ini. Tapi dia berusaha untuk tetap tenang. Meskipun tubuhnya menggigil dan celananya basah, dia angkat bicara lagi:

"Tet .. eh, tapi siapa yang menentukan bahwa saya tak berhak untuk hidup?"

"Saya!"

"Te .. eh. Tapi engkau bukan Tuhan!"

"Jangan bawa-bawa nama Tuhan dalam kehidupanmu yang kotor!"

Sehabis bicara dia berputar. Dia harus bertindak cepat, sebab si Babah merupakan bahaya besar yang harus dia hadapi. Begitu dia berputar, tubuh Baribeh dan si Juling menggeliat dimakan samurainya. Dada mereka belah dan menyemburkan darah. Dua orang penghianat yang bekerja untuk seorang Cina yang memata-matai negerinya telah mati. Mati di tangan anak muda yang pernah mereka lanyau.

Kini si Bungsu tinggal memusatkan perhatiannya pada si Babah gemuk itu. Namun saat itu di luar terdengar seruan dalam bahasa Jepang.. Kempetai! Ya, Kempetai telah mengepung rumah itu. Kempetai rupanya telah diberitahu oleh seorang mata-mata yang bertugas di luar.

Begitu mendengar pekikkan, dia segera ke pos Kempetai. Kini Polisi Militer Jepang itu datang dengan kekuatan empat puluh orang. Si Bungsu berfikir cepat. Dia sudah bersumpah untuk membunuh Babah mata-mata jahanam ini. Kalau tidak maka lebih banyak lagi bencana yang akan ditimbulkan orang ini terhadap negerinya. Dia kini tegak membelakangi dinding dan mayat Baribeh. Sedepa di kanannya, terdapat pintu keruang depan. Dia melirik pintu itu besar dengan palang pengunci dari balok. Rumah ini model rumah-rumah Cina kuno yang kukuh.

Dengan bergerak cepat dia menghantam pintu itu sampai tertutup. Kemudian menyepak palangnya hingga jatuh dan mengunci pintu dari papan yang amat tebal itu. Namun saat itu pula si Babah menyerangnya dari belakang. Pisau Babah itu menancap di bahunya. Hampir saja mengenai jantung. Namun dengan menggertakkan gigi, anak muda ini melompat dan menghujamkan samurainya kebelakang. Dia merasa samurainya mengenai sesuatu. Kemudian dia menyentak samurai itu kembali. Lalu berputar. Di luar terdengar Kempetai berteriak dan memukul-mukul pintu. Si Bungsu membabatkan samurainya. Si Babah gendut yang telah tertusuk dadanya itu, coba menangkis dengan pisau pendek itu. Namun tangannya putus hingga pergelangan. Dia terpekik.

"Kubunuh kau mata-mata laknat!!" desis si Bungsu sambil sekali lagi membabatkan samurainya.

Babah itu mencoba mundur, tangannya yang pontong itu terangkat seperti akan menangkis. Namun tangannya itu dimakan samurai. Putus hingga siku, Babah itu untuk kedua kalinya terpekik. Perempuan-perempuan sudah sejak tadi lenyap lewat pintu belakang.

Babah itu hoyong. Samurai si Bungsu bekerja lagi. Kaki si Babah putus di batas lutut. Kini si Babah tergolek. Si Bungsu memenuhi sumpahnya belum lama berselang. Bahwa dia akan mencencang perut buncit Cina ini atas penghianatannya. Enam kali samurainya bekerja. Membuat perut Babah Cina itu robek-robek seperti perut kerbau usai dipesiangi di rumah bantai. Darah bersemburan. Tubuh si Bungsu sendiri dipenuhi darah.

Darah dirinya dan darah si Babah! Kempetai di luar mulai menembaki pintu. Namun dengan bedil panjang mereka, pintu kukuh itu tetap tak dapat dijebol. Peluru bedil mereka hanya mampu menembus sedikit saja papan pintu itu, namun tidak tembus. Babah gepuk itu memang membuat rumahnya sebagai benteng. Dia amat khawatir kalau suatu saat rahasianya sebagai mata-mata Belanda dan mata-mata Jepang diketahui orang. Karena itu, dia membangun rumahnya sebagai pos yang sulit untuk ditembus. Siapa sangka, hari ini dia sendiri yang membawa pembunuhnya masuk. Dan dia terbunuh di dalam benteng yang dia buat. Sementara orang yang ingin membantunya terkurung di luar. Dihambat oleh pintu besar yang amat kukuh.

Di dalam ruangan itu masih ada dua orang perwira Jepang teman Ichi yang mula pertama main judi tadi. Mereka memang datang kesana atas permintaan si Babah. Si Babah melaporkan bahwa ada mata-mata yang ditangkap. Tapi kini, melihat makan tangan orang yang disebut mata-mata itu, tubuh mereka jadi lumpuh. Mereka seperti tak berdaya untuk bergerak.

Ternyata tak semua perwira Jepang berhati baja. Ternyata mereka juga manusia biasa. Ada yang berhati baja, ada yang berhati seperti kerupuk jangek[1], amat rapuh. Mereka sebenarnya punya kesempatan yang banyak untuk balas menyerang. Mereka bisa mencabut pistol atau memungut bedil yang terletak di lantai. Dan menembakkannya ketika anak muda itu bertarung melawan si Babah. Namun mereka seperti disihir. Terdiam tak berkutik. Ada dua hal yang menyebabkan mereka begitu. Pertama rasa takut melihat sepak terjang anak muda itu. Amat cepat dan amat mengerikan. Dan yang kedua adalah perasaan takjub mereka.

Betapa mereka takkan takjub, sebagai perwira-perwira, mereka termasuk mahir mempergunakan samurai. Namun melihat cara anak muda ini mempergunakan samurai, mereka benar-benar terpukau. Caranya nampak sangat sembarangan. Tidak menurut aturan sebagaimana pesilat-pesilat samurai seperti mereka. Meski demikian, meski dengan metode yang tak benar, gerakan anak muda ini amat terlalu cepat. Ayunan dan tebasan samurainya amat kukuh, mantap dan secepat kilat. Mereka yakin, kalaupun mereka disuruh bertanding melawan anak muda ini, maka bagi mereka takkan ada harapan untuk menang sedikitpun! Kini, ketika si Bungsu mencencang tubuh si Babah, tanpa dapat mereka tahan kedua perwira ini terpancar kencingnya. Mereka bukannya ngeri melihat tubuh si Babah yang cabik-cabik, tapi mereka membayangkan bahwa setelah ini tubuh merekalah yang akan menerima nasib seperti itu.

Si Bungsu melangkah mendekati mereka. Salah seorang mencabut pistol dengan tangan menggigil. Samurai si Bungsu bekerja. Keduanya rubuh tanpa dapat melawan sedikitpun.

Rumah itu berkuah darah. Potongan tubuh kelihatan tergeletak di sana sini. Ini benar-benar sebuah pembataian! Si Bungsu memang tak bisa berbuat lain dari pada seperti itu. Dia dihadapkan pada dua pilihan. Dibunuh atau membunuh. Maka dia memilih yang kedua. Betapapun jahatnya suatu pembunuhan, namun jauh lebih baik hidup sebagai pembunuh dari pada mati sebagai orang yang dibunuh. Apa lagi kalau yang dibunuh itu adalah musuh bangsa! Cukup lama waktu berlalu ketika pintu besar itu berhasil didobrak oleh Kempetai. Yaitu setelah mendatangkan sebuah truk reok untuk menghantam pintu itu sampai jebol. Begitu jebol, Kempetai berlompatan masuk. Begitu berada di dalam, mereka pada berseru kaget. Bulu tengkuk mereka merinding tatkala melihat sisa penjagalan yang terjadi dalam rumah itu.

Mereka segera memeriksa set iap sudut rumah. Mencari anak muda yang dilaporkan sebagai mata-mata yang masuk perangkap di rumah ini. Namun si Bungsu lenyap entah kemana. Mereka memeriksa semua bilik. Termasuk bilik enam perempuan yang tinggal di rumah itu. Termasuk juga bilik si Amoy semok anak si Babah yang baru berumur tujuh belas tahun itu. Tapi si Bungsu tak ada. Dan semua perempuan itupun benar-benar tak mengetahui kemana anak muda itu pergi. Dia lenyap seperti hantu dalam cahaya bulan.

Pimpinan tentara Jepang di Payakumbuh Mayor Sin Ici Eraito mengumpulkan semua perempuan yang ada di rumah itu, termasuk semua serdadu yang menggerebek rumah tersebut. Kepada mereka diperintahkan untuk tetap tutup mulut. Tak seorangpun boleh membicarakan hal ini. Juga diperintahkan, agar setiap kematian tentara Jepang dalam serangan atau perkelahian dengan penduduk pribumi, harus dipeti-eskan. Jangan sampai menjalar ke luar. Sebab kalau berita itu bocor ke luar maka ada dua hal yang membahayakan kedudukan tentara Jepang. Pertama, penduduk pribumi yaitu bangsa Indonesia yang sudah berniat melawan Jepang, akan bertambah semangatnya. Sebab ternyata ada orang yang mampu membunuh tentara Jepang yang ditakuti itu. Dan hal ini bisa mempercepat timbulnya pemberontakan anti Jepang di Minangkabau. Kedua adalah soal prestise. Tentara Jepang sudah tentu akan malu jika tersiar kabar bahwa tentara kaisar Tenno Heika dari negeri Matahari Terbit yang kesohor itu mati di tangan penduduk pribumi. Apalagi jika pecah kabar, bahwa tentara Jepang itu justru mati oleh sebuah Samurai. Tak terbayangkan geger yang akan timbul.

Sebagai komandan tertinggi yang membawahi Payakumbuh dan sekitarnya, Mayor Eraito tidak mau mengambil resiko dihukum oleh Kolonel Fujiyama karena kematian perwira-perwiranya secara beruntun ini. Dia berusaha menutupi kejadian ini untuk tak bocor keatas. Sebab saat itu hukuman yang terkenal diantara perwira Jepang itu adalah hukuman Harakiri. Setiap perwira atau serdadu yang dinilai gagal total, kepadanya diberi "kehormatan" untuk bunuh diri. Dia tak menginginkan hal itu terjadi. Itulah sebabnya dia memerintahkan untuk menutup berita pembantaian itu serapat mungkin.

Para tentara serta perempuan yang diperintahkan untuk tutup mulut itu memang melaksanakan tugas mereka dengan baik. Sebab bila membocorkan rahasia, mereka akan berhadapan dengan regu tembak. Mereka tahu, setiap orang yang ada di sekeliling mereka bisa saja menjelma jadi mata-mata Kempetai. Mereka tak dapat mempercayai seorangpun. Baik orang Cina maupun orang Melayu. Mereka bisa saja jadi mata-mata Jepang. Babah gemuk itu dan Baribeh serta si Juling menjadi contoh jelas tentang itu. Betapa Cina dan anak Minang sendiri rela menjadi mata-mata bagi penjajah negerinya.

Buat sementara, si Bungsu aman. Sekurang-kurangnya tak begitu banyak tentara Jepang yang mengetahui, bahwa saat ini ada seorang anak Minang yang berkeliaran dengan samurai maut di tangannya. Yang telah membantai puluhan orang tentara Jepang dalam tahun ini.

Namun perbuatan Mayor Sin Ichi Eraito, komandan tentara Jepang di Payakumbuh itu, yang menyembunyikan kematian anak buahnya pada Kolonel Fujiyama di Bukittinggi, yaitu Komandan Tertinggi Balatentara Jepang di Sumatera hanya bertahan beberapa bulan.

Terbongkarnya kematian itu bermula dari surat-surat tugas dari Markas Besar Tentara Jepang di Bukittinggi. Ada beberapa perwira yang ditarik ke Bukittinggi dari Payakumbuh. Nah diantara yang ditarik itu ada yang mati di tangan si Bungsu. Semula masih akan ditutupi dengan menyebutkan bahwa perwira itu sakit keras, dan tengah dirawat. Beberapa hari kemudian dilaporkan perwira itu mati karena penyakitnya.

Ya. Untuk sementara peristiwa itu tak tercium. Tapi kemudian ada lagi perintah untuk kenaikan pangkat bagi dua orang perwira. Dan kedua perwira itu diharuskan melapor ke Markas Besar di Bukittinggi. Kembali Eraito memberi jawaban bahwa kedua perwira itu sakit. Kecurigaan mulai timbul di Markas Besar. Eraito meminta waktu agak sepekan untuk merawat perwira itu, kemudian mengirimkannya untuk upacara kenaikan pangkat di Bukittinggi.

Eraito berharap, waktu seminggu itu cukup baginya untuk alasan bahwa kedua perwira itu mati dalam perawatan. Dan kematiannya karena minum racun sebelum masuk rumah sakit. Penguburan seperti biasa bisa dilakukan sendiri tanpa dihadiri Kolonel Fujiyama. Sebab sudah biasa kematian amat banyak dalam pertempuran seperti tahun-tahun dalam amukan perang dunia ke II ini.

Begitulah harapan Eraito. Kolonel Fujiyama belum mencium siasat ini. Namun Perwira Intelijen bawahan Fujiyama mencium sesuatu yang tak beres dalam laporan Eraito. Perwira Intelijen itu adalah Chu Sha (Letnan Kolonel) Fugirawa. Diam-diam Chu Sha ini mengirim dua orang Intelijennya ke Payakumbuh dihari diterimanya laporan Eraito.

Kedua mata-mata itu langsung menuju rumah sakit. Memeriksa daftar pasien. Mereka tak menemui nama kedua perwira itu di sana. Mereka kemudian memeriksa markas dan daftar nama pada pos-pos komando di seluruh Luhak 50 Kota. Ternyata nama kedua perwira itu, dan beberapa nama lainnya, termasuk prajurit-prajurit Kempetai beberapa orang, telah lenyap. Kedua Intelijen ini menghentikan penyelidikannya. Langsung ke Bukittinggi dan melapor pada Chu Sha Fugirawa. Letnan Kolonel Kepala Intelijen ini memberi laporan dan analisa staf pada Fujiyama. Fujiyama segera pula mencium sesuatu yang tak beres dalam laporan Eraito. Dia menulis surat pada Eraito, agar segera datang melapor ke Markas Besar. Dia harus datang bersama kedua perwira yang dia laporkan sakit. Bila keduanya sudah mati, maka dia harus datang bersama mayatnya.

Eraito menerima surat itu. Apa yang harus dia perbuat? Kedua perwira itu telah mati beberapa bulan yang lalu di tempat pelacuran di Lundang. Mati dibabat samurai orang tak dikenal. Akan datangkah dia ke Bukittinggi dengan terlebih dahulu menggali kuburan kedua perwira itu dan membawa mayatnya yang sudah busuk? Akhirnya dia membuka bungkusan kedua yang dikirim oleh Kolonel Fujiyama. Bungkusan itu berwarna kuning. Di dalamnya ada benda panjang dua jengkal berbungkus bendera Jepang bergambar matahari. Dia buka bungkusan bendera itu.

Benda sepanjang dua jengkal itu persis seperti yang dia duga, samurai pendek! Dia mengangguk pada tiga orang Kapten yang membawa surat perintah itu. Ketiga Kapten itu memberi hormat padanya. Eraito melilitkan bendera itu kekepalanya. Kemudian memberi hormat kearah matahari terbit. Ke arah kerajaan Kaisar Tenno Haika. Lalu dia duduk berlutut di lantai. Ketiga Kapten yang dikirim dari Bukit Tinggi itu juga berlutut.

"Tai-I Sambu .. " Eraito memanggil. Yang dipanggil, seorang Tai-I (Kapten) masuk memberi hormat. Dia terkejut melihat keempat orang yang berlutut. Ketika matanya terpandang pada bendera yang melilit kepala komandannya, kemudian pada samurai di depan Eraito, Kapten itu segera sadar apa yang akan terjadi. Dia mengangguk memberi hormat. Kemudian duduk di hadapan komandannya.

"Setelah tugas saya selesai, serahkan seluruh berkas perkara kematian itu pada mereka .." Eraito berkata.

"Hai ..!!" perwira itu mengangguk dalam-dalam.

Kemudian Eraito mengambil samurai itu. Membukanya. Mulutnya komat kamit. Kemudian menghujamkan samurai itu keperutnya. Dengan tekanan yang kukuh, samurai yang alangkah tajamnya itu, dia iriskan kekiri. Darah membersit. Dia masih berlutut dengan nafas terengah. Kemudian jatuh. Kepalanya mencecah lantai. Dia seperti orang Islam yang sujud kelantai. Dan perwira ini mati dalam keadaan begitu. Dia telah melakukan Seppuku, yang juga disebut Harakiri.

Segera setelah dia mati, Kapten wakilnya itu menyerahkan laporan berkas kematian perwira-perwira itu pada ketiga Kapten utusan Fujiyama. Berkas perkara itu disampulnya. Tak seorangpun yang berhak membacanya, kecuali Kolonel Fujiyama. Bahkan Letkol Fugirawa sendiripun, kendati jabatannya Kepala Intelijen, tetap tak berhak membaca laporan itu. Berkas itu dibawa ke Bukittinggi. Fujiyama membacanya dengan teliti. Laporan itu antara lain berisi:

"Ada seorang anak Minang yang berkeliaran dengan samurai maut di tangannya. Anak muda ini entah dari siapa belajar samurai, ilmu samurainya meskipun ngawur, namun amat tinggi. Diduga dia mencari seseorang untuk membalas dendam atas keluarganya. Mungkin yang dia cari adalah Tai-I Saburo, yang dulu menjabat sebagai Cho (Komandan Peleton) Kempetai di Payakumbuh. Saburo memang terkenal terlalu ganas di Payakumbuh. Itulah sebabnya dahulu dia diusulkan untuk pindah dari kota kecil ini. Kini ada yang menuntut balas kekejamannya. Diduga lebih dari dua puluh orang tentara Jepang, perwira dan prajurit, telah mati dimakan samurai anak Minang itu. Tapi rahasia ini dipegang teguh, penyelidikan tetap dijalankan. Usaha mencari dan membekuk anak muda yang kabarnya bernama si Bungsu (anak paling kecil) dari Dusun Situjuh Ladang laweh itu tetap diusahakan dengan ketat. Namun sampai saat ini anak muda itu tak pernah bersua. Dia lenyap seperti burung elang yang terbang ke kaki langit. Semoga dengan restu Tenno Haika, demi kejayaannya, anak muda itu segera dapat ditangkap."

Demikian bunyi dan akhir dari laporan Mayor Eraito yang berkedudukan sebagai Bu Tei Cho (Komandan Batalyon) balatentara Jepang di Payakumbuh. Dalam laporan itu dilampirkan nama-nama yang diduga mati di tangan si Bungsu. Kolonel Fujuyama menarik nafas dan menutup laporan itu. Eraito telah menjalankan tugasnya dengan baik. Menutup rahasia itu rapat-rapat. Tapi dia memang harus mati, karena di puncak hidungnya sendiri anak buahnya banyak yang mati. Mati bukan dalam pertempuran. Hukuman bagi komandannya adalah tembak mati atau Harakiri. Eraito memilih yang kedua.

----

[1] kerupuk jangek =kerupuk kulit