Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 8 - Turun Gunung

Chapter 8 - Turun Gunung

Kampung itu telah ramai sekali. Kehidupan sudah berlangsung seperti biasa. Hari itu hari Jumat, panasnya bukan main. Lelaki boleh dikatakan semuanya berkumpul di masjid.

Mereka sebahagian besar hampir tertidur tatkala khatib membaca khotbah. Khotbah yang dibacakan berasal dari penguasa Jepang. Para khatib tidak lagi bebas berkhotbah seperti biasa. Mula-mula cara berkhotbah begitu terasa menyakitkan hati umat islam. Tidak hanya di kampung itu, tapi juga di seluruh Minangkabau.

Namun lama-lama hal itu menjadi biasa. Kehendak penguasa memang harus ditaati. Masih untung yang mereka wajibkan hanya membaca khotbah yang sudah ditentukan. Lagipula khotbah itu rasanya tak ada yang melanggar ajaran agama. Selain berisi ayat-ayat Al Quran dan hadis seperti biasa, menyeru berbuat baik dan menjauhi yang mungkar, kini ditambah dengan menyeru untuk mematuhi perintah yang datang dari Jepang sebagai saudara tua.

Mematuhi perintah Jepang berarti membantu mengamankan kampung halaman- juga berarti membangun negeri. Nah, apa beratnya membaca khotbah seperti itu bukan? Jemaah sebenarnya ingin cepat khotbah itu berakhir. Namun tak seorangpun yang berani meninggaikan masjid. Sebab mereka tahu, kalau mereka pergi berarti tak suka pada khotbah. Dan tak suka pada khotbah di masjid berarti tak menyukai seruan Jepang si saudara tua. Nah, ini bisa mengundang kesusahan. Daripada susah lebih baik di masjid. Meskipun ngantuk.

Akhirnya sembahyang Jumat yang dua rakaat itupun selesai. Orang-orang bersalaman untuk pulang. Seorang lelaki separoh baya yang duduk di saf paling belakang disalami oleh orang yang duduk di sebelahnya. Dia menerima salam itu dengan senyum. Namun tatkala dia melihat pada orang yang menyalaminya itu, senyumnya lenyap tiba-tiba. Tangannya yang tengah bersalaman itu dia tarik cepat-cepat. Dia seperti orang yang terpandang pada setan di siang hari. Lalu tiba-tiba dia bangkit. Kemudian bergegas ke pintu. Dua orang lelaki yang akan keluar tertabrak olehnya.

"Hei, bergegas kelihatannya. Akan kemana Datuk?" orang yang ditabrak dipintu mesjid itu bertanya.

Lelaki separoh baya yang dipanggil dengan sebutan Datuk itu mula-mula akan terus keluar. Namun dia berbalik dan berbisik pada kedua lelaki yang ditabrak itu. Kedua lelaki itu tak percaya. Mereka surut kembali ke tengah masjid. Menatap orang yang bersalaman dengan Datuk itu. Yang kini masih duduk menunduk. Kedua orang ini juga tersurut. Kemudian cepat-cepat berlalu. Sudah tentu sikap ini menarik perhatian yang lain. Dan beberapa orang, meniru perbuatannya pula. Berbalik ke tengah masjid dan melihat pada orang yang masih duduk menunduk itu. Kemudian juga mereka seperti melihat setan. Lalu keluar cepat-cepat.

Dalam waktu yang singkat, hampir semua lelaki di kampung itu, yang datang sembahyang Jumat ke masjid, mengetahui bahwa si bungsu laknat anak Datuk Berbangsa itu ternyata masih hidup, dan kini dia kembali ke kampung ini. Ada perasaan tak sedap dan tak aman di hati hampir seluruh lelaki kampung atas kehadiran si Bungsu. Anak muda itu masih duduk di tengah masjid. Duduk dengan kepala menunduk. Dia tahu tadi orang memperhatikannya. Dia tahu orang berbisik membencinya. Dan itulah kini yang dia renungkan. Dia menyangka dengan masuk ke rumah Allah ini perasaannya akan tentram. Dia menyangka bahwa di rumah Allah ini semua insan sama. Bukankah setiap kaum muslim itu bersaudara? Dan bukankah masjid ini adalah lambang dari persaudaraan orang Islam? Mengapa kebencian di luar sana harus dibawa ke rumah suci ini? Atau di rumah Allah inipun manusia sebenarnya tak bisa melepaskan dirinya dari sikap manusia yang hewani. Saling membenci, saling dengki, saling atas mengatasi, saling himpit menghimpit? Atau barangkali dia tak dianggap sebagai seorang Muslim?

"Engkau itu Bungsu?"

Tiba-tiba suara lembut menyapa. Menyadarkan dirinya dari lamunan- Dia mengangkat kepala. Dan matanya tertatap pada imam yang barusan menyapa. Imam itu masih duduk di depan, di dekat mihrab.

"Benar. Saya inilah pak Haji…" dia berkata sambil kembali menunduk.

"Sudah lama kau tiba di kampung ini?"

Aneh. Suara imam itu tetap lembut. Tak ada nada permusuhan sedikitpun.

"Saya tiba malam tadi pak…." katanya masih tetap menunduk.

"Angkat kepalamu Bungsu. ini rumah Allah. Di sini setiap manusia sama nilainya. Mereka hanya berbeda amalnya di sisi Allah." Imam itu seperti bisa membaca yang tersirat di hatinya. Dia mengangkat kepala. Menatap imam itu dengan heran.

"Disenangi. Dibenci. Dipuja. Disanjung. Dilupakan. Dicaci maki, atau tak diacuhkan. Itulah yang dinamakan kehidupan Bungsu. Manusia harus berjuang di antara kemungkinan-kemungkinan itu. orang takkan mulia karena pujian. Sebaliknya orang juga takkan mati karena caci maki."

Si bungsu termenung. Dalam masjid itu tak ada orang lain. Hanya dia dan imam itu saja.

"Dimana engkau malam tadi?" Imam itu bertanya lagi.

"Di surau lama di hilir kampung ini pak Haji…."

"Hmm. Masih senang main koa atau dadu?"

Dia menggeleng, kepalanya kembali menunduk.

"Kenapa tak terus ke rumahmu?"

Kini dia mengangkat kepala. Menatap pada haji itu.

"Saya sudah sampai di sana pak Haji. Tapi saya lihat ada orang yang menunggu. Saya tak berani membangunkan mereka. Saya tak tahu siapa yang telah menghuni…"

"Yang menghuni adalah Sutan Lembang. Menantu mamakmu Datuk Sati. Semua orang di kampung ini menyangka engkau telah mati. Jadi seluruh pusaka keluargamu menurut adat jatuh pada kakak lelaki ibumu. Dia punya rumah banyak. Karena itu rumah ibumu disuruh tunggunya pada anak perempuannya. Isteri Sultan Lembang."

"Ada yang ingin saya tanyakan pada pak Imam…"

"Tentang kuburan ayah, ibu dan kakakmu yang di tengah laman rumah itu?"

Si bungsu kaget. Alangkah tajamnya firasat Imam ini. Dia memang akan menanyakan kuburan itu. Malam tadi dalam cahaya rembulan, kuburan itu tak dia lihat lagi di tengah halaman itu. Padahal dulu di sanalah dia menguburkan ayah, ibu dan kakaknya.

"Benar. Saya ingin tahu dimana kini kuburan mereka", akhirnya dia berkata juga.

"Dahulu mereka kau kuburkan di tengah halaman bukan? Dan kakakmu dekat jenjang. Benar begitu?."

Kembali dia terkejut mendengar ketepatan terkaan Haji ini.

"Benar pak Haji…"

"Dan seorang anak yang kau kubur dekat pohon gajus di sebelah sekolah. Dua orang perempuan di bawah batang manggis. Tiga orang lelaki dekat kandang kerbau. Begitu bukan Bungsu?"

"Apakah pak Haji ada waktu saya menguburkan mereka?"

Si bungsu bertanya di antara rasa kaget dan herannya. Haji itu menarik nafas panjang. Kemudian berkata perlahan :

"Allah Maha Besar. Hari ini Allah membuktikan apa yang kuduga selama ini. Terima kasih Bungsu. Engkau telah menyelenggarakan mayat-mayat itu dengan baik. Salah satu lelaki yang kau kubur itu adalah adikku. Dan anak itu adalah ponakanku. Terima kasih. Saya sudah menduga sejak semula. Bahwa kaulah yang menguburkan mereka. Sebab saat itu semua kami sudah melarikan diri. Kami lihat kau kena hantam samurai. Ketika kami kembali sebulan kemudian, kuburan itu kami gali kembali. Kami pindahkan ke pekuburan kaum. Ternyata mayatmu tak kami jumpai. Semua orang menyangka mayatmu diseret binatang ke kaki gunung dan memamahnya di sana. Namun aku menduga, engkau pasti selamat. Dan engkaulah yang menguburkan mereka. Aku tak tahu bagaimana caramu menguburkan mayat sebanyak itu dalam keadaan luka. Dan aku juga tak tahu berapa lama waktu kau perlukan untuk mengubur mereka. Namun aku yakin, pekerjaan itu pastilah pekerjaan yang tak mudah bagimu, mengingat lukamu yang parah itu. Sekali lagi terima kasih nak. Atas bantuanmu mengubur mayat ponakanku, mayat adikku, dan mayat seluruh penduduk yang terbunuh. Kau selenggarakan mayat mereka, meskipun semasa hidupnya mereka selalu membencimu. Tuhan akan membalas budimu nak…"

Air mata imam itu merembes dipipinya. Betapa tidak. dia yakin anak muda inilah yang telah menolong mayat-mayat itu. Namun alangkah malangnya dia. Dia tak mampu menjelaskan pada orang kampung tentang keyakinannya itu. Dia takut orang kampung akan membencinya. Dia jadi malu pada kelemahan dirinya itu. Seorang imam yang tak berani mengatakan yang benar hanya karena dia takut dikucilkan orang kampung. Padahal dia tahu benar ada ayat yang berbunyi Katakanlah yang benar, meskipun sangat pahit. Dia menangis menyesali kelemahannya .

"Jadi kuburan ibu, ayah dan kakak saya sudah dipindahkan ke makam kaum di hilir sana pak Haji?"

"Ya, mereka sudah dipindahkan ke sana nak…."

"Terima kasih pak…." dia lalu bangkit.

"Akan kemana kau Bungsu?"

"Saya akan ke kuburan itu pak…." "Setelah itu?"

" Belum saya pikirkan…"

"Kalau engkau masih lama di kampung ini. Singgahlah ke rumah saya. Masih di tempat yang lama. Dekat pohon kuini besar yang sering kau lempari buahnya dahulu. Singgahlah…."

"Terima kasih pak. Insyaallah. Saya permisi. Assalamualaikum…."

"Waalaikum salam…."

Dia turun dari masjid. Imam itu menatap punggungnya. Aneh kalau lelaki yang turun dari mesjid tadi merasa suatu yang tak sedap dan suatu ketegangan yang mencengkam mereka atas kehadiran anak muda ini, pak Haji ini justru sebaliknya. Ketika menatap punggung anak muda itu, menatap bayang-bayangnya melangkah keluar, ada semacam perasaan bangga dan aman menjalari hati tuanya.

Ya, si Bungsu telah kembali setelah dianggap mati sejak peristiwa berdarah yang memusnahkan keluarganya belasan purnama yang lalu. Orang kampungnya tak melihat satu perubahanpun pada diri anak muda itu. Kesan mereka terhadapnya tetap sama seperti dahulu.

Seorang penjudi dengan muka murung dan mata sayu seperti orang yang tak punya semangat. Dan lebih daripada itu, mereka tetap menganggapnya sebagai seorang laknat yang telah membuka rahasia tentang penyusunan kegiatan di kampung ini dalam melawan Jepang. Itulah sebabnya dia tetap tak disukai kembali ke kampungnya. Perasaan tak suka itu segera saja diperlihatkan di hari pertama dia berada di kampung kelahirannya itu. Saat tengah berjalan menuju ke rumahnya setelah kembali dari kuburan, lewat sedikit dari masjid dia dihadang oleh enam lelaki yang rata-rata mempunyai tubuh kekar.

Dengan wajah yang tetap murung dan sinar mata yang kuyu, dia tatap lelaki itu satu persatu. Dia segera mengenali mereka. Mereka adalah pesilat-pesilat. Dua di antaranya adalah murid ayahnya, yang lain murid Datuk Maruhun.

"Assalamualaikum....." sapanya perlahan setelah dari pihak yang mencegat beberapa saat tetap tak bersuara. Salah seorang itu terbatuk-batuk kecil. orang itu dia kenal sebagai Malano, murid ayahnya.

"Apa perlumu kemari Bungsu…." Malano bertanya.

Alangkah menyakitkannya pertanyaan itu. Ini adalah kampung halamannya. Tempat dia dilahirkan dan dibesarkan. Kini dia pulang ke kampungnya untuk melihat pusara ayah, ibu dan kakaknya. Sejelas itu kedatangannya, masih ada orang yang bertanya, untuk apa dia kembali. Namun meski pahit sekali pertanyaan itu, dengan kepala masih menunduk dia tetap menjawab dengan suara yang rendah.

"Saya ingin melihat kuburan ayah, ibu dan kakak …. "

"Telah kau lihat kuburan mereka bukan?"

Seorang lagi bertanya. Tanpa melihat orangnya, dia tahu bahwa yang bertanya itu adalah Sutan Permato. Murid silat Datuk Maruhun.

"Ya. Saya datang dari kuburan."

"Nah, kalau sudah kau lihat, kini tinggalkanlah kampung ini…." suara Malano kembali terdengar.

Dia mengangkat kepala. Ucapan terakhir ini seperti perintah dan ancaman sekaligus. Apakah dia tak salah dengar? Nampaknya memang tidak. Keenam lelaki itu mengelilinginya. Menatapnya dengan penuh kebencian. Dan dari balik kain-kain pintu, dari rumah-rumah yang berdekatan dengan tempat mereka, perempuan-perempuan dan anak-anak mengintip kejadian itu.

"Kenapa saya mesti harus pergi dari kampung ini?" dia bertanya.

"Kenapa…? cis.. karena ini..?"

Dan terjadilah peristiwa itu. Dulu dia tak ada daya sama sekali tatkala dikeroyok oleh si Baribeh dan ketiga temannya selesai berjudi di surau lapuk di hilir kampung itu. Kini juga dia seperti tak ada daya tatkala keenam lelaki yang rata-rata mempunyai ilmu silat lumayan itu menghantamkan kaki dan tangan ke tubuhnya. Dia terjajar dari satu kaki ke kaki yang lain. Dari satu tangan ke tangan yang lain. Dan akhirnya dia jatuh tersungkur. Tertelungkup dengan mulut dan hidung berdarah.

"Kalau tak memandang waang anak Datuk Berbangsa, sudah kami cincang badan laknat waang itu. Pengkhianat jahanam. Penjudi laknat. Kalau sampai petang nanti waang masih ada di kampung ini, jangan salahkan kami kalau nyawa waang kami akhiri"

Itu adalah suara Malano. Dia hanya mendengar suara itu sayup-sayup, Kemudian keenam lelaki itu pergi. Anak itu ternyata tetap seperti dahulu. Tak mengerti silat selangkahpun.

Lelaki yang tak lengkap sebagai lelaki.

Namun dalam telungkupnya yang pasrah itu, si Bungsu bermohon pada Tuhan, agar hatinya dikuatkan untuk tidak menggunakan samurai yang dia bawa bukan untuk mencelakai orang kampungnya.

Dia pasrah menerima perlakuan itu. Sebab dia tahu mereka melakukan itu adalah karena cinta mereka pada kampung jua. Telinganya yang amat tajam yang terlatih mendengar suara kaki lelaki itu menjauh. Bahkan dalam telungkupnya dia dapat mengetahui, yang dua orang berjalan ke arah Utara. Yang tiga orang ke Selatan. Sementara yang satu lagi naik ke rumah tak jauh dari tempat dia terbaring. Telinganya mendengar langkah kaki mereka. Namun badannya memang letai. Makan tangan dan kaki keenam lelaki itu harus dia akui sangat ligat[1]. Perutnya terasa mual. Kepalanya berdenyut-denyut.

Kejadian itu sudah diduga akan terjadi oleh Imam di masjid tadi. Ketika keenam lelaki itu mempermak si Bungsu, Imam itu menyaksikannya dari balik jendela masjid. Dia ingin berteriak mencegah orang-orang itu memukuli si Bungsu. ingin benar. Dia kasihan pada anak muda itu. Namun dia tidak berani menampakkan diri. Dia tak punya cukup keberanian untuk melarang mereka. Dia Imam masjid ini. Di masjid ini dia menerima sedekah, wakaf, zakat atau uang akad nikah dari penduduk. Kalau dia sempat tak sependapat dengan penduduk. bisa-bisa penduduk tak lagi menyerahkan zakat fitrah atau sedekah padanya. Atau kalau akan menikah, orang pergi saja ke Iman atau kadi yang lain. Itu berarti menutup mata pencahariannya. Dan dalam zaman serba kacau seperti sekarang ini, kehilangan mata pencaharian merupakan malapetaka hebat. Ah, tidak. Dia tak mau kehilangan mata pencaharian dengan melawan arus pendapat penduduk.

Tapi ketika keenam lelaki itu menyelesaikan pekerjaan tangan mereka, dan si Bungsu tergeletak dengan tubuh lenyai, dia merasa malu pada dirinya. Dia kini berada dalam rumah Allah, dimana tiap Jumat dia berkhotbah menyerukan berbuat kebaikan. Menyeru berbuat jujur. Menyeru untuk berkata benar. Menyeru untuk tidak munafik, orang munafik kebencian Allah, begitu dia sering berkata dalam khotbahnya. Namun apa nama pekerjaannya kini? Apakah membiarkan anak muda itu dilanyau, bukan suatu perbuatan pengecut dan munafik? Bukankah selesai Jumat tadi dia berkata pada anak muda itu bahwa dia mengetahui kebaikannya yang dibuatnya? Bukankah dia mengetahui bahwa anak muda itu tidak bersalah? Kenapa dia tak berani membela anak muda itu? Apakah kepentingan perutnya jauh lebih penting daripada menegakkan suatu kebenaran?

Ah, tiba-tiba dia menjadi malu berada dalam rumah Allah ini.

"Ampunkan hambamu yang lemah ini ya Allah….." bisiknya sambil melangkah turun.

Dia melangkah ke arah si Bungsu yang masih tertelungkup, Dia tahu, dari balik pintu dan jendela rumah-rumah penduduk banyak orang yang mengintip. Dan itu juga berarti mengintip padanya yang kini berjongkok dekat tubuh si Bungsu.

"Bungsu….." dia memanggil sambil membalikkan tubuh si Bungsu.

Dia merasa hiba melihat hidung dan bibirnya yang berdarah.

"Bangkitlah. Mari ke rumah saya" Anak muda itu bangkit dengan berpegang kuat-kuat pada tubuh imam itu. Imam itu sudah tua. Tubuhnya sudah lemah. Namun kali ini tubuhnya seperti mendapat tenaga baru untuk memapah anak muda itu ke rumahnya.

Dijenjang dia berhenti. Sengaja dilayangkan pandangannya keliling. Menatap ke rumah-rumah sekitarnya dengan kepala tegak. Seperti ingin mengatakan pada orang yang mengintip itu, bahwa dia membela anak muda ini.

"Saleha….buka pintu" Dia memanggil ke rumah.

Seorang gadis membuka pintu dengan ragu-ragu. Gadis berkulit kuning berwajah bundar itu menatap pada ayahnya, kemudian menatap ke rumah-rumah di sekitarnya dengan perasaan cemas.

"Bukalah. sediakan air panas di panci dan kain bersih. Cepat"

Gadis itu cepat menghilang ke belakang saat ayahnya membawa si bungsu naik dan mendudukkannya di ruang tengah, di atas tikar pandan yang bersih. Saleha muncul lagi membawa baskom dengan air hangat-hangat kuku serta sehelai kain lap bersih.

"Bapak akan susah karena bantuan bapak ini…." Si bungsu berkata perlahan.

Untuk pertama kali gadis anak imam itu menatap padanya. Pada wajahnya yang memar dan mulut serta hidungnya yang berdarah. Si Bungsu juga menatap padanya. Mereka sebenarnya sudah saling mengenal bertahun-tahun. Bukankah mereka tinggal sekampung?

Hanya saja alangkah asingnya dia terasa di kampung ini. Dan gadis ini, anak Imam yang merupakan salah satu bunga di kampungnya ini, juga menatapnya dengan perasaan asing.

"Terima kasih atas air dan kain lapnya Saleha….." dia bekata perlahan.

Gadis itu tak menjawab. Dia masih menatapnya diam-diam. Memperhatikan anak muda yang oleh orang kampung disebut telah menjual kampung ini pada jepang beberapa waktu yang lalu. Menatap pada anak muda yang terkenal pemain judi nomor satu itu.

"Sediakan nasi. Kami akan makan bersama. Mana Sawal?"

Imam itu memberi perintah, sekaligus bertanya sambil membersihkan muka si bungsu. Saleha masih terdiam. Dia heran kenapa ayahnya mau membantu sampai membersihkan wajah penjudi ini.

"Kemana Sawal?" kembali Imam itu bertanya.

"Sudah sejak kepetang[2] dia tidak pulang"

"Sediakanlah nasi…."

Namun sebelum Saleha beranjak. pintu digedor orang dari luar. Wajah Saleha berobah pucat. Demikian juga Imam itu.

"Pak Imam….Pak Imam…. cepat buka pintu" terdengar suara lelaki dari luar.

Mereka berpandangan. Si bungsu bersandar. Menatap pada Iman dan Saleha yang pucat. Dan tiba-tiba tanpa dibuka, pintu didobrak dari luar. Dua orang lelaki masuk. Si bungsu segera mengenalnya sebagai orang yang tadi ikut mengeroyoknya. Kedua lelaki itu sejenak tertegun memandangnya.

"Ada apa Leman?" Imam tersebut bertanya sambil berdiri.

"Sawal pak Imam…."

"Ada apa dengan Sawal…"

"Dia ditangkap Kempetai bersama Malano…."

Saleha terpekik. Imam itu sendiri tertegun. Nama Kempetai membuat tubuhnya jadi lemah.

Intel tentara jepang itu terkenal kekejamannya. Tentara pilihan saja yang dapat masuk menjadi Kempetai. Pilihan dalam bela diri dan kejamnya. Kalau Kempetai sudah turun tangan, itu berarti mati.

"Mengapa dia sampai ditangkap Kempetai….?" Imam itu bertanya dengan lemah.

"Dua malam yang lalu dia mencuri senjata jepang di Kubu Gadang. Bersama Malano dan beberapa pejuang kita. Dua orang sudah tertangkap. senjata yang berhasil dicuri hanya enam pucuk. Kini mereka berdua berada dalam masjid….."

"Dalam masjid?"

"Ya…"

Tanpa bicara ba atau bu, Haji itu bergegas turun diikuti oleh kedua lelaki tadi. Kemudian juga Saleha. Si bungsu menarik nafas panjang. Mengambil kain lap dan kembali membersihkan mukanya.

Malano tertangkap, Demikian pula Sawal. Abang Saleha anak Imam ini. Yang dulu sering menyebut dirinya penjudi kapir. Sawal memang terkenal santri. Bukan karena ayahnya Haji dan imam di masjid. Tapi pemuda itu memang pemuda yang soleh. Dia guru mengaji di kampung ini.

Kini anak muda itu ditangkap Kempetai karena ketahuan mencuri senjata di Markas Jepang di Kubu Gadang. Bah, anak muda itu terlalu bagak[3]. pikirnya sambil tetap bergolek di tikar.

Di depan masjid berdiri tiga orang kempetai. Mereka tegak berkacak pinggang. Penduduk berdesak tak jauh dari halaman masjid tersebut. Ketiga Kempetai itu tak membawa bedil panjang. Sebagai anggota-anggota Kempetai pilihan, mereka hanya membawa sebuah pistol dan samurai.

"Suruh anakmu keluar Haji. Kalau tidak. kami akan menyeretnya keluar"

Seorang diantara Kempetai itu berkata. Kempetai itu bertubuh gemuk. Saleha menangis dekat ayahnya. Imam itu tak bersuara. Dia masuk ke mesjid. Di dalam, dekat mihrab, dia temui Sawal duduk dengan wajah pucat. Bahunya luka. Nampaknya terjadi perkelahian ketika dia mencuri senjata bersama beberapa orang pejuang Indonesia. Di dekatnya duduk Malano. Lelaki yang tadi memukuli si bungsu. Dia adalah seorang pejuang bawah tanah. Yang bersumpah akan membunuh jepang sebanyak mungkin. Sebagai balas dendam atas kematian gurunya Datuk Berbangsa setahun yang lalu.

Haji itu menatap Malano dengan diam. Banyak yang ingin dia ucapkan. Namun tak ada kata yang bisa terucapkan dalam saat seperti ini. Dia ingin menyuruh anaknya melarikan diri.

Namun kalau dia melarikan diri, penduduk yang lain akan ditangkap jepang sebagai gantinya. Bukankah dulu Saburo pernah berkata, kalau ada serdadu jepang yang mati, maka setiap satu jepang yang mati akan dibalas dengan membunuh tiga penduduk. Kalau anaknya dan Malano melarikan diri, maka penduduk yang tak berdosa akan menjadi korban pembunuhan jepang. Hal ini sudah beberapa kali terjadi di kampung-kampung sekitar ini. Tiba-tiba di luar terdengar pekikan Saleha. Imam itu dan Sawal terkejut. Mereka berlarian ke pintu. Di luar mereka lihat Saleha berada dalam pelukan salah seorang Kempetai. Begitu Sawal muncul, Kempetai yang gemuk itu mencabut pistol dan menembakkannya. Sawal berlari kembali ke dalam masjid. Peluru pistol menghantam ayahnya. Haji itu terpekik dan rubuh. Jepang gemuk itu memberi perintah kepada kedua temannya. Kedua Kempetai itu menghambur masuk dengan sepatu yang dipenuhi lumpur. Penduduk jadi kaget dan berang melihat serdadu itu masuk ke rumah ibadah mereka tanpa membuka alas kaki.

Namun marah mereka terpaksa mereka pendam. Siapa pula yang berani marah pada Kempetai? Meski mereka hanya bertiga, tapi itu berarti sama dengan sebuah pasukan besar. Terdengar bentakan dan pekikan di dalam. Kemudian penduduk melihat Sawal dan Malano digiring keluar dengan tubuh luka-luka.

"Kedua lelaki ini, dan anak gadismu terpaksa kami tahan pak Imam. Gadismu ini hanya kami jadikan sebagai jaminan agar abangnya tidak melarikan diri. Jangan khawatir, dia akan aman…" Jepang gemuk itu berkata dengan senyum memuakkan.

Imam tersebut hanya duduk tersandar ke pintu. Luka di bahunya mengalirkan darah. Sementara Saleha meronta-ronta melepaskan diri. Tapi yang memegang tangannya terlalu kuat buat dia lawan. Ketiga jepang itu memutar tubuh dan mulai melangkah meninggalkan halaman mesjid itu.

Tiba-tiba mereka tertegun. Seorang lelaki, berbaju gunting cina, berkain sarung melintang di bahunya, bercelana gunting Jawa tegak menghadang jalan mereka. Si bungsu!

----

[1] ligat = tangkas, cekatan

[2] kepetang = kemaren

[3] bagak = berani