"Kalian mencari teman kalian si Kempetai gendut bernama Sumite itu bukan?"
Ketiga jepang itu seperti dikomando pada mengangguk. Mereka masih terpesona melihat kehebatan anak muda ini memainkan samurai.
"Nah, dia dan dua kempetai lainnya, juga mati di tangan saya. Mati seperti anjing. Bukan salah saya. Mereka yang meminta. Karena kalian sudah mendengar, maka kalian juga harus mati. Tapi sebelum kalian mati, kalian harus menjawab pertanyaan saya. Dimana Kapten Saburo Matsuyama kini berada?"
Tak ada yang menjawab. Ketiga jepang itu saling pandang. Dan tiba-tiba seperti dikomando, mereka melompat mencabut samurai mereka. si Bungsu meloncat ke atas meja. Ketiga samurai itu memburu ke sana. Dia meloncat turun. Ketiga jepang itu memburunya. Dan kembali terjadi apa yang harus terjadi Dua buah sabetan yang amat cepat, kemudian disusul sebuah tikaman ke belakang. Tikaman yang pernah dipergunakan Datuk Berbangsa ketika melawan belasan purnama yang lalu. Dua kali babatan pertama merubuhkan dua tentara jepang. Yang satu robek dadanya. Yang satu hampir putus lehernya. Dan tikaman membelakang terakhir, menyudahi nyawa serdadu yang ketiga. Anak muda itu terhenti sesaat. Kemudian cepat dia mencabut samurai yang tertancap di dada jepang itu. Dan....trap samurai itu masuk ke sarung di tangan kirinya. Kini dia hanya seperti memegang sebuah tongkat kayu. Siti dan ayahnya seperti terpaku di tempat mereka. Anak muda itu berjalan lagi dengan tenang ke mejanya, di mana Siti duduk dengan diam. Dia mengangkat gelas kopinya. Kemudian meminum kopinya tiga teguk. Kemudian memandang pada siti. Kemudia menoleh pada pemilik kedai itu.
"Maafkan saya terpaksa menyusahkan Bapak…" dia melangkah ke dekat lelaki tua itu. Lalu tiba-tiba samurainya bekerja. Sret.. Lelaki itu terpekik. Siti terpekik. Lelaki tua itu merasakan dadanya amat perih. Samurai si Bungsu memancung dadanya. Mulai dari bahu kanan robek ke perut bawah. Siti menghambur dan memukul anak muda itu sambil memekik-mekik. Namun lelaki tua itu masih tegak dengan wajah pucat.
"Pergilah lari ke markas jepang di ujung jalan ini. Laporkan di sini ada serdadu yang mabuk dan berkelahi. Cepatlah"
Lelaki tua itu kini tiba-tiba sadar apa sandiwara yang akan dia mainkan. Luka di dada dan perutnya hanya luka di kulit yang tipis. Meski darah banyak keluar, tetapi luka itu tak berbahaya. Anak muda ini nampaknya seorang yang amat ahli mempergunakan samurainya. Siti yang juga maklum, jadi terdiam. Dia jadi malu telah memaki dan memukuli anak muda itu.
"Pergilah. Kami akan mengatur keadaan di sini…" Si Bungsu berkata. Orang tua itu mulai berlarian dalam hujan yang mulai lebat. Memekik dan berteriak-teriak hingga sampai ke Markas Tentara jepang. Dalam waktu singkat, lebih dari selusin serdadu jepang dan puluhan penduduk datang membawa suluh. Kedai itu berubah seperti pasar malam. Kedai itu kelihatan centang perenang. Meja dan kursi terbalik-balik. Seorang anak muda kelihatan tersandar ke dinding di lantai. Dada dan tangannya berlumur darah. Nampaknya dia kena bacokan samurai pula. Siti kelihatan menangis di dapur. Baju di punggungnya robek panjang. Dari robekan itu kelihatan darah merengas tipis. Di antara mereka kelihatan keempat serdadu jepang itu telah jadi mayat. Samurai-samurai mereka kelihatan berlumur darah.
"Mereka mabuk. Minum sake dan minta kopi. Kemudian entah apa sebabnya mereka lalu saling mencabut samurai. Main bacok. Kami tak sempat menghindar…saya terkena bacokan, entah samurai siapa saya tak tahu. Anak muda itu yang sudah sejak sore tadi terkurung hujan juga kena sabetan samurai….Siti juga…"Lelaki pemilik kedai itu bercerita dengan wajah pucat penuh takut.
"Lihatlah kedai saya…centang perenang. Saya rugi…" katanya.
Tiga orang Kempetai yang juga ikut nampak sibuk mempelajari situasi kedai itu dan mencatat di buku laporan mereka.
"Saya sudah bilang jangan biarkan mereka minum sake dalam tugas.." Komandan Kempetai itu berkata dengan berang. Kemudian menghadap pada pemilik kedai.
"Maaf, anak buah saya membuat kekacauan. Dia sudah pantas menerima kematian atas kebodohan mereka ini. Bapak besok bisa datang ke Markas. Kami ingin minta keterangan tambahan dan memberikan ganti rugi yang timbul malam ini. Kami tak mau tentara jepang merugikan rakyat… Nipong Indonesia sama-sama. Nipong saudara tua, Indonesia saudara muda…"
Dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengangkut mayat-mayat itu ke markas. Penduduk lalu berkerumun menanyai pemilik kedai. Tetapi lelaki itu segera menutup kedainya. orang terpaksa pulang karena hujan makin lebat. Kini dalam kedai yang centang perenang itu, tinggalah mereka bertiga. Siti menghentikan tangis pura-puranya. Ayahnya terduduk lemah. Si Bungsu bangkit. Merogoh kantong. Mengambil sebungkus kecil ramuan. Mengeluarkannya, kemudian dia mendekati Siti.
"Menunduklah. Saya mempunyai obat luka yang manjur…" katanya.
Siti menurut. si bungsu menaburkan obat ramuan yang dia bawa dari gunung Sago itu ke luka di punggung gadis tersebut. Ramuan itu mendatangkan rasa sejuk dan nyaman di luka itu.
"Terima kasih… gadis itu berkata perlahan.
Luka itu sengaja dibuat oleh si bungsu dengan samurainya. Agar kelihatan bahwa memang ada perkelahian dalam kedai itu. Demikian pula samurai jepang itu dia lumuri dengan darah. Kemudian dia juga menaburkan bubuk obat itu di luka yang dia buat di dada ayah Siti. Lelaki itu menatap padanya.
"Maaf saya harus berbuat ini pada Bapak…" katanya perlahan
"Kami yang harus berterima kasih padamu, Nak. Saya dengar engkau tadi menanyakan Tai-I (Kapten) Saburo Matsuyama pada serdadu-serdadu itu…"
Si bungsu tertegun.
"Benar. Bapak mengenalnya?"
"Tidak ada yang tak kenal padanya Nak.."
"Dimana dia sekarang?"
"Nampaknya ada sesuatu yang amat penting hingga kau mencarinya…."
Hampir saja si bungsu menceritakan apa yang telah menimpa keluarganya. Namun dia segera sadar, hal itu tak ada gunanya.
"Ya, ada sesuatu yang penting yang harus saya selesaikan.."
"Balas dendam?"
Kembali anak muda itu tertegun. Menatap dalam-dalam pada lelaki tua itu.
"Engkau menuntut balas kematian ayah, ibu dan kakak perempuanmu?" Ucapan lelaki itu lagi lagi membuat si Bungsu terdiam.
"Tidak perlu kau sembunyikan padaku siapa dirimu Nak. Setiap orang di sekitar Gunung Sago ini mendengar tentang kematian ayahmu. Saya mengenalnya. Kami dulu sama-sama belajar silat Kumango. Dan semua orang juga mengetahui, bahwa anak lelakinya bernama si Bungsu...."
Anak muda itu menunduk.
"Apakah bapak mengetahui di mana Saburo kini?"
"Beberapa hari yang lalu masih di sini. Tapi tempat yang mudah mencari opsir jepang adalah di Lundang…"
"Di Lundang? Di tepi batang Agam itu?"
"Ya. Di sanalah."
"Ada apa di sana. Apakah mereka mendirikan markas di sana?"
"Tidak. Di sana tempat mereka memuaskan nafsu dengan perempuan-perempuan.."
"Tempat pelacuran?"
"Begitulah.."
"Terima kasih. Saya akan mencarinya ke sana."
"Marilah kita naik. Besok kau teruskan perjalananmu. "
"Terima kasih Pak. Saya harus pergi sekarang."
"Tapi hari hujan dan malam telah larut."
"Tidak apa. Saya biasa berjalan dalam suasana bagaimanapun"
"Tapi bukankah engkau disuruh datang besok ke markas Kempetai?"
"Ah, saya kira biar Bapak saja. Katakan saya sudah pergi."
"Engkau benar-benar tak ingin bermalam di sini agak semalam?"
"Terima kasih pak…"
Dia kemudian menoleh pada Siti yang masih duduk. Gadis itu menunduk.
"Terima kasih kopinya Siti. Engkau pandai membuatnya. Saya belum pernah minum seenak itu…." Siti melihat padanya. Ada air menggenang di pelupuk matanya
"Benar kopi itu enak?" tanya gadis itu perlahan.
"Benar…"
"Saya lupa memberinya gula, karena ketakutan." Gadis itu berkata sambil bibirnya tersenyum malu.
"Ya, ya. Itulah justru kenapa kopinya jadi enak. Nah, selamat tinggal."Dia genggam tangan Siti sesaat. Kemudian melangkah keluar.
"Doa kami untukmu Nak…"
"Terima kasih Pak…"
"Kalau suatu hari kelak kau lewat di sini, singgahlah…"
"Pasti saya akan singgah.."
Dan dia lenyap ke dalam gelap yang basah di luar sana. Siti menangis ketika dia pergi. Ayahnya menarik nafas panjang.
-000-
Senja ini perempuan-perempuan di Lundang itu merasa surprise bercampur heran. Sebab kesana datang seorang anak muda. Meskipun wajahnya murung, namun tak dapat disangkal bahwa dia seorang yang gagah. Sinar matanya yang kuyu justru membuat perempuan-perempuan kembang di sana menjadi tertarik. Sejak senja tadi dia "dikawal" oleh dua perempuan. Untuk ukuran disana, kedua perempuan itu adalah perempuan pilihan. Biasanya mereka hanya mau melayani opsir-opsir berpangkat tinggi. Paling rendah yang berpangkat kapten. Tak sembarangan saja mereka mau melayani orang. Senja ini keduanya merasa perlu melayani anak muda itu. Soalnya belum pernah mereka dikunjungi urang awak, gagah pula. Mereka bercerita perlahan hilir mudik. Bercerita di bawah bayangan pohon cery. Minum teh manis dan makan pisang goreng. Anak muda itu kelihatannya bukan dari golongan orang berada. Pakaiannya sederhana saja. Pakai baju gunting Cina, celana Jawa dengan kain sarung menyilang dari bahu kiri ke kanan. Di tangannya ada sebuah tongkat kayu. Kalau saja dia pakai Saluak, maka orang akan percaya bahwa pastilah dia seorang penghulu. Gayanya memang mirip seorang kepala kaum.
"Nampaknya uda tengah menanti seseorang….", perempuan yang bekulit hitam manis, berhidung mancung dengan mata yang gemerlap dan menarik, berkata. Dia memperhatikan anak muda itu beberapa kali melirik ke gerbang setiap ada orang yang datang.
"Ada teman yang akan datang?" perempuan itu bertanya lagi.
"Ya, saya menanti seseorang."
"Perempuan?"
"Tidak, bukankah kalian sudah ada?"
"Ya. Tapi kenapa sejak tadi hanya duduk saja di sini? Ayolah ke rumah…". Perempuan yang satu lagi, yang berkulit kuning dan dan bertubuh montok, berkata sambil menarik tangan anak muda itu. Umur kedua perempuan itu barangkali tak lebih dari 22 tahun. Masih terlalu muda.
"Tunggulah. Sebentar lagi mungkin dia datang. Tapi bagaimana saya akan ke rumah, kalian berdua."
"Tak jadi soal. Bisa gantian toh Uda?" ujar perempuan hitam manis itu sambil mengerdipkan matanya yang indah.
Muka anak muda itu jadi merah. Dia melirik ke meja di seberang sana, pada beberapa serdadu dan opsir Jepang yang sedang minum. Rasanya dia mengenal dua orang diantara mereka. Dia coba mengingat-ingat.
"Bagaimana? Ayolah ke rumah!" Perempuan cantik berkulit kuning itu merengek lagi sambil menarik tangannya. Saat itulah salah seorang dari serdadu Jepang yang duduk tak jauh darinya berdiri. Berjalan menuju meja di mana mereka duduk. Tubuh Jepang itu berdegap. Dia menatap pada kedua perempuan yang ada di samping anak muda itu.
"Hmmm…nona mari ikut aku…" katanya sambil memegang tangan si hitam manis. Perempuan itu menyentak tangannya.
"Maaf Kamura, saya sedang ada tamu…", ujarnya mengelak.
Jepang yang bernama Kamura dan berpangkat Gun Syo (Sersan Satu) itu menyeringai. Menatap pada tamu yang disebutkan si hitam manis tersebut. Ketika yang dia lihat tamunya itu hanyalah seorang lelaki tanggung, pribumi pula, dia tertawa. Memperlihatkan seringai yang memuakkan.
"Ha, kalian orang ada berdua. Ada si hitam ada si kuning. Kamu jangan serakah ya. Saya bawa yang hitam manis ini…" Jepang itu berkata sambil tetap menyeret tangan si hitam manis. Tak ada daya perempuan itu selain menuruti kehendak Kamura. Teman-temannya tertawa dan bertepuk tangan. Sementara itu si cantik berkulit kuning segera merapatkan duduknya dan memegang lengan anak muda itu erat-erat.
"Cepatlah kita ke bilik. Nanti datang yang lain membawa saya…", perempuan itu merengek lagi. Anak muda itu, yang tak lain dari pada si Bungsu tak mendengar ucapan si cantik ini. Pikirannya tengah melayang. Dia coba mengingat seringai buruk Gun Syo Kamura tadi. Dimana dia pernah melihatnya.
Tiba-tiba kini dia ingat. Bukankah Jepang itu yang menghadangnya ketika dia akan mendekati ayah, ibu dan kakaknya sewaktu penyergapan di rumah mereka dulu? Dia ingat peristiwa itu. Ayah, kakak dan ibunya baru saja diperintahkan untuk keluar dari persembuyian di atas lot eng oleh Kapten Saburo. Ketika mereka muncul di tangga rumah Gadang, si Bungsu yang berada di antara kerumunan penduduk berlari ke depan sambil memanggil ayah dan ibunya. Tapi seorang serdadu Jepang bertubuh kurus menghadangnya. Dia berhenti, menatap pada serdadu kurus itu. Serdadu itu menyeringai. Dia tertegak ngeri di tempatnya.
Nah, serdadu itulah tadi yang membawa si hitam manis ke atas. Dia tandai seringainya itu. Tadi dia lupa karena serdadu itu tubuhnya tidak lagi kurus seperti belasan purnama yang lalu. Kini tubuhnya besar berdegap. Senang nampaknya dia di Lima Puluh Kota ini.
"Kita masuk?" si cantik kuning itu gembira melihat dia tegak. Si Bungsu menatapnya.
"Ya. Kita masuk.." katanya. Dengan gembira si kuning itu memegang tangannya. Kemudian membimbingnya ke atas rumah di mana Kamura tadi juga masuk bersama kawannya si hitam manis. Di dalam kamar, si kuning cantik itu mendudukkan anak muda berwajah murung itu di tempat tidurnya yang beralaskan kain satin dan berbau harum.
"Duduklah. Mau minum apa?" tanyanya dengan manja.
Si Bungsu menatap perempuan itu. Menatapnya diam-diam.
"Jangan memandang seperti itu Uda. Hatiku luluh uda buat….", katanya manja sambil memegang kedua belah pipi si Bungsu.
"Kulihat engkau mencari seseorang kemari…" perempuan itu berbisik. Si Bungsu masih duduk diam.
"Kulihat engkau mengenali dan menaruh dendam pada Jepang yang tadi membawa temanku si hitam itu…." perempuan itu berkata lagi perlahan.
Si Bungsu mengagumi ketajaman penglihatan perempuan ini.
"Di balik matamu yang sayu, di balik wajahmu yang murung, tersimpan lahar gunung berapi. Yang akan memusnahkan orang-orang yang kau benci. Sesuatu yang sangat dahsyat dalam hidupmu pastilah telah terjadi. Sehingga engkau menyimpan demikian besar gumpalan dendam di hatimu. Apakah keluargamu dilaknati oleh Jepang?"
Si Bungsu benar-benar terkejut mendengar ucapan perempuan ini. Dia menerkanya seperti membaca halaman sebuah buku.
"Upik, siapa namamu?" tanyanya sambil menatap perempuan cantik itu.
"Tak perlu engkau ketahui. Setiap lelaki yang datang kemari menanyakan namaku. Kemudian mereka akan melupakannya."
"Katakanlah, siapa namamu!"
"Mariam…"
"Mariam?"
"Ya"
"Apakah itu namamu yang sebenarnya?"
"Tak ada yang harus kusembunyikan. Sedang kehormatan saja di sini diperjual belikan. Apalah artinya menyembunyikan sebuah nama."
"Maaf. Tapi engkau menerka diriku seperti sudah demikian engkau kenali…"
"Bagi orang lain mungkin sulit buat menebak siapa dirimu. Tapi tidak bagiku. Aku kenal apa yang ada dalam hatimu, karena aku jaga mengalami hal yang sama…"
"Keluargamu dibunuh Jepang?"
"Tepatnya suamiku…"
"Suamimu?"
"Ya. Aku yatim piatu. Ibu dan ayah meninggal setelah aku menikah dan suamiku di bunuh Jepang karena tak mau ikut ke Logas. Kemudian diriku mereka nistai. Tak cukup hanya demikian, aku mereka seret kemari. Pernah kucoba untuk melarikan diri, tapi negeri ini tak cukup luas untuk lepas dari jangkauan tangan Kempetai. Akhirnya aku diseret lagi kemari untuk memuaskan nafsu mereka. Di sini aku…hidup dan menanti mati."
Perempuan itu mulai terisak. Si Bungsu jadi luluh hatinya. Perempuan secantik ini, yang barangkali sama cantiknya dengan Renobulan, bekas tunangannya dulu. Atau dengan Saleha. Atau dengan Siti. Kini terdampar di Lundang ini. Penuh noda. Dibenci orang kampungnya. Namun tahukah mereka apa penyebabnya maka dia sampai kemari?
"Mariam. Dimana kampungmu…" tanyanya sambil memegang bahu perempuan itu.
Perempuan itu menghapus air mata. Berusaha menahan tangis.
"Saya berasal dari Pekan Selasa…", jawabnya perlahan.
"Engkau kenal siapa yang menistai dirimu dan yang membunuh suamimu, Mariam?"
"Jepang yang tadi membawa teman saya, yang berkulit hitam manis itu salah seorang di antara mereka…."
"Maksudmu Jepang yang tadi dipanggil dengan nama Kamura oleh temanmu itu?" Mariam mengangguk.
"Jahanam. Dia jugalah yang dulu ikut membantai kedua orang tuaku dan kakakku. Dia yang menerjangku ketika aku lari ke arah ayahku…" desis si Bungsu.
"Siapa lagi yang kau kenal Mariam?"
"Saya tak ingat. Tapi komandannya adalah Saburo…"
Si Bungsu tersentak. "Saburo?" katanya mendesis tajam.