Chereads / TIKAM SAMURAI / Chapter 9 - Pertarungan Dimulai

Chapter 9 - Pertarungan Dimulai

Ya. Dialah yang tegak menghadang itu. Di sudut bibirnya masih menetes darah dari bekas dilanyau Malano dan teman-temannya beberapa menit berselang.

"Apakah bangsa kalian tak beradab sedikitpun, sehingga masuk rumah ibadah tanpa membuka sepatu yang kotor?" Anak muda itu berkata dengan nada suara yang setajam pisau. Jepang-jepang itu tertegun. Mereka lebih banyak heran daripada kaget. Heran ada lelaki pribumi yang berani menghadang Kempetai. Apakah lelaki ini edan, pikir mereka. Namun yang bertubuh gemuk itu segera ingat anak muda ini.

"Hei beruk. Bukankah kamu orang yang kami tangkap malam itu ketika bersembunyi dekat Sasaran silat rahasia itu? Ya, engkaulah orangnya. Kamu orang anak Datuk Berbangsa jahanam itu ya?" penduduk pada terdiam.

"Tangkap anak jahanam ini. Ayahnya seorang pemberontak. Anaknya tentu sama saja…" sigemuk itu berkata lagi.

Si bungsu segera ingat bahwa si gemuk ini adalah jepang yang dulu memimpin penangkapan atas pesilat-pesilat di sasaran rahasia yang waktu itu dilatih oleh Datuk Maruhun.

"Lepaskan gadis itu…" dia berkata perlahan.

"Tangkap dia" perintah si gemuk menggelegar.

Salah seorang Kempetai itu melepaskan pegangannya dari Malano. Kemudian maju menangkap si bungsu. Namun sebuah tendangan menyebabkan Kempetai tersurut dengan perut mual.

"Bagero Habisi nyawanya" si gemuk yang merasa sudah banyak waktunya yang terbuang segera memerintahkan untuk membunuh anak muda itu. Kedua jepang itu maju dengan menghunus samurai mereka. Mata si bungsu tiba-tiba berkilat. Orang yang hadir tak melihat perubahan sedikitpun pada diri anak muda itu. Wajahnya tetap murung. Sinar matanya tetap kuyu. Begitu dulu, begitu sekarang. Tiba-tiba kedua jepang itu membabat. Dan tiba-tiba….snap. Tiga bacokan yang terlalu cepat untuk bisa diikuti. Akhirnya sebuah tikaman yang telak ke belakang. Persis seperti jurus yang dipergunakan oleh ayahnya, Datuk Berbangsa, di halaman rumahnya belasan purnama yang lalu.

Kedua Kempetai itu tertegak diam. Mata mereka menatap kosong ke depan. Wajah mereka seperti keheranan. Tiba-tiba mereka rubuh Si bungsu tegak diam di tempatnya. Samurai ditangannya berada kembali dalam sarungnya. Semua orang terdiam. Bahkan anginpun seperti berhenti bertiup, jepang gemuk itu juga tertegun. Namun hanya sesaat, kemudian dengan memaki dalam bahasa jepang dia maju. Tangannya tergantung dekat samurai. Dia maju setelah mendorong Saleha hingga rubuh.

"Kubunuh kau jahanam" jepang gemuk itu memaki, dan samurainya berkelebat. Aneh, tiba-tiba pula seperti halnya ketika dia melawan harimau jadi-jadian di Gunung Sago sebulan yang lalu, wajah Kempetai gemuk ini seperti berubah. Wajahnya kini mirip wajah Saburo Matsuyama. Komandan Kempetai yang membunuh ayah, ibu dan memperkosa kakaknya. Wajahnya yang murung berubah jadi keras. Gerakan samurai si gemuk itu bukan main cepatnya. Namun lebih cepat lagi gerakan lompat tupai yang dipergunakan oleh si bungsu.

Tubuhnya tiba-tiba berguling ke kanan. Samurai si gemuk memburu ke sana. Kosong... Tiba-tiba dia melambung tegak dua depa di depan Kempetai itu. Kini mereka berhadapan. Tak seorangpun di antara penduduk yang percaya atas apa yang baru saja mereka saksikan. Mulai dari saat kematian kedua Kempetai itu, sampai pada peristiwa sebentar ini. Benarkah yang berada di hadapan mereka dan yang berhadapan dengan Kempetai itu adalah si Bungsu anak Datuk Berbangsa? Si penjudi yang terkenal penakutnya itu?. Mereka tak sempat berpikir. Kedua lelaki itu berhadapan lagi. Kempetai gemuk itu menggeser telapak kakinya di tanah, inci demi inci. Tiba-tiba samurainya bekerja.

Tapi saat itu si bungsu mencabut samurainya. Tak seorangpun yang melihat bergeraknya samurai kedua orang itu. Kedua-duanya alangkah cepatnya. Namun, kini si bungsu kelihatan berlutut di lutut kirinya. Samurainya menghujam ke belakang. Dan di ujung samurainya Kempetai gemuk itu tertusuk persis di dada kiri. Kempetai itu tertegak diam. Matanya mendelik. Samurainya terangkat tinggi. Dia menggertakkan geraham. Menghimpun tenaga. Kemudian mengayunkan samurai di tangannya ke tengkorak si bungsu yang berlutut disebelah kaki membelakanginya. Saleha terpekik. Begitu pula beberapa perempuan yang tegak dengan kaku di sekitar halaman masjid itu. Namun ayunan samurai si gemuk hanya sampai separoh. Kempetai itu rubuh ke tanah. Si bungsu menyentakan samurainya dan dengan amat cepat memasukkan kembali ke sarungnya. Gerakan cepat Bungsu mencabut samurainya diawal pertarungan tadi membuat konsentrasi si gemuk terganggu. Itulah salah satu sebab kenapa serangannya tak terarah. Tak pernah dia sangka sedikitpun, bahkan hampir tak masuk di akal, ada penduduk pribumi yang masih sangat muda memiliki kecepatan luar biasa mempergunakan samurai. Lebih cepat dari seorang Kempetai. Apakah ini bisa terjadi? Ketika kedua anak buahnya meninggal tadi, sebenarnya dia sudah merasa heran. Kuda-kuda dan langkah kaki anak muda ini tak menurut aturan dan teori seorang samurai. Nampaknya asal melangkah saja. Bahkan beberapa gerakannya terlihat canggung dan lucu. Tapi kenapa dia bisa secepat itu? Kempetai gemuk itu tak sempat mengambil kesimpulan atas pertanyaan di kepalanya. Dia keburu mati.

Kalau Kempetai itu sudah menganggap bahwa si bungsu terlalu cepat dengan samurainya, maka penduduk kampung itu benar-benar tak tahu apa yang terjadi. Mereka melihat si Bungsu hanya sekali memegang samurai terhunus. Yaitu ketika dia menikamkan samurai itu pada si gemuk di belakangnya. Kemudian samurai itu disentakkan, dan lenyap ke dalam sarungnya. Kini anak muda itu seperti hanya memegang sebuah tongkat kayu yang panjangnya kurang sedepa.

Si Bungsu tegak di antara mayat-mayat Kempetai itu. Menatap pada Saleha, kemudian pada Sawal dan Malano. Sementara mereka membalas tatapannya dalam diam. Mereka benar-benar takjub. Kejadian ini terlalu luar biasa bagi mereka. Anak muda itu masih tegak dengan muka murung. Lalu si Bungsu menoleh pada Imam yang masih tersandar di pintu masjid.

"Saya rasa Kempetai ini hanya datang bertiga. Mudah-mudahan yang lain tak tahu. Kuburkan mereka jauh-jauh. Lenyapkan segala tanda kedatangan mereka kemari. Jangan sampai yang lain tahu. Kalau mereka tahu mereka mati di sini, yang lain akan mereka bunuh. Terima kasih atas bantuan pak Imam pada saya…." lalu dia menoleh pada Sawal.

"Tinggaikan kampung ini buat sementara. Agar jepang-jepang itu tak curiga." Kemudian dia menghadap lagi pada Malano yang tadi melanyaunya dengan tangan.

"Terima kasih Malano, engkau seorang pejuang. Ayah pasti bangga mempunyai murid seperti engkau. Siang tadi kalian memberiku waktu sampai sore untuk berada di kampung ini. Sudah tiba saatnya bagi saya untuk pergi…"

Lalu dia memandang pada Saleha. Gadis itu juga menatap padanya.

"Terima kasih Saleha. Atas air hangat dan kain lap yang engkau berikan tadi…."

Tak ada yang menjawab. Tak ada yang bersuara. Dan anak muda itu berjalan menuju hilir kampung. Suaranya tadi terdengar tenang. Tak ada nada dendam. Tak ada nada sakit hati. Dia tetap seperti dahulu. Wajahnya tetap murung dengan tatapan mata yang kuyu. Ya, tak ada yang berobah pada dirinya. Dia tetap seperti dulu. Bedanya kini hanyalah Samurai ditangan dan bara dendam di hatinya.

Si bungsu makin lama makin jauh. Semua orang ingin memanggil dan berkata agar dia jangan pergi. Semua orang ingin minta maaf atas apa yang telah mereka perlakukan terhadap anak muda itu. Saleha, Malano, Sawal. Semuanya. Namun tak seorangpun yang mampu membuka mulut. Tak ada suara yang mampu diucapkan. Tak tahu bagaimana cara memulai kalimat. Imam ayah Saleha itulah yang bicara. Dia bicara perlahan, di antara air matanya yang mengalir turun. Dia bicara dari pintu masjid, sambil bersandar ke pintu dan memegangi luka di dadanya.

"Setahun yang lalu, ketika semua kita melarikan diri dari kampung ini, dialah yang menguburkan jenazah anak kemenakan kalian. Dialah yang menguburkan suami dan isteri kalian. Dia tak ingin mayat-mayat itu dimakan binatang buas. Dia kuburkan mereka dalam keadaan dirinya sendiri luka parah. Bukankah engkau Datuk Labih yang melihat bahwa dia kena bacokan samurai sebelum engkau sendiri melarikan diri? Meninggaikan kakak perempuanmu diperkosa dan dibunuh tentara jepang? Kemudian engkau pula yang mengatakan pada orang kampung bahwa tak mungkin dia menguburkannya. Bahwa bangkainya pasti telah dimakan anjing atau diseret binatang buas ke rimba?. Bahwa kalian semua mempercayai, bahkan memang berharap. anak itu mendapat celaka seperti itu? Bukankah begitu?"

Tak ada yang menjawab. Beberapa orang kelihatan menghapuskan air mata. Imam itu juga menghapus air mata di pipinya yang tua. Tiba-tiba dia menjadi muak melihat orang kampungnya ini. Dia juga muak pada dirinya. Kenapa tak sejak dahulu dia mempunyai keberanian untuk berkata begini? Seekor burung Gagak terbang tinggi. Suaranya menyayat pilu. Gaaak….gaaak…gaaak. Di ujung sana, tubuh si Bungsu lenyap di balik tikungan. Pergi bersama tenggelamnya matahari senja.

Hilang si Noru tampak pagai

Hilang dilamun-lamun ombak.

Hilang si bungsu karano sansai

Hilang di mato urang banyak.

–odowo—

Malam itu gerimis turun membasahi bumi. Empat orang serdadu jepang kelihatan berkumpul di sebuah kedai kopi di kampung Tabing. Kampung itu masih terletak dikaki gunung Sago. Sebuah desa kecil yang tak begitu ramai. Namun karena letak kampung itu di dalam kacamata militer cukup strategis, maka jepang menjadikan kampung itu sebagai salah satu markasnya.

Ada beberapa markas jepang yang termasuk besar di sekitar kaki Gunung sago di Luhak 50 Kota ini. Yaitu Padang Mangatas, Tabing, Pekan Selasa dan Kubu Gadang . Jepang menganggap daerah Luhak 50 Kota ini sebagai daerah strategis. Karena dari sini dekat mengirimkan pasukan atau suplay ke Batu Sangkar atau ke Logas dan Pekanbaru. Di daerah mana jepang mempunyai tambang-tambang emas dan berbagai kepentingan militer lainnya.

Kedai kopi itu sebenarnya sudah akan tutup, Pemiliknya seorang lelaki tua sudah akan tidur. Namun keempat serdadu jepang itu tetap menggedor pintu kedainya.

"Jangan bobok dulu Pak tua. Kami ingin makan paniaram dengan sake. Ayo keluarkan paniaramnya..[1]" salah seorang bicara. Dari mulut mereka tercium bau sake. Semacam minuman keras khas jepang.

"Paniaram sudah habis tuan…"

"Ah jangan ngicuh[2]1 laa. Tak baik ngicuh. Tadi siang masih banyak. Ayooo."

Dan orang tua itu mereka dorong sampai terdede-dede[3] masuk ke kedainya. Mereka langsung saja duduk di kursi panjang dan mengambil empat buah gelas. Dari kantong mereka mengeluarkan beberapa buah botol porselin. Menuangkan isi botol itu ke dalam gelas. Hanya sedikit, lalu meminumnya. Mereka lalu berbisik. Salah seorang lalu berseru :

"Hei, pak tua. Mana paniaramnya."

Lelaki itu terpaksa mengambil kaleng empat segi yang berisi paniaram. Kemudian meletakkannya ke depan tentara jepang tersebut.

"Mana Siti pak tua. Suruh dia membuatkan kami kopi"

Hati gaek itu jadi tak sedap. Siti adalah anak gadisnya. Biasanya dia berada di Padang Panjang. Sekolah Diniyah Putri di sana. Tapi sejak jepang masuk. dia merasa anak gadisnya tak aman di sana. Lagipula, banyak orang tua yang menyuruh pulang anak-anaknya yang sekolah jauh. Pak tua ini juga menjemput Siti. Dan selama di kampung dia lebih banyak di rumah.

"Tak ada lagi air panas untuk membuat kopi tuan…" dia masih coba mengelak.

Tapi terus terang saja hatinya sangat kecut. Keganasan jepang terhadap perempuan bukan rahasia lagi. Meskipun belum lewat dua tahun mereka di Minangkabau ini.

Beberapa hari yang lalu, dua orang penduduk yang dituduh mencuri senjata di Kubu Gadang, dipenggal ditepi batang Agam. Dan segera saja tentara jepang itu memaki. Belasan perempuan, tak peduli gadis atau bini orang, telah jadi korban perkosaan.

"Jangan banyak cincong pak tua. Suruh anakmu turun membuatkan kopi untuk kami…." bentak salah seorang tentara itu.

Lelaki tua itu tak punya pilihan lain selain menyuruh anaknya turun dan membuatkan kopi. Siti memakai pakaian yang buruk. Mengusutkan rambutnya kemudian turun membuatkan kopi. Namun meski dia berusaha memburuk-burukkan badannya dan pakaian yang dia pakai longgar, tetap tak dapat menyembunyikan kecantikan dan kepadatan tubuhnya. Tak dapat menghilangkan bahwa pinggulnya padat berisi. Dadanya sedang ranum. Semua itu masih jelas terbayang. Bahkan makin merangsang dalam cahaya pelita yang eram temaram dalam kedai kecil itu.

Ketika dia lewat hendak ke dapur di dekat ke empat serdadu itu, dengan kurang ajar sekali yang seorang meremas pinggulnya. Yang seorang dengan cepat mencubit dadanya, gadis ini terpekik dan menangis. Dia segera akan lari ke atas rumahnya kembali. Namun dia terpekik lagi ketika larinya dihadang oleh sebuah samurai. Samurai itu berkelebat. Dan ujung kain batik yang dia pakai sebagai selendang putus Dapat dibayangkan betapa tajamnya senjata itu.

"Kau Siti, dan kau juga pak tua, jangan banyak tingkah. Kami ingin minum kopi, makan paniaram sediakan cepat kalau tidak ingin dimakan mata samurai ini…"

Siti menggigil. Ayahnya mengangguk tanda menyuruh. Sambil menangis terisak-isak, gadis berumur tujuh belas tahun itu menghidupkan api untuk membuat kopi.

"Assalamualaikum...." tiba-tiba terdengar suara perlahan dari luar.

Tak ada yang menyahut kecuali tolehan kepala. Lelaki tua itu, anak gadisnya, dan keempat serdadu jepang itu menoleh ke pintu. Di ambang pintu muncul seorang lelaki muda dengan wajah murung. Matanya yang kuyu menatap isi kedai. Dia memandang pada Siti.

Sebentar saja. Tapi dia melihat pipi gadis itu basah. Dia memandang pada pemilik kedai. Kemudian pada keempat serdadu itu. Dia mengangguk memberi hormat. Anggukan pelan saja. Meski tak di balas, dia melangkah masuk. Di tangannya ada sebuah tongkat kayu. Ke empat serdadu jepang itu kembali meminum sake mereka. Nampaknya minta kopi hanya sekedar untuk menyuruh anak gadis itu untuk turun ke kedai ini saja. Untuk minum mereka mempunyai sake. Anak muda yang baru masuk itu duduk di sudut kedai. Membelakangi pada keempat serdadu itu.

"Apakah saya bisa minta kopi secangkir upik"? dia bertanya perlahan pada Siti yang duduk dekat tungku menuggu air, sedepa di sampingnya.

Gadis itu menoleh padanya. Anak muda itu menunduk. Seperti sedang melihat daun meja. Gadis itu tak menyahut. Meski dia yakin anak muda itu tak melihat anggukannya, dia mengangguk juga sebagai tanda akan menyediakan kopi yang diminta. Meski menunduk, anak muda itu dapat melihat anggukan gadis itu.

"Hei pak tua, bukankah Sumite yang bertubuh gemuk itu minum di sini lima hari yang lalu?"Tentara jepang itu bertanya pada lelaki pemilik kedai.

Lelaki itu tak segera menjawab.

"Sumite. Kempetai yang bertubuh gemuk itu. Bukankah dia minum bersama dua orang anak buahnya di sini lima hari yang lalu?"

Pemilik kedai itu segera tahu siapa yang ditanyakan jepang itu. Kempetai bertubuh gemuk itu memang minum disini lima hari yang lalu. Kemudian dia pergi. Tapi sejak hari itu, Kempetai itu lenyap tak berbekas. Dia harus hati-hati menjawab .Jangan sampai dia berurusan pula ke Kempetai nanti. Kempetai telah datang kemari dua kali. Dia menjawab seadanya.

"Ya tuan. Dia minum di sini bersama dua orang temannya."

"Tak ada dia mengatakan kemana dia akan pergi?"

"Tak ada tuan"

"Nah, dia lenyap tak berbekas. Dia diperintahkan untuk menangkap dua orang lelaki yang mencuri senjata di kampung di kaki gunung sana. Tapi tak pernah kembali. Kampung itu sudah diperiksa. orang yang ditangkap itu juga tak pernah pulang ke kampungnya."

"Barangkali dia melarikan diri ke Agam. Dan Sumite memburunya ke sana…" jepang yang satu lagi memotong pembicaraan.

"Tak tahulah. Di negeri ini memang banyak setannya. Hei Siti, cepat bawa kemari kopi itu…Naah, bagus, bagus….Yoroshi…"

Siti datang membawa empat gelas kopi. Ketika dia akan meletakkannya jepang yang bertubuh kurus memeluk pinggangnya. Siti terpekik.

"Tak apa. Tak apa. Saya sayang Siti. Saya sayang Siti. Saya akan belikan Siti kain." Jepang kurus itu merayu sambil mencium-cium punggung Siti. Siti menangis. Segelas kopi terserak. Jepang-jepang itu tertawa. Ayah Siti pernah belajar silat. Namun menghadapi empat serdadu dengan samurai ini hatinya jadi gacar. Apalagi tak jauh dari kedainya terdapat kamp tentara jepang. Dia terpaksa diam. Jepang kurus itu sudah mendudukkan siti di pangkuannya. Kemudian membelai wajah gadis itu. Kemudian mencium pipinya. Bau sake membuat Siti ingin muntah. Bau keringat Jepang itu membuat Siti hampir pingsan.

"Mana kopi saya Siti…."

Tiba-tiba terdengar suara dari belakang jepang-jepang itu. jepang-jepang yang sedang tertawa itu terdiam. Mereka menoleh. Dan melihat pada lelaki yang masuk tadi yang duduk menunduk membelakangi mereka. Di kanannya di atas meja kelihatan tongkat kayu melintang. Dialah yang barusan minta kopi pada Siti.

"Kamu orang bicara sebentar ini?" si kurus bicara.

"Ya," orang itu menjawab perlahan

"Apa bicara kamu orang?"

"Saya tadi meminta kopi. Dan Siti terlalu lama."

"Kamu bisa bikin sendiri kopi. Itu ada air di tungku."

"Tidak. Saya meminta siti yang membikinkan…"

"Siti ada perlu dengan saya…"

"Tidak. Dia harus membikin kopi untuk saya…

"Bagero. Kurang ajar…."

"Siti mana kopi saya," anak muda itu tetap tenang dan menunduk tanpa mengacuhkan jepang yang berang itu. Siti melepaskan dirinya dari pelukan jepang tersebut. Namun si kurus mendorong tubuh Siti ke pangkuan temannya satu lagi. Lalu dia sendiri tegak dengan gelas kopi di tangannya. jepang itu berjalan ke arah anak muda yang meminta kopi itu.

"Kau minta kopi ya ini minumlah"

Berkata begitu si kurus menyiramkan kopi itu ke kepala anak muda tersebut. Namun tiba-tiba ada cahaya berkelebat cepat sekali. Dan... trasss Gelas di tangan jepang itu belah dua.

Kopinya tumpah ke wajahnya sendiri. Tangannya luka mengucurkan darah jepang itu terpekik kaget dan melompat mundur. Anak muda itu masih membelakang. Kini kelihatan dia lambat-lambat meletakkan tongkatnya. Samurai tanpa terasa keempat serdadu itu berkata sambil tegak. Mereka menatap dengan kaget. siti.

"Ambilkan kopi untuk saya…"

Anak muda yang tak lain daripada si Bungsu itu berkata lagi perlahan. Dia masih tetap duduk memunggungi keempat serdadu jepang tersebut. Si kurus yang tangannya luka, tiba-tiba dengan memekikkan kata Banzai yang panjang mencabut samurainya. Dan menebas leher si Bungsu. Namun tiba-tiba setengah depa di belakang anak muda itu, sebelum dia sempat membabatkan samurainya sebacokpun, tubuhnya seperti ditahan.

Ternyata yang menahan adalah ujung tongkat kayu anak muda itu. Samurai itu tak dia cabut. Hanya sarungnya yang dia hentakkan ke dada tentang jantung si kurus. Kini mereka berempat, termasuk Siti dan ayahnya, baru dapat melihat dengan jelas wajah anak muda itu. Seorang anak muda yang berwajah gagah, tapi amat murung.

"Saya tak bermusuhan dengan kamu kurus. Kalau engkau coba melawan saya, engkau akan mati seperti anjing. Pemilik kedai ini serta anak gadisnya juga tak bermusuhan dengan kalian. Kalian datang menjajah kemari. Kalian telah banyak menangkapi para lelaki. Dan memperkosa wanita negeri ini. Karena ini jangan ganggu gadis ini. Saya meminta kopi, jangan ganggu saya minum…."

Sehabis berkata begini, dia menolakkan tongkatnya. Dan si kurus terdorong ke belakang tanpa sempat membabatkan samurai di tangannya yang telah terangkat. si Bungsu menatap pada Siti yang masih duduk di pangkuan salah seorang jepang tersebut.

"Siti, ambilkan kopi saya…" katanya perlahan.

Siti segera berdiri. jepang yang memeluknya seperti tersihir, tak berani menahan gadis itu. Siti segera membuatkan kopi. Kemudian meletakkannya di depan anak muda itu.

"Duduklah…" anak muda itu menyuruh Siti duduk di kursi di depannya. Sudah tentu dengan segala senang hati Siti menurutinya.

"Apapun yang akan terjadi Siti, tetaplah diam…" dia berkata perlahan sekali sebelum meneguk kopinya.

Siti mendengar ucapan itu. Matanya tak lepas menatap anak muda tersebut. Dia mengangguk. Dan saat itu si kurus yang tadi masih tertegak dengan samurai terhunus tak dapat membiarkan dirinya dilumuri taik seperti itu. Tanpa teriakan Banzai seperti tadi, dengan diam-diam saja agar tidak di ketahui, dia melangkah maju. Dan tiba-tiba dia membabatkan samurainya ke tengkuk anak muda tersebut. Ketiga temannya memperhatikan dengan tenang. Siti ingin berteriak. Namun dia segera ingat pada pesan anak muda ini barusan- Agar dia tetap tenang, apapun yang akan terjadi. Meski matanya terbeliak karena kaget dan ingin memperingatkan, namun dia menggigit bibirnya. Sudah terbayang olehnya leher anak muda di depannya ini putus dibabat samurai.

Namun apa yang harus terjadi, terjadilah... Jepang kurus itu tetap tak sempat membabatkan samurainya meski seayunpun. Dengan kecepatan yang amat luar biasa, si Bungsu mencabut samurainya. Dua kali ayunan cepat dan sebuah tikaman ke belakang mengakhiri pertarungan itu. Babatan pertama memuat putus lengan si kurus yang memegang samurai. Lengan dan samurainya terlempar menimpa barang jualan di kedai itu. Darah menyembur-nyembur. Babatan kedua merobek dadanya. Dan tikaman terakhir menembus jantungnya. Tikam Samurai.

Ketiga jepang lain tertegak dengan wajah takjub dan pucat.

"Sudah saya katakan. Kalau dia melawan saya, dia akan mati seperti anjing…" anak muda ini berkata perlahan.

------

[1] paniaram = makanan tradisional Minang, dibuat dari tepung beras, kepala dan gula aren

[2] ngicuh = berbohong

[3] terdede-dede = terhuyung-huyung