Suatu hari kakakku Abdullah membuka pintu kamarku dengan wajah gembira. Ia memperlihatkan surat dari ayahku. Akhirnya beliau mengundang kami untuk pergi ke Madinah. Zaid bin Haritsah dan Abu Rafi yang mengantarkan surat itu. Aku tak bisa melupakan hari itu. Rasanya seakan-akan turun hujan berlian dari langit.
Pertemuan kami dengan Talhah di jalan yang kami tempuh bersama Abdullah, ibu, Asma yang tengah menunggu kelahiran bayinya, Zubair suami Asma, dan Abdullah bin Uraiqit sang pemandu perjalanan menambah kegembiraan kami. Talhah juga ikut melakukan perjalanan hijrah seperti kami.
Kami selalu memperhatikan agar perjalanan itu tak terlalu melelahkan bagi Asma. Namun, perjalanan ini kadang-kadang berubah menjadi kecemasan yang manis. Apakah tak ada rintangan? Ada pastinya. Baik itu cemas terhadap pengintaian kaum musyrik maupun rintangan selama perjalanan panjang. Tapi dibandingkan ujian atas kerinduan yang kami alami, cobaan perjalanan ini tampak mudah. Manusia memang aneh. Beban-beban yang tak dapat dipikul pun tampak ringan seperti kain kapas bagi orang-orang yang merindu...
Ah, aku takkan pernah terselamatkan dari ujian-ujian yang menimpaku ini.
Dalam perjalanan hijrah ini aku menaiki seekor unta yang keras kepala dan susah diatur. Entah apa yang ada di kepalanya selama dalam perjalanan ini. Dia kadang-kadang sesukanya berdiri dan berlari kencang, sampai menjauh aku dari rombongan perjalanan, membuat ibu mengejarku dipenuhi kecemasan, begitu juga kakakku terkadang terpaksa harus mengejar untaku dipenuhi rasa khawatir dan takut.
Kalau gelisah, ibu suka teriak sambil memuku-mukul lututnya, "Wah, pengantin waniaku.... Wah bungaku," Di sisi lain dia suka bilang, Lepaskan tali ikatannya, wahai putriku, lepaskan tali ikatannya! " teriaknya di belakangku. Benar saja. Begitu tali ikatannya aku lepas, unta ini berjalan berputar-putar saja di tempat. Unta nakal ini hanya bisa di berhentikan dengan pegangan seperti tali jerat. Kemudian mereka membawa kembali unta yang kunaiki bergabung dengan rombongan.
"Pengantin wanita ini adalah amanah Rasulullah," ucap ibuku. Kecemasan dan kekhawatiran Ummu Ruman tak pernah habis sampai kami tiba di Madinah. Dan cerita mengenai putri-putrinya yang dialami Ummu Ruman juga takkan pernah ada habisnya.
Kami tiba di Quba, kota yang di kenal sebagai surga kurma. Di sini giliran Asma merasakan kesakitan karena waktu kelahiran telah tiba. Tak ada lagi tenaganya meski untuk melangkah satu jengkal pun. Asma benar-benar tak kuasa menahan rasa sakit.
Alhamdulillah, dengan bantuan para bidan di Quba, keponakanku yang seperti bola cahaya terlahir ke dunia. Bayi yang ada dalam pelukanku ini adalah bayi hijrah. Dirinya tercatat sebagai muhajirin paling muda. Seakan-akan dia adalah bayi yang aku lahirkan sendiri setelah menempuh seluruh kesulitan. Ia adalah kabar gembira yang kami terima dari Allah di padang pasir.
Kami belum memberi nama bayi ini sampai bertemu ayah dan Rasulullah. Asma menaruh bayi itu di sebuah peti dan mengamanahkannya kepada para utusan berkuda. Bayi itu meneruskan perjalanan lebih awal dari kami.
Ayah dan Rasulullah sangat gembira ketika melihat bayi ini. Rasulullah mengambil bayi itu ke dalam pelukannya dan melihatnya sebagai kabar gembira. Dia terlahir dalam perjalanan hijrah. Rasulullah memberinya nama "Abdullah." Dialah bayi muslimin pertama yang terlahir di Madinah. Bunga-bunga seolah bermekaran di wajahnya, menyambutnya sebagai berkah Madinah, membelai kepalanya, memberikan kurma yang sudah di kunyah dalam bibirnya, kemudian memberi nama yang bermakna" hamba Allah " kepada bayi itu.
Abdullah dan Abdurrahman adalah nama-nama yang paling disukai oleh Rasulullah. Beliau pernah berkata, " berilah nama-nama indah ini kepada putra-putra kalian. " beberapa tahun kemudian, ketika suatu hari saat dorongan keibuanku memuncak aku berkata kepadanya. "Ya Rasulullah," ucappku, "semua istri telah memiliki keturunan, tapi hanya aku yang tak punya. Bisakah engkau memberi keturunan kepadaku?"
Sebenarnya yang tebersit dalam diriku adalah doa Rasulullah demi diriku menjadi seorang ibu. Aku tak tahu, mungkin juga karena rasa malu aku tak bisa mengatakannya secara jelas. Setelah beberapa saat berpikir, dia menatap mataku dan tersenyum.
" Kau telah memiliki keturunan dengan nama keponakanmu..."
Ummu Abdullah.
Abdullah.... Dia keponakanku dan juga seperti anak kandungku... Di setiap ujian Allah pasti terdapat sebuah hikmah. Ada yang diberi anak laki-laki, ada yang diberi anak perempuan, beberapa wanita ada yang diberi baik anak perempuan maupun laki-laki, namun beberapa diantaranya malah ada yang tak diberikan baik anak perempuan maupun laki-laki. Anak menurtku adalah nikmat paling besar di dunia ini, sekaligus merupakan cobaan dan ujian yang besar bagi ibu ayahnya. Menurtku, tak memiliki anak merupakan cobaan buat diriku.
Di antara istri-istri Rasulullah, tempat Khadijah tak bisa diperdebatkan. Kadang-kadang aku cemburu padanya. "Anak-anakku terlahir darinya," ucap Rasulullah, ketika dia membahas Khadijah al_kubra. Tak satu pun perempuan bisa menandingi kebaikan dirinya. Tak hanya sifat keibuannya. Tak satu pun malaikat bisa menandingi sayap-sayap kebaikan Khadijah. Sementara kami, aku dan juga istri-istri Rasulullah lainnya, hanya bisa beribu-ribu kali mengucapkan syukur atas ayat yang menyatakan kami sebagai ibu umat dan kepada pemilik ayat itu... Kami, para ibu muslim.