Rasulullah masih tetap tersenyum.
Dia juga menganggukkan kepala memberi salam kepada teman-temanku yang ada di depan pintu untuk mengiringi upacara pernikahan. Kedua tanganku gemetaran menerima gelas susu yang diulurkan Rasulullah kepadaku. Susu merupakan simbol pengetahuan dalam penafsiran mimpi Rasulullah. Sementara itu, upacara pernikahan kami dilangsungkan dengan susu. Padahal, susu sendiri merupakan hakikat pengetahuan.
Rasulullah menghadiahkan ilmu kepadaku.
Kebanyakan wanita mengandalkan penampilan dengan permata, dan malam pertama dijadikan tambang emas. Sementara untukku sendiri, permata maupun tambang emasnya adalah ilmu pengetahuan. Rasulullah sendiri yang mengajarkannya kepadaku.
Awalnya mengenai Rabnya, kemudian mengenal Rabnya. Rasulullah merupakan penyambung di antara sebelum dengan sesudahnya.
Setelah minum susu, aku merasakan kesegaran kembali. Seakan-akan kedua kakiku menyentuh daratan. Aku merasa satu tahun lebih dewasa, atau bahkan mungkin bertahun-tahun lebih. Tumbuhan-tumbuhan dalam diriku bermekaran.
"Jamu juga teman-temanmu, biarkan mereka juga meminum susu itu," ucap Nabi seluruh alam. Namun, para perempuan menggeleng mereka sambil tersenyum.
"terima kasih, kami tidak bisa minum," tolak mereka halus.
"silakan, kami telah minum..."
"Terima kasih banyak, silakan kami telah minum..."
Rasulullah tersenyum sambil menggeleng dan memaksa mereka. "Kebohongan tak bisa berada di satu tempat bersama dengan rasa lapar," ucapnya.
Kakakku bertanya kepada Rasulullah, "Jika seseorang menolak karena rasa sopan santun meskipun sebenarnya menginginkannya, kemudian mengucapkan terima kasih, apakah itu juga di hitung dan dicatat sebagai kebohongan, ya Rasulullah?"
Rasulullah sekali lagi menjawab pertanyaan itu dengan senyum. " Kebohongan tetap akan tercatat sebagai kebohongan. "
Para tamu pernikahan baru pulang setelah melakukan doa dan menikmati jamuan yang dikirim oleh Sa'ad bin Ubaidah, pemimpin suku Khazraj.
Tepat setahun jarak waktu antara pertunangan dan pernikahanku yang di lakukan di bulan syawal. Tradisi rasa takut yang menyelimuti bulan syawal hilang bersama dengan pernikahanku. Aku berumur sekitar delapan belas tahun, sementara Rasulullah berumur lima puluh dua ketika kami menikah.
Rasulullah merupakan keindahan dunia, semua bentuknya merupakan bait-bait puisi.
Tak satupun waktu aku merasa terbiasa dengan Rasulullah. Setiap waktu terasa sebagai yang pertama bagiku. Seakan-akan ini masa kerinduan menanti pertemuan dengan sinar-sinar Rasulullah masih tersisa dalam diriku. Rasulullah selalu seperti hari pertama.
Embusan ranting-ranting di kepalaku selalu membuat Rasulullah tersenyum.
Namaku Aisyah..... Yang hidup. Aku adalah nama hidupnya. Aku adalah dunia milik Rasulullah.
Dia memanggilku "Uwais!" ketika dirinya bahagia. Beliau suka memainkan hidungku sambil memanggil, "Aisyah ku." begitu aku berbicara kesana kemari seperti arus air, raut-raut sedih di wajahnya hilang satu per satu.
"Bicaralah Humaira..."
Rasulullah mendengarkan semua perkataan yang telah terkumpul di dalam diriku seperti menatap lautan yang berada jauh di sana.
Ketika menatap, dia Seakan-akan melihat darah yang mengalir di pembuluh darahku. Luar dan dalamku satu bagi Rasulullah. Seluruh kewanitaanku, kecemburuanku, kemanjaanku, keingintahuanku, dan ketidaksabaranku terlihat jelas.
Bila berusaha menarik perhatianku, dia akan berkata, "Wahai putri Abu bakar, bukankah ini seperti ini...." atau "Wahai putri Ash-Shidiq, bukan seperti itu, tapi seperti ini." ketika membicarakan diriku pada orang lain dan Rasulullah berkata begini, "Ibu kalian hari ini berkata seperti ini...." itu berarti ada sesuatu hal yang perlu aku ubah.
Rasulullah menjelaskan satu per satu kepadaku, sabar mendengarkanku, berbagi kebahagiaanku. Tanpa kusadari, Rasulullah mengajari diriku seperti seorang murid. Sementara itu, aku selalu rindu kepada Rasulullah meskipun berada di sisinya. Aku tak bisa melewati hidup tanpa Rasulullah ketika aku tidur di sampingnya. Bahkan ketika kedua mataku tertutup pun aku menghitung satu per satu hela nafasnya.
Aku tak pernah bisa terbiasa dengannya.
Di setiap waktu Rasulullah itu seperti embusan angin yang pertama kali aku rasakan. Dia adalah gunung yang selalu bergetar dalam diriku. Penunjuk dan pencerah jalnku di gelapnya malam. Setiap kali dia berbalik ke arahku, terasa musim panas telah tiba, pohon-pohon yang ada dalam diriku menjulang tinggi ke langit. Sementara itu, bicaranya merupakan hujanku. Setiap kalimatnya memberikan kehidupan bagiku.