Chapter 39 - Demam Madinah (2)

Dalam keadaan sedang seperti ini, para wanita dan anak-anak tampak lebih beruntung. Menurtku, pertemuan mereka dengan para suami, ayah mereka, dan keberadaan Rasulullah menghilangkan rasa berada di negeri pengasingan.

Kalian bisa melihat dengan jelas perbedaan paling penting antara seorang wanita dan laki-laki di masa-masa hijrah. Memperhatikan keadaan para lelaki yang terlihat kuat seperti gunung namun bisa sangat berbeda bila sedang rindu, dan di masa awal hijrah bisa sungguh mengherankan. Aku justru melihat para wanita dan anak-anak lebih kuat dalam hal menahan rindu. Kami lebih cepat menyesuaikan diri dengan sesuatu yang baru dan berubah daripada para lelaki.

Aku berlari-lari menemui Rasulullah untuk minta menjelaskan perasaan rumit yang membuat para tentara kami jatuh dari kudanya ini.

"Mereka saling bicara dengan diri sendiri, membakar perasaan dengan puisi-puisi kerinduan. Nafas demam yang membakar telah memenuhi pikiran mereka ya Rasulullah. Tak adakah penyelesaian untuk hal ini?" tanyaku sambil membuka kedua tangan.

Wajah Rasulullah sedih setelah mendengar penjelasanku." Ya Allah, " ucapnya dengan hati sedih." Aku menyerahkan kepada-Mu nasib orang-orang yang telah mengusir dan mengasingkan kami dari kota kelahiran kami. Utbah bin Rabiah..... Shaibah bin Rabiah.... Umayyah bin Khalaf.... Aku serahkan mereka kepada-Mu."

Raut muka Rasulullah sungguh penuh amarah. Jika ada sebuah gunung mendengar perkataannya ini, ia akan hancur berkeping-keping. Sungguh sangat menggetarkan. Rasulullah adalah seorang yang sangat peduli kepada sahabat-sahabatnya. Beliau tak pernah rela jika terjadi sesuatu kepada para sahabatnya.

Kemudian dia melanjutkan ucapannya, "Ya Allah.... Buatlah kami mencintai Madinah ini melebihi cinta kami kepada Mekah kota kelahiran kami. Jadikanlah kota ini jauh dari penyakit, berkahilah kota i.... Sembuhkanlah dan jaukanlah kami dari penyakit itu."

Malam itu Rasulullah bermimpi. Ada seorang wanita berambut hitam berantakan keluar dari Madinah dan tergesa-gesa berjalan cepat ke arah Juhfah. Entah apa tafsir mimpi itu.... Tapi dalam waktu singkat para sahabat segera sembuh dari penyakit demam itu. Demam panas tak lagi muncul di Madinah seperti permintaan Rasulullah dalam doanya. Madinah perlahan-lahan menjadi kota yang sehat.

Ah... Pengungsian. Nafas panasnya mengejutkan diriku meskipun tak sebanding dengan panas demam. Aku bahkan sempat berhenti makan dan minum, membuat tubuhku sangat lemah. Hijrah membuat tubuhku terasa lebih ringan seperti seekor burung. Kemudian rambutku juga mulai rontok. Ibu sangat sedih dengan keadaanku. Dia menyiapkan bermacam-macam obat, merebus tanaman-tanaman obat dan menyuruhku untuk meminumnya. Untuk rambutku yang rontok, dia mengulasinya dengan minyak. Rambut merupakan mahkota paling agung bagi wanita sampai kapanpun. Sementara itu, aku adalah seorang pengantian Wanita yang belum melaksanakan pernikahannya.

"Wah pengantin Wanita ku..." ucap ibuku sambil membelai-belai rambutku, "Wah Humairaku."

Ibu berpendapat bahwa di setiap helai rambut yang rontok menunjukkan persiapan mahar yang baru setengah dilakukan. Aku jadi bertanya, apakah para perempuan yang kehilangan helai-helai rambutnya karena kesedihan juga menandakan berkurangnya kewanitaan? Setelah ibu merawatku, kemudian keadaan diriku perlahan-lahan membaik... Warna merah muda di pipiku yang dulu sering aku dengar di masa kanak-kanak kini sekali lagi tampak di pipiku.

"Alhamdulilah, bunga-bunga mawar telah bermekaran lagi di pipi Humaira," ucap Asma ketika membelai pipiku. Aku berpikir bahwa kegembiraan kakakku itu lebih karena pertemuannya kembali dengan diriku daripada persiapan pernikahan yang akan datang. Untuk pertama kalinya aku merasa lapar setelah berhati-hari berlalu. Rambut-rambutku juga mulai tampak subur lagi. Semua kesedihan satu persatu telah hilang dari hatiku.

Bersama dengan kesembuhanku, perlahan-lahan mulai terdengar pembicaraan yang tak biasanya dibicarakan. Terkadang aku mendengar bisik-bisik antara ibu dengan ayahku, seperti, "kapan kita perlu merayakan pernikahannya?"

Seperti itulah ayahku yang baik.

Pada akhirnya suatu hari dia tak tahan lagi. Beliau bertanya langsung.

"Ya Rasulullah, apa yang menghalangimu untuk melakukan pernikahan dengan Aisyah?"