Chapter 38 - Demam Madinah (1)

Ketika sudah tiba di Madinah, sebagian besar sadara-saudara kami jatuh sakit dan kelelahan. Orang-orang terkena demam dan suhu badan mereka sangat tinggi. Orang-orang yang lebih sehat membantu mereka yang lemah dan jatuh sakit, tapi tak lama kemudian mereka juga jatuh sakit.

Sebelumnya aku tak pernah mengetahui tentang penyakit ini. Perubahan udara, iklim, kemudian kemiskinan, dan khususnya kurangnya sumber mata air membuat kami jatuh sakit di Madinah. Sebuah tempat berteduh dengan atap dari ranting-ranting pohon kurma dibangun disamping Masjid. Orang-orang yang sakit diletakkan di sana di lorong yang sejuk. Ayah berada di sana di antara orang-orang yang sakit. Aku juga berada di antara mereka untuk membantu. Bilal saudara kami tercinta dan Amir bin Fuhaira juga bersama-sama berada di antara mereka. Amir bin Fuhaira adalah seorang budak yang dulu di bebaskan oleh ayah.

Aku bertanya pada ayah, "Wahai ayah, bagaimana keadaan mu, bagaimana kondisi tubuhmu?". Ayah dengan keringat mengalir di keningnya menatapku sambil tersenyum. Dia memegang tanganku.

"Ahhhh pagi hari... Semua pagi hari beda-beda di tempatnya. Tapi ahhh.... Kematian itu... Sungguh dekat dibandingkan pembuluh darah di kaki manusia..." beliau memulai ucapannya dengan sebait puisi. Aku lantas memeluknya. Seakan-akan ia tak berada dalam dirinya, Seakan-akan pintu-pintu kematian telah terbuka untuknya, Seakan-akan dia berbicara dari pintu itu. Setelah aku menghapus keringat di keningnya, aku menatap Amir bin Fuhaira sahabatnya.

Tampak betapa Amir sedang dirundung kerinduan... Kerinduan akan rumah, halaman, kebun-kebun yang dia tinggalkan di Mekah. Kematian seolah semakin mendekat setiap kali dia diliputi kerinduan pada kota kelahirannya, sampai dia mengigau bahwa kematian telah menyentuh dirinya. Dia termasuk salah satu orang yang terserang demam meskipun berada di tempat berhawa panas.

Orang-orang yang sakit disini mendapatkan pengawasan secara bergilir. Tubuh mereka seperti orang yang lari cepat menuruni tangga. Nafas mereka terengah-engah dan tampak lelah. Mereka layaknya burung yang terluka, terus-menerus menggeliat kesakitan tanpa meminum air maupun menelan kurma yang disediakan untuk mereka.

Kemudian aku membalikkan badan memperhatikan Bilal yang berbaring di sampingnya dengan penuh harapan.

"Oh... Aku mohon.... Beri satu malam saja di Mekah kepadaku, satu malam saja di Mekah. Embusan angin beraroma wewangian tanaman di lembah-lembah Mekah yang indah. Ahhh... Air dari mata air. Sungguh menderitanya pengasingan ini! Ohh... Gunung Syamah dan Tafil, tak bisakah kalian menyambut suaraku? Kedua mataku rindu memandangmu.... " dia juga terus-menerus meratap seperti ini.

Aku berlalu dari mereka sambil meneteskan air mata. Wajah sedih para muhajirin itu sebelumnya tak bisa mereka tunjukkan, tapi kini tampak di hari-hari ketika orang-orang itu sakit dan jatuh lemah. Para sahabat yang awalnya penuh keyakinan kuat, dan bahkan ceria ini tak pernah menunjukkan kesedihan dirinya sampai saat sakit demam menimpa mereka. Bahkan, kami semua merasa sangat gembira sudah terlepas dari penganiayaan kaum musyrik di Mekah. Tapi sungguh kerinduan dan kesedihan di hati kami ini menanti waktu sakit agar bisa terucapkan dan muncul ke permukaan.