Chapter 35 - Tabir Kerinduan

Kerinduan.... Aku tahu apa itu kerinduan di hari-hari hijrah. Aku bersyukur kepada Allah yang telah memberikan kerinduan ini kepadaku, yang mengubahnya sebagai sekolah diri. Kedewasaan, tumbuh besar untuk orang lain tak hanya di masa-masa awal kanak-kanak. Berapa pun umur kita, musibah-musibah yang menimpa diri kita merupakan petualangan Kedewasaan sebagai jalan pengajaran.

"Perpisahan ini menjadi tabir bagi Aisyah," ucap ibuku.

Tabir merupakan tirai, perpisahan, jarak bagi orang-orang yang dicintai, juga menjadi pemisah, penutup, dan penyelimut orang-orang yang mencintai.

"Perpisahan ini adalah mahkota bagi pengantin, mahar bagi Aisyah," ucap ibuku untuk meringankan bebanku.

Sudah merupakan adat bagi masyarakat kami seorang ayah memberikan barang-barang ke rumah baru putrinya ketika anak perempuannya menikah. Di masa boikot itu aku dan ibu membagikan semua yang ada di rumah kami. Kami menginfakkan barang-barang itu. Sekarang yang tersisa bagiku ialah ibarat tabir kerinduan. Tak tersisa apapun barang duniawi di rumah kami yang bisa kami bagikan kecuali kerinduan yang terhormat ini.

"Aisyah adalah tabir yang khusus," ucap ibu untuk meringankan rasa Maluku.

Ibu juga berkata bahwa hijrah mengeluarkan diriku dari diriku. Ini sebenarnya merupakan jalan yang mengantar diriku kepada cintaku. Segala makanan yang masuk ke tenggorokanku ketika makan, butira air yang memberi kesejukan pada bibirku, pusaran panas yang turun seketika saat bersandar di teduhnya bayang-bayang pohon kurma.... Semua hal itu tertuju pada cinta dan kerinduan ini, setiap menit tanpa dirinya seakan-akan haram bagiku.

"Pengantin wanitaku, berlomba-lombalah dengan lilin yang meleleh," ucap ibu sambil membelai rambutku. Hati ibu tak ingin diriku jatuh lemah, lelah, atau tanpa makan tanpa minum. Tubuhku yang memang lemah, bersama dengan goyahan kerinduan dan keingintahuan, seakan-akan mengubah tangan dan kakiku menjadi sayap kupu-kupu. Di hari-hari penantian ini, kemauanku untuk mengayunkan satu langkah kaki pun hilang. Kesedihanku semakin bertambah ketika melihat kakek dengan kebutaannya melangkah mengenakan tongkatnya membawakan segelas susu untukku.

Dalam hatiku muncul perasaan untuk membahagiakan mereka, bernyanyi lepas seperti masa-masa dulu, berlari ke satu ruang ke ruang lain sambil mendengarkan puisi-puisi. Tapi, aku kini bukan lagi Aisyah lama.

Suatu hari kakek masuk ke dalam rumah dengan wajah gembira. Sambil memegang sebuah botol kristal dia bertanya tak sabar, "di mana Aisyah? Di mana Aisyah?" beliau memukul-mukulkan tongkatnya ke tanah. Ibuku memegang tangannya dan mengantarkan kakekku ke kamarku.

"Lihat, apa yang aku bawa untukmu, Humairaku."

Tangannya yang gemetaran mengulurkan botol kristal itu kepadaku sambil di pegangi ibu. Di ujung botol kristal itu ada lubang-lubang kecil. Ketika aku pegang dan amati ke lubang itu, ada bayangan hitam seperti seekor kupu-kupu mirip yang ada di dalam kantong oleh-oleh dari pedagang India.

"Apa ini kupu-kupu India, kekek?"

"para pengembara dari Simal menyebutnya kupu-kupu kecil...."

"Simal.... Bukankah kota itu sangat jauh dari Mekah?"

"Mereka melewati jalur Jeddah menggunakan kapal-kapal, tapi mereka datang dari lautan yang lebih luas daripada Jeddah. Kulitnya putih, matanya hijau, dadanya tinggi, dan sopan. Mereka mendengar kabar mengenai nabi terakhir yang akan datang di kitab yang mereka baca. Mereka terus menerus menanyakan hal ini di pasar Ukaz, namun masyarakat disana malah marah dengan pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan, sampai salah satu dari mereka berkata, 'coba tanya pada orang tua ini. Kalian takkan mendapatkan apa_apa dari kami, tapi putra pak tua buta itu bersama dengan orang yang kalian cari. Putranya yang terkenal baik meninggalkan mereka dan pergi ke kota lain. Mereka telah mendapat laknat dari Latta dan Uazza.... '

Tanpa memedulikan gelak tawa orang-orang, para pengembara Simal itu berjalan ke arahku. Kami sedikit berbicara, sampai aku menceritakan kepergian Abu Bakar dan Muhammad ke Madinah. Waktu selanjutnya aku menceritakan apa yang terjadi pada kalian, tampak mereka pun ikut merasa sedih. Mereka menyesalkan peristiwa itu dan berusaha menenangkan hatiku. Mereka menyatakan juga akan pergi menuju Madinah. Mereka menitip salam bagi kalian dan memberikan kupu-kupu kecil ini. Mereka melubangi bagian atas botol kacanya sehingga kupu-kupu ini dapat terus bernafas.... "

Meskipun aku tidak tak memiliki kekuatan, kabar ini seakan-akan merupakan salam dari Madinah.

" kupu-kupu Simal, selamat datang di rumah kami... "