"Mereka menyebutnya kupu-kupu baling. Benar-benar mengejutkan. Mereka bilang sebenarnya mereka tak tahan dengan hawa dan air Mekah. Mereka memberi tahu bahwa di dalam buku takdir, kupu-kupu ini telah dituliskan untuk memberi salam kepada orang yang diberitakan sebagai nabi terakhir. Cara mereka bicara seperti puisi. Aku lari dengan perasaan gembira dan membawa kupu-kupu ini untuk Aisyah. Mungkin beritaku.... Atau mungkin juga kupu-kupu ini bisa memberi kebahagiaan bagi Humaira di masa penantian yang penuh dengan kerinduan seperti lelehnya lilin ini... "
" keadaan kupu-kupu kecil ini sama seperti diriku... Asing di kota kelahiran sendiri,jauh dari negerinya. Selama aku masih mengalami masalah ini, semua tempat seolah-olah tenggelam bagiku. Aku lupa dengan semua yang aku kenal, sementara semua yang aku kenal sekarang terasa jauh. Aku seakan-akan menjadi anak yatim, seperti pengembara di padang pasir yang kehilangan arah. Betapa kedua mataku yang jernih ini seakan-akan tak bisa melihat apapun, telingaku yang awas tak bisa mendengar apa-apa, dan tanganku yang baik kini tak bisa memegang karena derita perpisahan... "
Ah... Aisyah.... Aisyah itu seperti bahasa puisi..."
"Kakek tolong ceritakan dongeng kepada kami, seperti waktu kecil kita yang indah. Sebuah puisi bisa membuat kerinduanku luluh. Tolong ceritakan dongeng sehingga luka hati ini terobati. Susunlah kalimat sehingga bintang-bintang tersebar ke seluruh sisi langit. "
Salah satu kupu-kupu kecil ini tampaknya jatuh cinta pada matahari. Semua menertawakan bentuk dan tubuhnya yang mungil.
" Dengan badanmu yang kecil inikah, dengan sayap-sayap lemah inikah kau akan terbang menghampiri matahari, hei kupu-kupu kecil?" olok mereka.
Semua yang melihat keadaan kupu-kupu ini tertawa-tawa senang. Inilah kupu-kupu kecil. Ia tak mau makan dan minum, sampai akhirnya jatuh sakit terpuruk di tempat tidurnya. Tak ada obat di dunia ini untuk sakitnya. Teman-teman sekolahnya yang sedih atas keadaannya suatu hari menceritakan kejadian ini kepada guru mereka. Mereka bilang telah terjadi sesuatu pada teman kami. Setelah ibu mengajarkan tentang matahari, pikirannya tak bisa terlepas dari matahari. Dari hari ke hari ia berubah jadi lilin yang meleleh karena kerinduannya pada matahari. Kerinduan ini membuatnya jatuh sakit, sampai akhirnya dia tak bisa mengikuti pelajaran, tak bisa pergi ke sekolah. "Wahai guru, katakanlah sekarang apa obat sakit ini?" ucap mereka sambil menangis.
Para sahabatnya yang sangat mencintai kupu-kupu menyalahkan guru mereka. Nama guru mereka adalah langit. Langit menceritakan mengenai matahari sehingga mungkin hal ini akan mempermudah kupu-kupu kecil yang telah jatuh cinta kepada matahari untuk bisa terbang dan hidup dengan mudah tanpa sepengetahuannya.
"Guru, mengapa ibu menceritakan kepada kami sehingga kenyamanan kami hilang? Mengapa juga engkau membuat sahabat kami jatuh ke dalam sumur kerinduan?" ucap mereka mengeluh.
Langit menjelaskan bahwa hakikat dari pelajaran ini sebenarnya seperti berikut.
Kami menceritakan matahari kepada semua makhluk sehingga dari seribu orang hanya satu yang benar-benar menginginkan hakikat pelajaran ini. Sekarang ada sahabat kalian yang sedang terbakar oleh kesedihan hakikat ini.
"Kalau begitu, apa cara atau obat sakit cinta ini?" tanya mereka.
Langit membalikkan badannya ke arah murid-muridnya dan mengajukan sebuah tawaran.
"Aku ingin ada tiga orang pergi dan membawa sebuah kabar dari matahari kepada kita..."
Begitu kabar mengenai keinginan gurunya itu terdengar oleh kupu-kupu kecil yang sakit itu, dengan tenaga terakhirnya dia berkata, "Tolong tulis tiga kabar bagiku."
Begitu dua murid pemberani lainnya mengajukan diri, langit membuka jalan ujian kepada ketiga muridnya ini.
Murid pertama hanya bisa terbang sampai cerobong asap sekolah. Cerobong asap merupakan tempat paling tinggi dari bangunan itu dan tak satu pun dari mereka bisa terbang melebihi tempat itu sampai sekarang. Dari tempat itu murid pertama menyadari ada lengan-lengan matahari ketika dia menatap terbit hari, melihat jari-jari matahari yang menyentuh permukaan bumi dengan lembut. Ya, inilah matahari, ucapnya sambil kembali ke teman-temannya. Tiada habis dia menceritakan semua yang dilihatnya sampai empat puluh hari berlalu, sementara yang lain mendengarkan cerita itu tanpa mengambil nafas.
Di hari ke empat puluh satu, murid kedua berangkat melakukan perjalanan. Dia berpamitan dengan sahabat-sahabatnya. "Ada kepergian dan tak kembali. Namun ada juga kembali dan tak saling bertemu," ucapnya. "Maafkan semua kesalahanku."
Kepergian itu cukup lama.....
Tepat empat puluh hari mereka menungg kedatangan murid kedua ini. Di hari ke empat puluh satu, murid kedua ini jatuh tepat di pintu sekolah, sayap-sayapnya terbakar, lengan-lengannya penuh luka. Teman-temannya membawa masuk dirinya ke dalam sekolah. Murid kedua ini menunjuk lembah-lembah yang tepat berada di hadapan sekolah mereka.
Dia bercerita, "Berhari-hari aku terbang sampai ke lembah-lembah itu.... Pada suatu hari di waktu siang aku terbang sampai ke tempat paling atas di batu-batu dekat tempat sarang singa. Tempat aku menetap ternyata adalah sarang seekor elang. Dengan susah payah aku selamat dari elang itu. Kemudian dengan seribu satu rasa takut berlindung ke sarang singa, tapi singa itu mengusirku dngan cakarnya. Hampir saja aku tercabik-cabik oleh cakarnya sebelum akhirnya bisa kabur meniju gerombolan pohon kemang di lembah itu. Pohon-pohon kemangi itu dengan senang hati melindungi diriku. 'silahkan lihat matahari dari sini', ucap mereka.
Aku terbakar oleh sinar matahari yang berada tepat di atas lembah ketika siang, seakan-akan sinarnya ialah tatapan tajam yang membakar diriku. Entah bagaimana caranya kemudian dengan seribu satu kekuatan aku bisa kembali ke sini bersama kalian lagi, " murid ini menceritakan semua peristiwa yang menimpa dirinya.
Semua temannya mengucapkan selamat untuknya. Tak satu pun dari mereka berani terbang sejauh itu dan kembali membawa banyak pengalaman seperti itu.
Kini tiba giliran murid ketiga. Mereka segera pergi ke rumah murid ketiga, hendak mengatakan ada perselisihan soal hari ujian. Tapi ketika tiba di tempatnya, mereka melihat ada keramaian di depan pintunya. Mereka mendengar cerita bahwa murid ketiga ini sudah hilang delapan puluh hari lalu. Serta-merta para murid yang berkumpul di sana menangis.
"Sampaikan salamku kepada guru langit. Sampaikan salamku juga kepada para sahabat yang mencintaiku sehingga aku pergi dengan tenang. Aku tahu bahwa tanpa usaha di jalan cinta kita takkan bisa bertemu sultan dengan keinginan membara," demikian ucap murid ketiga saat pergi.
Ternyata dia berangkat menuju padang pasir persis di hari murid pertama pergi.
" Jika delapan puluh hari telah berlalu, jangan tunggu diriku, " ucapnya.
" Sekarang delapan puluh hari telah berlalu dan murid ketiga takkan kembali," kata sahabatnya. Begitu mendengar hal tersebut, semua murid mulai menangis.
"Bagus," ucap langit memotong tangisan mereka. Ia kemudian membaca puisi berikut.
"" Untuk mengetahui hakikat cinta
Perlu pengorbanan untuk siap tak kembali
dari perjalanan sengsara ini
Teman kalian telah mengajarkan pada kita
Jangan bersedih sebab keinginannya
telah terwujud.
Dia bukan pengembara lagi, melainkan
jalan itu sendiri
Diam adalah obat cinta
Sabar adalah para tentara pemberani
kerinduan
Perjalanan cinta ini takkan bisa di lalui
tanpa memakai baju api pengorbanan...
Kami semua mendengarkan cerita kakekku tanpa mengambil nafas. Sesungguhnya hijrah adalah berhijrah dari nafsu diri sendiri, dari harta kekayaan, rumah, tempat tinggal, dan pastinya pergi meninggalkan tempat kelahiran.
Betapa sulit meninggalkan nafsu dari diri sendiri. Kami tahu bahwa akhir dari nafsu ialah kematian setelah menempuh perjalanan ini. Memang ruhku telah lama pergi di jalan ini. Begitu juga dengan hatiku, pikiranku, khayalanku, dan mimpiku yang setiap saat dan selalu bersama Rasulullah. Berkat kerinduanku kepada Rasulullah, aku telah pergi meninggalkan diriku, telah lama pergi menempuh perjalanan. Aku telah menjadi jalan, menjadi kerinduan itu sendiri di hari-hari penantian itu. Tak tahu mengapa?