Malam telah menyelimuti kami.
Allah yang maha penutup aib menurunkan tabir malam untuk melindungi nabi umat muslim.
Ayah dengan Rasulullah mencoba mengelabui kaum musyrik dengan mengambil jalur berbeda, yaitu menuju arah Tsur. Tsur merupakan sebuah tempat berada di barat daya Mekah, ke arah menuju Yaman. Di sana Abdullah bin Uraiqit akan menjadi pemandu mereka.
Ketika Rasulullah keluar dari Mekah, ia membalikkan badannya dan menatap untuk terakhir kali kota tempat dirinya tumbuh besar. "Demi Allah kaulah bagian bumi Allah yang paling baik dan paling aku cintai. Dan seandainya mereka tak memaksaku keluar dari dirimu... Aku bersumpah takkan berpisah dengan mu, wahai Mekah," ucapnya melakukan perpisahan.
Dia, Rasulullah yang bersedih....
Rasulullah jarang tertawa sampai memperlihatkan gigi-giginya. Aku tak pernah melihat dia tertawa terbahak-bahak. Iya, dia selalu tersenyum dan murah senyum. Tapi kali ini.... bagaimana aku menceritakannya.... Sebuah senyum yang memancarkan kesedihan. Dia sering berkata kepada kami, "Islam datang dengan kesedihan, berjalan dengan kesedihan."
Di satu sisi, beliau adalah nabi yang bersedih.... Tapi, kesedihannya bukanlah kepitusasaan atau tak memiliki harapan! Kesedihan merupakan pertanda hijrah mereka. Mereka yang tahu makna cinta sesungguhnya pasti memahami arti kesedihan.
Begitu mereka melihat ternyata Ali yang tidur di tempat tidur Rasulullah, para kaum musyrik terkejut seakan-akan pedang-pedang mereka terlepas dari genggaman tangannya. Ali di tarik dari tempat tidur Rasulullah dan segera di bawa ke hadapan Abu lahab untuk ditanyai.
Sementara itu, Abu jahal dan beberapa orang lain datang ke rumah kami. Mereka memasuki halaman dengan tergesa-gesa, kemudian masuk ke rumah, dan mulai menanyai kami...
"putri Abu Bakar, di mana ayahmu?"
Pedang abu jahal terjun pada Asma kakakku.
Dengan keberaniannya Asma berkata, "aku tak tahu di mana ayahku."
Abu jahal menurunkan pedangnya. Tapi, tepat saat dia berbalik badan akan pergi... Tiba-tiba sebuah pukulan meluncur ke wajah Asma. Dia langsung jatuh ke tanah. Ibu dan aku yang terkejut dengan kejadian ini segera melindungi Asma. Abu Khuafa kakekku yang buta dan Ummu al-Khair nenekku datang setelah mendengar teriakan-teriakan kami. Ketika mereka mencoba mencari tahu apa yang terjadi, kaum musyrik sudah pergi dengan cepat dari rumah kami.
Kakek bertanya apa yang akan kami lakukan setelah ini. Dia juga ingin tahu apa ayah meninggalkan uang untuk kami. Asma mengambil batu keriki dan menaruhnya ke tempat biasa ayah menyimpan uang, menaruhnya di selembar kain, kemudian memberikannya kepada kakek untuk melegakan hati kakek. Abu Khuafa meraba-raba kain itu dengan tangan bergemetaran. Kakek mengambil nafas lega.
" Ah.... Ayahmu baik meninggalkan kalian uang, ini cukup bagi kalian..." ucapnya.
Kakakku Asma sangat perhatian di keluarga kami. Sesuai perintah ayah, tak seorang pun boleh tahu persiapan hijrah, baik itu Abdurrahman kakak laki-laki ku maupun kakek dan nenek. Semua harus dilakukan tersembunyi dan penuh kewaspadaan. Asma dan Abdullah esok harinya diam-diam menyelinap berangkat membawa makanan ke gua Tsur. Kami sangat khawatir. Begitu tiba di gua Tsur, kedua kakakku menceritakan menceritakan semua hal yang menimpa kami.
Ah... Mekah di hari itu. Seakan-akan kaum musyrik terbakar kobaran api. Dua pemuda bersenjata dari setiap suku berjaga-jaga dengan ketat di jalan-jalan di antara Mekah dan madinah. Dua orang yang terkenal dalam mencari jejak dari Bani Mudlij menyisir seluruh sisi.
Ayahku... Menjadi kekasih bagi Muhammad.
Menjadi sahabat dan teman satu gua, teman perjalanan Rasulullah.?
Gua Tsur dengan jalan-jalan terjal dan bebatuan tajam merupakan rute jalan yang jauh lebih sulit dibandingkan gua Hira. Menurut cerita yang di sampaikan kepada kami, ayah sangat khawatir. Kadang-kadang ia berjalan di depan, terkadang di belakang Rasulullah. Suatu saat Rasulullah bertanya kepada ayah mengapa berbuat demikian.
"Ya Rasulullah...," ucap ayahku, "begitu tebesit dalam kepalaku kemungkinan ada serangan dari depanmu, aku langsung berada di depanmu. Tapi kemudian terpikir kemungkinan bahwa serangan biasa juga muncul dari belakangmu, maka untuk melindungi mu aku berjalan mengelilingi mu. Meski demikian, baik di depanmu maupun di belakangmu, aku tak bisa menghilangkan rasa cemas ini sampai kita tiba di Madinah. "
Jawaban ini membuat Rasulullah tersenyum.