Seperti inilah, tiga bulan kami lalui dengan penantian penuh kesabaran dan penantian. Kami tak sabar menanti sekecil apa pun kabar dari Rasulullah dan ayahku. Ibuku merasakan suasana seperti masa-masa dulu ketika dirinya menanti ayah kembali pulang dari perjalanan-perjalanan jauh. Setiap hari dia naik ke lantai atas rumah, menatap seantero sisi kota Madinah, menangis dalam kesedihan. Seakan-akan seperti ayah pergi dan tak akan kembali pulang. Sesungguhnya kami tahu ayah takkan pulang kembali dan kami hanya bisa menatap jalan yang mereka tempuh.
Tapi ibu jelas bukan satu-satunya wanita yang ada dalam penantian. Aku juga ada dalam penantian, meskipun itu hanya kabar sekecil apa pun mengenai Rasulullah. Aku bahkan berharap terbangnya burung atau embusan angin merupakan pertanda baik, menjadi petunjuk, sebuah kabar baik.
Kami tak seperti dahulu lagi dengan mudah pergi berkunjung ke sahabat-sahabat dan tetangga-tetangga kami. Kakek, nenek, ibu dan aku masih berada dalam wilayah yang mendapatkan pengawasan ketat. Tapi masih beruntung ada Abdullah, kakakku, Asma, dan Zubair suaminya.... Semua kabar datang dari mereka. Tentu berita ini tak mereka bawa secara langsung. Agar tak menimbulkan kecurigaan mereka bersikap seperti tak tahu apa-apa dan hanya bisa datang sebentar ke rumah di waktu-waktu tertentu.
Ibu sungguh peka terhadap apapun termasuk aku. Dia memandang diriku sebagai amanah Rasulullah.
Bila memperingatkanku dia memanggilku sebagai "pengantin wanitaku".
"pengantin wanitaku, hati-hati dengan pintu halaman..."
"pengantin wanitaku, apa pintu-pintu sudah terkunci?"
"pengantin wanitaku, jangan bukakan pintu pada siapapun yang tak kita kenal. Berhati-hatilah."
Betapa mulai perkataan itu menjadi nasihat tulus dari hati seorang ibu. Sesungguhnya ini merupakan pertanda betapa penantian sangat pedih selama tiga bulan ini berubah menjadi sebuah jembatan. Selama tiga bulan masa penantian itu Al-Quran menjadi pendukung dan penyemangat paling besar bagi diriku dan ibuku. Kapanpun kami membaca Al-Quran, hati kami merasakan ketenangan dan kesejukan. Bahkan bila kami membacanya malam-malam, seolah-olah ruang-ruang kami dipenuhi cahaya. Kami menyadari betapa terikat kami kepada Rasulullah di dalam kesendirian ini...
Tanpa dirinya, seakan-akan kami seperti anak yatim.
Aku jadi sangat heran. Apakah ini benar-benar Mekah, tempat aku lahir dan tumbuh besar, tempat leluhurku tinggal berabad-abad, tempat di dunia yang takkan pernah berubah? Tempat kelahiranku kini menjadi penjara bagiku. Kami terasa asing dengan kedzaliman para kaum musyrik di kota kami sendiri. Seakan-akan Rasulullah adalah kewarganegaraan ku yang sebenarnya. Berpisah dari dirinya merupakan hukuman paling berat. Kesabaran kami diuji. Memang benar sadara-saudara kami yang ikut perjalanan hijrah menempuh ujian yang lebih berat dibandingkan kami. Tapi sesuatu yang menurut mereka merupakan hijrah, bagiku adalah pertemuan. Mungkin inilah ujianku.
Aku berkali-kali berjanji pada diri sendiri di dalam hati. Bila aku bertemu Rasulullah lagi, aku takkan pernah berpisah dari dirinya meskipun satu detik, aku takkan pernah melepaskan tatapanku walaupun satu detik. Aku berjanji akan selalu mengikuti ke Mana pun Rasulullah pergi layaknya bayangan.
Bermalam-malam khususnya ketika aku menangis mengadu kepada Allah, aku merasakan air mataku menyampaikan kerinduanku. Iya, mungkin kami tak berada di kota yang sama dengan dirinya, tapi kami berada di bawah langit yang sama. Kami saling berdoa di malam yang sama. Seakan-akan momen-momen itu mengingatku pada suara-suara doanya. Seakan-akan saat itu dia juga berdoa, menangis membuka hatinya kepada Allah. Bahkan tak hanya dirinya... Ayah juga menyalakan lilin, saudara-saudara kami, aku dapat merasakan tetes-tetes bening air banjir doa yang mengalir dari wajah mereka.