Ah..... Mereka yang lemah dan tak memiliki jalan lain. Semua kekayaan dan kebun mereka dirampas, dan mereka tak dibiarkan bergerak satu langkah pun. Bahkan Shuhaib, saudara kami, harus menyerahkan semua hartanya kepada kaum Quraish untuk bisa mendapatkan izin berhijrah ke Madinah. Shuhaib sekeluarga hanya memiliki pakaian yang menimpel di badan mereka ketika melakukan hijrah. Shuhaib itu saudara kami dari selatan, dari sebuah kota di negeri Yaman yang datang ke Mekah. Ketika dia menjadi muslim, Rasulullah berkata kepadanya, "kau adalah buah pertama dari negeri Yaman bagi kami!" Sementara itu, para membuka kaum Quraish sangat marah kepadanya. Mereka bilang kekayaan yang Shuhaib dapatkan itu semua berkat dukungan mereka. Begitu sekarang dia menjadi Muslim dan jika ingin ikut hijrah ke Madinah, semua harta kekayaan harus ditinggal disini.
Shuhaib pun meninggalkan kekayaannya.... Semua hartanya.
Inilah arti dari hijrah, meninggalkan semuanya.
Ketika Rasulullah menatap Shuhaib yang berangkat melakukan hijrah berkata seperti ini, "Shuhaib... Betapa besar keuntungan yang kau dapat dari perdagangan ini...."
Sebenarnya, hijrah merupakan perdagangan yang besar, yaitu beriman kepada Allah dan meninggalkan semuanya, dan kehidupan baru adalah balasannya bagi mereka yang berlindung dan meminta pertolongan Allah.
Ketika para musuh telah mengepung rumah Rasulullah malam itu, beliau membaca sebuah ayat dari surah yasin, "kami jadikan di hadapan mereka sekat (dinding) dan di belakang mereka juga sekat, dan kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat" (Yasin, 9) dengan ayat ini, Rasulullah pergi melewati mereka.
Di malam penuh kecemasan, penantian penuh kekhawatiran dan ketakutan, kami berusaha menenangkan diri dengan membaca al-Quran, dan di sisi lain kami menyiapkan bekal perjalanan ayah. Kakakku Asma merapikan semua barang menjadi satu buntelan yang bisa di bawa dengan mudah. Kami menyiapkan semua barang sebelum Rasulullah tiba. Namun, kami tak menemukan kain untuk mengikat buntelan itu.
Dalam kecemasan itu, Asma memotong kain di pinggulnya menjadi dua dan mengikat barang-barang yang telah di siapkan. Ketika Rasulullah tahu, dia sangat menyukai kecekatan dan ketangkasan Asma ini. Sambil tersenyum menatap Asma, beliau berkata kepadanya, "Dzatun nithaqain." pemilik dua ikat pinggang " menjadi gelar bagi Asma yang sedang menanti kelahiran bayinya setelah peristiwa ini.
Mereka berpisah dari rumah kami sambil berkata bahwa keyakinan kami kepada Allah dan kesabaran akan mempertemukan kami secepatnya.
Hatiku terbakar seperti api.
Hari hijrah merupakan perpisahan pertamaku dengan Rasulullah. Kemudian setelah itu, aku tak pernah berpisah lagi dengan beliau sampai wafat. Aku tak bisa melupakan perpisahan di hari itu. Jika tak menghitung hari pertemuan kami, hari perpisahan itu akan menjadi hari hijrah perpisahan yang paling susah untuk aku lalui.
Setelah kepergian mereka berdua, aku berlutut lemas tak bisa menahan beban perpisahan. Aku menangis, menangis. Ah... Tapi Asma sungguh pintar. Segera ia mengingatkan aku untuk diam dan tabah. Tak seorang pun boleh mengetahui kepergian Rasulullah dengan ayahku, kami semua harus bersikap seperti tak ada yang terjadi. Penjelasan Asma mengenai hal ini membantuku bangkit. Aku memutuskan menutup perpisahan ini dengan penuh kewaspadaan. Tak seorang pun boleh tahu kepergian itu agar mereka punya waktu lebih banyak untuk pergi.