Akhirnya Rasulullah tiba di halaman rumah kami dengan langkah yang cepat dan tegap.
Kami mengetahui waktu-waktu kedatangan Rasulullah. Tapi, kedatangannya kali ini berbeda dengan waktu-waktu bisa.
"Aku yakin kali ini pasti karena ada hal penting....," ucap ayah.
Asma kakakku menikah dengan Zubair bin Awwam, keponakan Khadijah. Hari itu dia juga sedang bersama kami. Asma tengah mengandung bayi enam bulan. Ia menanti kelahiran sang bayi. Asma saat itu berumur dua puluh tujuh, sementara itu aku berumur tujuh belas tahun.
Ayah bersama dengan dua putrinya dan Ummu Ruman istrinya, sementara kakek dan nenek waktu itu tak ada di rumah.
Awalnya Rasulullah meminta untuk berbicara berdua saja dengan ayah, tapi ayah berkata bahwa aku dan Asma bukan orang asing karena kami adalah putrinya.
Mereka membicarakan hal yang sangat penting. Malaikat membawa firman Allah untuk melakukan hijrah. Ayahku dengan perasaan ingin tahu bertanya kepada Rasulullah, "dengan siapa engkau akan pergi wahai Rasulullah?"
"Denganmu...."
Abu Bakar putra Khuafa merasakan kebahagiaan tiada tara.
"Ibuku, ayahku, dan diriku ini siap berkorban untukmu, ya Rasulullah!" kata beliau semangat.
Awalnya, ayah berpikir bahwa beliau akan berangkat bersama Ali, karena Ali merupakan salah satu keluarganya dan orang kepercayaan Rasulullah.
"Aku pikir engkau akan berangkat bersama Ali."
"Ali akan mendapat tugas di sini."
Kami semua sudah lama merasakan kebencian kaum musyrik yang makin memuncak. Para pengkhianat dipimpin Abu Jahal terdengar merencanakan pembunuhan. Kaum musyrik menggunakan segala cara untuk menghentikan dakwah Rasulullah. Mereka cemas terhadap rombongan hijrah kaum muslimin ke madinah. Kaum musyrik yang memboikot dan mengasingkan kami pun terbukti mengikuti perkembangan rombongan hijrah pertama. Mush'ab dan teman-temannya sebagai rombongan muhajirin pertama diterima dengan senang hati oleh masyarakat Madinah. Mendengar kabar itu, kaum musyrik mulai merasa khawatir atas perkembangan ini. Mereka semakin merasakan bertambahnya kekuatan kaum muslimin.
"Satu-satunya cara ialah jangan biarkan mereka mendapatkan kebebasan," begitu ucap kaum musyrik yang pernah kami dengar. Rumah-rumah kami pun mendapat pengawasan ketat beberapa lama. Mereka mengawasi kami, mengikuti semua pergerakan kami, dan mengamati orang-orang yang mereka anggap mencurigakan dari pagi sampai malam. Sebenarnya sebagian besar muslimin saudara kami telah hijrah ke Madinah. Selain Rasulullah, hanya ada beberapa orang mukmin di Mekah.
Pada suatu malam, malaikat menyampaikan berita mengenai rencana pembunuhan itu kepada Rasulullah. Rasulullah memutuskan untuk mengambil langkah. Malam itu dia meminta Ali, putra pamannya yang sangat dia cintai, untuk tidur di tempat tidurnya, sementara Rasulullah bermaksud menggunakan kesempatan tersebut untuk memulai perjalanannya menuju Madinah. Ali yang mendapat tugas berat ini berkata akan menjalankan sebaik-baiknya. Terdengar rencana bahwa kaum musyrik akan menyrlinap ke rumah Rasulullah untuk membunuhnya.
Rasulullah datang ke rumah kami dengan kecemasan - kecemasan ini. Ayahkulah yang akan menjadi teman perjalanannya. Sementara itu, tak lama kemudian, kami berangkat menuju Madinah.
Ketika mengira bahwa kesedihan telah berakhir di Mekah, sebenarnya saat ini kami melangkah di jalan licin. Bagaimana kami bisa melampaui perjalanan berat dan penuh rintangan ini? Sampai hari itu, kurang lebih seratus lima puluh Muslimin saudara kami telah berhijrah ke Madinah. Di Mekah hanya tersisa mereka yang tak bisa berhijrah karena tidak mampu, di penjara, dirundung, dianiaya, dan di ancam akan dibunuh. Begitu juga Rasulullah dengan keluarga kami.
Umar bin Khattab telah berangkat ke Madinah lima belas hari sebelum keberangkatan ayahku. Kepergian Umar sangat berbeda. Dia masuk ke madinah bersama dengan dua puluh orang dari keluarganya. Setelah melakukan shalat dua rakaat, dia berbalik pada kaum musyrik, "sungguh kasihan kalian semua yang berakal sekeras batu.... Kalian yang ingin meninggalkan istri kalian jadi janda, anak-anak kalian yatim, kejarlah aku!" tantangnya.