Chereads / Aisyah Wanita yang hadir dalam mimpi Rasulullah / Chapter 10 - Asma, Kakak Perempuan dan Sahabat Rahasia

Chapter 10 - Asma, Kakak Perempuan dan Sahabat Rahasia

Setiap saat dia membawa dan berbagai embusan angin keibuan kepada siapa saja. Barang-barang yang tersentuh tangannya atau ruang-ruang yang dia lalui akan memancarkan aroma keibuan. Baik kecil maupun besar, semua yang ada di rumah membawa aroma ibu kandungnya. Kakakku mengingatkan ku pada ibu. Bahkan, kakek, ayah, dan ibuku pun menemukan kenangan ibu-ibu mereka, sebuah jejak pada dirinya.

Sebenarnya, pada salah satu dari setiap anak perempuan mengingatkan manusia pada takdir bahwa mereka akan menjadi seorang ibu. Tapi, Asma sangat berbeda. Dia sudah seperti seorang ibu sebelum menjadi ibu. Seakan-akan keibuan adalah seni yang diberikan Allah kepadanya. Sebagai perempuan rumahan, aku maupun asma mendapat pengawasan orang tua dan kerabat dalam hal adab. Ini sudah merupakan adat di Mekkah. Anak perempuan dididik serius dalam hal adab dan sopan santun oleh para tetua keluarga. Meskipun Asma tak mendapatkan pendidikan adab yang keras, menurutku dia tetap akan menjadi Asma. Benih keibuan dan kedewasaan dalam dirinya merupakan jalan yang selalu aku dambakan dan menjadi pembuka keberuntunganku.

Aku juga selalu mengingatnya sebagai simbol sifat pengertian, kesempurnaan, kelembutan, dan kewibawaan. Meski berada dalam tungku dengan api terpanas di dunia, dia akan keluar tanpa luka satu goresan pun dari kobaran-kobaran api itu. Kakakku adalah koin emas dengan harga sangat tinggi. Dia pendiam dan penuh semangat.

Dia adalah sahabat rahasiaku. Seperti bintang-bintang. Laksana sumur yang dasarnya tak tampak. Sangat dalam. Dia adalah baju kedamaian. Adik kecilnya bukan hanya aku, tapi kami semua kagum pada dirinya. Dia membenahi selimut kami.

Dia tak pernah membiarkan kendi-kendi air kosong. Dia ikat apa yang perlu diikat, melepaskan apa yang perlu dilepaskan, dan menyelimuti apa yang perlu diselimuti dengan kelembutan. Apa yang perlu diberikan tak pernah terlambat. Dia melakukan itu semua diam-diam tanpa pernah menonjolkan diri. Dia bersikap lembut kepada siapapun seperti seorang ratu yang sempurna. Sepanjang hidup, aku tak pernah bertemu dengan seorang sahabat yang sangat pengertian seperti dirinya.

_

_

Awalnya, ibuku, Zainab binti Amir, menikah dengan Abdullah bin Haris al-Azdi, seseorang yang dihormati ayahku. Ketika suami ibuku meninggal, ayah tak tega ada keluarga terhormat jatuh sengsara. Dia meminta ibuku menikah dengannya. Di masa-masa itu ada tempat kosong di rumah ayah. Ayah juga sedang berusaha memperbaiki kehidupannya bersama putra putrinya dari perceraian dengan istri pertamanya. Ketika menikah dengan ibuku, Asma dan kakak laki-lakiku, Abdullah, juga tinggal dalam satu rumah. Kami tak mengenal kata "saudara angkat". Asma memiliki peran sangat besar seperti halnya ibuku. Dalam hal ini, aku takkan pernah bisa membalas budi baiknya. Ketika aku lahir, Asma maupun Abdullah memperlakukan ku seperti saudara tercinta mereka. Aku pun mencintai mereka

Asma sangat tulus. Seperti sudah pernah aku katakan, kami tak mengenal saudara angkat maupun perbedaan perlakuan. Bahkan, Asma lebih mirip dengan ibuku daripada aku sendiri. Berkat kecocokan hubungan di antara keduanya, aku besar sebagai seorang anak dengan dua ibu. Selama masa kecil, aku mungkin seperti sebuah perahu yang dilindungi dua pelabuhan. Didikan ketat dari ibuku, ketika bersatu dengan kelembutan perlindungan kakakku, membuat perahuku seakan-akan selalu berada dalam keberuntungan akibat kerasnya badai-badai takdir. Asma selalu menjadi sosok yang mempersiapkan jalan, sementara aku adalah pejalan kaki yang kedua matanya selalu terpaku dengan jalan-jalan dari awal. Dia selalu menjadi pendukung. Jika dia adalah ide, aku adalah tindakan. Jika dia adalah niat, aku adalah lompatan. Jika dia adalah busur, aku adalah anak panah.