Waktu siang dalam bahasa kami disebut dzuhur.....
Di waktu-waktu seperti ini kebenaran materi telah luluh. Ketika matahari berada di posisi paling puncak, tak ada satu pun yang dapat bersembunyi darinya. Sampai waktu hakikat materi terbuka, dzuhur merupakan waktu yang paling sulit. Ujian, cobaan, dan bukti-bukti kebenaran akan muncul.
Bersama dengan penjelasan terhadap ajakan Islam, masa-masa sulit untuk kami pun segera terjadi. Rumah kami dulu dipenuhi tamu yang bahagia, namun sekarang penuh dengan kaum Muslim yang menghadapi berbagai kesulitan. Ketika para pemuda fakir berada dalam kungkungan kesengsaraan, budak-budak berlari menuju Islam yang mereka lihat seperti matahari kebebasan. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak dan wanita. Kakekku sangat sedih melihat keadaan ini. Sedih, tapi tak ingin meninggalkan adat-adat dan sahabat-sahabat lamanya. Aku pikir kakek lebih khawatir dengan keadaan kami.
Dengan agama baru ini, kami perlahan-lahan meninggalkan hari-hari kemegahan. Kami semua memulai kehidupan yang sederhana. Ayah menggunakan seluruh apa yang ada dalam telapak tangannya untuk membebaskan budak-budak yang disiksa. Sebenarnya yang membuat kakekku sedih bukan karna kedermawanan ini. Kakek justru khawatir hal itu justru akan membuat hubungan kami dengan para pemilik lama budak-budak yang dibeli itu rusak.
Bilal........
Bilal ialah mutiara hitam Mekkah. Dia tak lagi seorang budak. Ayah telah berkali-kali berusaha menyelamatkannya. Sahabat setia ini selalu mendapatkan siksaan dari pemiliknya yang sangat sombong. Beruntung dia kemudian berhasil diselamatkan dari tempat azab itu.
Badan Bilal tinggi. Dia sopan dan bersuara bagus. Bilal telah menjadi mukmin yang bebas diantara kami.
Bilal bukan lagi seorang budak.
Dialah saudara kami yang dibiarkan lapar dan haus oleh pemilik lamanya karena menjadi seorang Muslim. Ia di kubur dalam padang pasir yang panas, sementara tubuhnya dicambuk-cambuk dan ditindih batu-batu besar. Dengan napas terengah-engah dia mengangkat tangan kanannya ke udara dan menyatakan syahadat kepada Allah yang maha Esa.
Bilal adalah seseorang yang menunjukkan huruf dengan badannya di tempat yang dirinya mustahil bicara..... Isyarat.
Bilal telah bebas semenjak ayah membelinya melalui banyak permohonan berbelit-belit. Meski demikian ejekan dan pelemparan batu oleh orang-orang dzalim tak pernah habis. Banyak orang seperti Bilal harus terus terancam dalam siksaan seperti ini.
"Kemarin pemuda-pemuda kita, sekarang agama baru yang dipenuhi omong kosong ini mulai mengambil budak-budak kita. Katanya, anak-anak perempuan juga memiliki hak. Katanya, wanita dan budak begitu berharga jangan sampai dijualbelikan. Katanya, hewan-hewan dan pohon-pohon pun memiliki hak, " ucap mereka sambil tertawa-tawa dan ejekan-ejekan yang menyerang kami.
Bilal dan teman-temannya yang sama-sama tersiksa seperti dirinya, bahkan beberapa di antaranya masih berstatus budak, telah menjadi tamu-tamu baru dan terhormat di rumah kami. Rumah kami pun segera berubah menjadi "rumah penyembuhan". Aku bersama kakaku berlaku seperti seorang perawat. Sibuk melayani mereka dari satu sudut ke sudut lain di antara orang-orang terluka.
Kata ayah, " Mereka bukan tamuku. Mereka adalah saudar-saudarku. "
Tak hanya berbagi roti dan pakaian, mereka pun berusaha mendukung kami dengan kesenia-kesenian yang mereka kuasai, dengan pekerjaan-pekerjaan yang mereka bisa lakukan. Bilal dengan badannya yang tinggi sering membantu kami mengumpulkan kurma di kebun dan mengambilkan bunga-bunga dari tempat yang jauh kepada ibu dan kakaku. Dia juga membuatkan sebuah ayunan untukku. Ibu sering berkata, "Aisyah sudah besar, umurnya sudah tidak pantas bermain ayunan. " Tapi, Bilal hanya tersenyum hingga gigi putihnya terlihat ketika aku bermain ayunan dengan teman-teman. Melihat itu, dia hanya meng geleng-geleng kepadaku dan teman-teman dari kejauhan. Bilal dan teman-temannya juga membuatkan jungkat-jungkit. Itu kami mainkan bersama teman-teman.
Aku mendengarkan dari kanan-kiri bahwa budak-budak itu dibawa ke Mekkah oleh seorang budak lain yang bekerja untuk tuannya di perahu-perahu yang berlabuh di Jeddah. Tubuh-tubuh mereka diikat, dimasukkan kedalam peti, ditutup dengan balok-balok. Setelah merdeka, Bilal merupakan tugu Terima kasih yang rendah hati. Ia adalah bagian dari keluarga kami. Saking dekat, ia menjadi seperti bayangan. Aku selalu ingat dia kerap berada di sisi Rasulullah dan ayah.