Aku jatuh pingsan ketika mereka mendesak berjalan ke arah ayah dan mulai memukuli ayah sambil melontarkan ejekan-ejekan yang lebih tajam dari ujung belati. Aku kemudian mendengar ternyata wajah ayah terkena tendangan sepatu Utbah bin Rabia yang keras dan tajam. Tubuhnya diseret ke tanah. Bibir dan hidungnya penuh darah. Jika tadak ada para pemuda dari suku Tamim, mungkin tubuh ayah sudah akan penuh luka.
Ah! Ayahku tersayang. Tahukah kalian seperti apa perasaan seorang anak yang melihat ayahnya dianiaya di depan mata mereka? Kami adalah anak-anak Muslim pertama. Kami tumbuh besar dan menjadi saksi peristiwa ini.
Kakekku tak memberikan kabar ini kepada seluruh bani Tamim. Mungkin hari itu bisa saja ayah menghembuskan napas terakhir di bawah amarah para kaum durjana. Dan memang mereka akhirnya membiarkan ayah karena ia sudah dalam keadaan tak berdaya.
"Jika terjadi apa-apa pada Abu Bakar, kami akan membalas dengan nyawa Utbah! " sumpah orang-orang Bani Tamim sambil mengangkat ayah yang pingsan ke bahu mereka.
Sungguh lega akhirnya karena ayah sadarkan diri di pengujung hari. Di depan ibu dan kakak perempuan ku yang menunnggu dengan tetesan air mata, pertanyaan yang pertama kali dia tanyakan adalah Rasulullah.
"Apa yang terjadi dengan Rasulullah, bagaimana keadaannya? "
Nenekku ketika melihat anaknya sadarkan diri mengucapkan seribu syukur.
"Putraku! " serunya. "Aku senang kau siuman dan sudah bisa kembali membuka mata. Apa kau mau minum atau makan sesuatu? Apa kamu haus? Bibirmu sangat kering. Biar aku bawakan air minum untukmu."
Ayahku memaksakan diri bertanya kepada nenekku.
"Oh Ibu, aku baik-baik saja. Bagaimana dengan Rasulullah, beri tahu kepadaku keadaannya? "
Entah apa yang terjadi pada temanmu itu aku sungguh tidak tahu. Kami kira kamu malah sudah meninggal dunia waktu mereka membawa dirimu pulang. Kami tak tahu keadaan yang lainnya. "
"Wahai Ibu, aku mohon bantuanmu. Tolong pergilah ke Ummu Jamil putri Khattab dan tanyakan keadaan Rasulullah kepadanya. Aku mohon Ibu, " ucap ayah menghibahkan.
Nenek tak ingin membuat putranya sedih. Ia segera menaruh kain serta semangkuk air yang di pegangnya tadi lantas memberikannya kepada kami. Dia bergegas pergi ke luar dengan salah satu anak perempuan. Kami diam seribu bahasa. Ibu memperingatkan kami untuk tak membuat ayah letih karena memintanya berbicara.
Apa musibah yang menimpa kami ini? Kakek berjaga-jaga dengan para pemuda Bani Tamim di halaman sambil bertanya banyak soal peristiwa itu, juga tentang keadaan ayah setelah kejadian itu. Di sisi lain dia juga mengawasi pintu-pintu dan tembok halaman rumah. Dia siap siaga khawatir bila mendadak ada serangan yang bisa datang setiap saat.
Nenekku, Ummu al-Khair, pergi menemui Ummu Jamil. Dia kemudian menanyakan kabar Rasulullah kepadanya. Demi menyembunyikan identitas dirinya yang belum diketahui orang lain, Ummu Jamil berkata, "Wahai nenek, aku tak mendapatkan kabar baik mengenai Abu Bakar maupun Muhammad. Mengapa kau bertanya kepadaku? "
Ummu al-Khair tak tahu apa yang harus dilakukan lagi. Ketika dia berbalik dan beralasan akan pergi mencari tahu ke kenalan lainnya, Ummu Jamil malah berkata, "Berhenti, Karena putra Khuafa sakit, aku akan pergi denganmu. "
Dia menggandeng nenek dan menemaninya sampai rumah kami. Ummu Jamil hanya bisa berbicara stelah masuk rumah dan melepas penutup yang ada di punggungnya. Di lingkungan sekitar itu penuh dengan mata-mata. Anggota keluarga Khattab berada di urutan pertama mengenai agama baru itu. pada saat para laki-laki dianiaya dan budak-budak di kubud di pasir yang menyengat, Ummu Jamil tak ingin menyerahkan dirinya. Setelah beberapa saat menangis bersama ibuku, ia berkata, "Menangis saja kami dilarang, " ucap Ummu Jamil.
Dia terkejut ketika memasuki ruangan tempat ayahku berbaring tak berdaya. Dia langsung merasa kasihan pada keadaan ayahku. Dari bibirnya terlontar sumpah serapah kepada orang-orang yang membuat ayah jatuh dalam kondisi seperti ini dan seruan-seruan bahwa Allah takkan membiarkan orang yang melakukan hal itu.
Ayahku yang jadi terbangun karena tangisan Ummu Jamil berusaha duduk sambil bertanya, "Bagaimana keadaan Rasulullah, apa dia baik-baik saja, bagaimana keadaannya? "
"Wahai putra Khuafa dan ibumu, aku tak tahu harus berkata apa. "
"Jangan takut, aku berada di sisimu. Ceritakanlah apa yang kau tahu. "
"Rasulullah dalam keadaan baik-baik saja dan selamat. "
Setelah mendengar kalimat itu ayah justru mulai meneteskan butiran-butiran air mata. Dia bersyukur kepada Allah.
"Sekarang Rasulullah berada dimana? " tanya ayah.
Ummu Jamil mengucapkan kata-kata bernada prihatin dan kesetiaan begitu mendengar ayah sedih. "Dia mengatakan bahwa jumlah kami masih sedikit dan aku bersumpah kamilah yang memaksanya. Dia berkata belum waktunya. Tapi kami..... Jika aku tak melihat lagi dirinya dengan kedua mataku di dunia ini, aku bersumpah takkan minum maupun makan. Sesuap makanan pun haram bagiku. "