Meskipun hari-harinya dipenuhi musibah dan kesulitan, ayahku dan Rasulullah merupakan orang-orang yang tak berputus-asa. Mereka tetap berbicara dengan anak-anak, melindungi kaum wanita, bahkan sering pula bercanda. Dan memang, senyum Rasulullah cukup untuk menghilangkan seluruh beban kesulitan dan musibah ini.
Kami mengetahui jam-jam kedatangannya ke rumah kami.
Sebelum Rasulullah bersama ayah pindah menuju ruang tamu, seluruh tempat yang bisa di jangkau segera dirapikan. Teman-teman perempuan ku yang suka datang mengunjungi rumahku pada waktu-waktu itu malah sering sengaja pergi menghindar. Rasa hormat kami kepada Rasulullah membuat kami panik.
Saat menghafalkan ayat-ayat surah an-Naml bersama teman-teman, kami sangat suka ayat-ayat yang menceritakan Nabi Sulaiman dan Ratu Bilqis. Adakah gadis muda yang tak mencintai Ratu Negeri Saba dan mengkhayalkannya? Burung-burung, lebah, semut-semut, kuda, angin, lautan, para manusia, dan jin. Nabi Sulaiman mengetahui semua bahasa.
Surah yang kami dengar ini sungguh mengagumkan. Ketika ayat-ayat itu dibacakan, seakan-akan burung-burung hinggap di kepala kami. Sambil menahan napas, kami mendengarkan kalimat-kalimat Allah dengan rasa kagum. Masa-masa itu adalah hari-hari an-Naml kami.
Kedatangan Rasulullah merupakan kehormatan bagi kami.
Seakan-akan matahari turun dari langit dan menerangi rumah kami.
Kehormatan ini seperti bintang-bintang yang memenuhi ruang kami.
Kehormatan ini seperti arus air yang mengalir ke rumah kami.
Kehormatan ini seperti pohon yang tumbuh tinggi menjulang dari darat menuju langit.
Kehormatan ini seperti tangis bayi yang terlahir ke dunia.
Kehormatan ini.....
Adalah pancaran terang.
Kehormatan ini.....
Adalah negeri kami, harga diri kami yang tak terbatas, berkah kami, takdir kami, syukur kami, terima kasih kami.
Di antara waktu-waktu itu, para gadis muda dan anak-anak senang berlari-larian ke sana-kemari. Aku pun akan bersembunyi di pojokan. Al-Amin, dengan langkah tegap dan mantap, Berhati-hati untuk tak mengganggu siapa pun masuk ke halaman. Dia pasti menyadari saat aku bersembunyi di antara dua pohon. Dia mengambil mainanku berbentuk kuda bersayap yang terjatuh dan membenarkan letaknya sambil tersenyum simpul.
"Seekor kuda bersayap...., " Ucapnya.
Saat itu sebagian besar mainanku yang terbuat dari kayu ada di halaman, sementara sebagian lagi sisanya adalah mainan bayi yang terbuat dari kain. Bahkan, ketika menikah para perempuan suka membawa mainan-mainan ini sebagai kenangan masa kecil.
"Seekor kuda bersayap.... " ucap Rasulullah dengan sopan dan lembut sambil memandang mainan itu.
Aku pun memberanikan diri untuk keluar sambil memegang erat tali ayunan di sampingku.
"Tapi.... Bukankah Nabi Sulaiman juga punya seekor kuda bersayap? "
Tatapan Rasulullah masih ke tanah. Kemudian kedua matanya memandangku sambil tersenyum.
"Iya, kau benar Aisyah. "
Panggilan "Aisyah" kepadaku... itu sungguh berarti bagiku.
"Ini juga seperti itu. "
"Ya.... Ini juga seperti itu," ucapnya sambil mengambil kuda bersayapku dari tanah, menaruh di pojok, lalu masuk ke dalam rumah.
Dia tak pernah membuatku sedih.
Kata-kata masa kecilku tak pernah bisa tumbuh besar di sampingnya.
Dan memang aku sangat mengidolakan dirinya sejak kecil.
Hasilnya, Ummu Ruman panik. Dia itu ibuku. Dia wanita luar biasa yang selalu menjaga kerapian dan melakukan pekerjaannya dengan teratur, di hari-hari penuh kesulitan sekalipun. Bahkan, jika soal mengenai tamu yang datang ke rumah, apa lagi itu adalah Rasulullah, kalian tebak sendiri apa yang terjadi berikutnya. Lagi-lagi dia masih mempermasalahkan sifat kekanak-kanakan ku meskipun sebenarnya aku sudah tumbuh besar. Ya, ketidakrapianku. Bahkan, keluhan itu berlanjut sampai tamu kami selesai berkunjung. Aku tak bisa menahan air mataku lagi. Di belakang pintu, aku berdiri, kepalaku menunduk, mendengarkan keluh-kesah ibuku. Sang tamu lagi-lagi menyadari apa yang terjadi.
Perhatian Rasulullah terhadap hal-hal kecil di antara hal-hal yang penting selalu membuatku terpesona. Dan kali ini, seperti itulah yang terjadi.
"Jangan buat Aisyah sedih, " katanya.
Itulah..... Sekali lagi dia memanggilku dengan namaku. Sebenarnya, saat itu kepalaku tertunduk, keningku dipenuhi banyak pikiran. Aku tak memandang wajah seseorang pun, tapi kalimat pendek itu.... "jangan buat Aisyah sedih, " membuatku tertegun.
Ibu dan ayahku sibuk menjamu para tamu di rumah. Siapa yang tahu hal penting apa yang dibicarakan dengan ayah? Tak satupun dia sadari kecuali diriku dan anak-anak. Rasulullah mengetahui, mendengar, dan melihat kami semua satu per satu. Sama seperti Nabi Sulaiman yang diceritakan dalam surah an-Naml, dia mengetahui semua bahasa. Bahasa anak-anak.... bahasa para wanita.... bahasa para budak.... bahasa orang tak mampu.... bahasa para wanita tua, tunawisma, yang teraniaya, orang-orang miskin. Dia mengetahui semua bahasa milik kami. Dia adalah pengambil hati yang paling luar biasa. Seseorang yang sangat sopan santun. Sosok agung bagi orang yang tak memiliki siapa-siapa.