Ketika kami tengah membantu satu sama lain demi melewati hari-hari penuh kesulitan, musuh telah berderet-deret dalam posisi menyerang menggunakan batu-batu tajam siap menghantam kaum Muslim.
Puisi-puisi "Tujuan Cinta" yang secara adat Mekkah dipajang di empat dinding Ka'bah tahun itu diganti dengan ancaman-ancaman kaum musyrik.
Dengan kalimat-kalimat tajam para pemuka Mekkah menyatakan akan memboikot kaum Muslimin.
Tempat-tempat dikosongkan, kaum Muslimin dipaksa meninggalkan rumah-rumah mereka hingga ke sebuah tempat yang disebut Sibli Abu Thalib. Karena tekanannya begitu besar, beberapa keluarga harus meninggalkan kota kelahiran mereka, berlindung di bawah tenda-tenda di antara belahan dua batu.
Rumah kami, halaman rumah kami, penuh oleh saudara-saudara Muslim yang berlindung. Kami pun dilarang melewati jalan-jalan di Mekkah, termasuk memasuki pasar-pasar. Bahkan saat harga sebutir telur melonjak jadi satu perak, mereka tetap takkan menjualnya kepada kami. kepada kaum Muslimin, meskipun kami bayar dengan satu emas untuk sebutir telur.
Tak ada rumah yang disewakan untuk kami. Meskipun disewakan, mereka akan mengusirmu. Tak ada izin untuk berdagang. Mereka tak memberikan kesempatan melakukan jual-beli maupun berutang. Kami tak boleh mendekati sumur-sumur mereka. Kaum Muslimin dilarang mendapatkan air mereka. Bagian yang mereka berikan kepada kami hanya dua sumur kering. Ya hanya itu.
Memberi salam, berbicara, dan melakukan kunjungan pun dilarang. Menikahkan seorang wanita juga dilarang. Jika anak-anak mereka jadi Muslim, anak-anak itu diusir dari rumah mereka. Saudara dengan saudaranya sendiri pun tak boleh berbicara. Suami-istri harus berpisah. Bersama dengan mereka atau bersama dengan kami. Tetap berada di sini atau pergi dari sini!
Jika sakit, tak ada tabib yang bisa mengobati mu. Jika meninggal dunia, tak ada tempat untuk menguburmu. Semua di larang.
Ini seperti lingkaran racun!
Seperti daerah kobaran api!
Kami telah terpojok.
Saat-saat itu, aku mulai tahu apa itu arti menghujat.
Kebencian....
Kebencian terhadap kami.
Amarah telah membutakan kedua mata mereka, menulikan telinga mereka. Hati mereka keras seperti batu besar. Mengapa hati mereka tak berdetak? Bagaimana mereka bisa melakukan semua ini? Ketidakpedulian, ketidak berperikemanusiaan, kebengisan. Aku kira, kebaikan mereka telah habis. Sebenarnya bukan mereka, melainkan orang-orang yang kecewa pada kami dan mereka yang tak peduli pada kami. Mereka adalah orang-orang yang telah kehilangan kemanusiaannya.
Saat satu bencana datang, musibah-musibah lain pun berturut-turut. Begitulah yang diucapkan para wanita tua. Betapa benar perkataan mereka. Tetangga kami tak lagi bisa mendengarkan suara tangis bayi-bayi yang kelaparan. Ketika kami tenggelam dalam duka cita karena Abu Thalib dan Khadijah wafat, mereka pun bersuka cita, melakukan hal-hal baru yang menyakiti Rasulullah dan kami. Satu kali Rasulullah berkata kepada ayahku, "Kesedihan mana yang harus aku tanggung? "
Abu Thalib seperti sebuah gunung yang selalu melindungi Rasulullah. Rasulullah menganggapnya sebagai ayah kandung sendiri. Abu Thalib adalah pelindung pemberani yang selalu melindungi keponakannya dari kaum musyrik.
Belum lagi dengan Khadijah. Wanita terhormat dan penuh kasih sayang ini memberikan semua miliknya kepada kaum Muslimin saat masa-masa pemboikotan berlangsung selama tiga tahun. Meskipun menjadi wanita paling kaya di Mekkah, dia akhirnya meleleh seperti lilin dengan kesabaran dan kedermawanan yang tak pernah habis.
Para durjana yang mengetahui kesedihan tengah minimpa Rasulullah tak ingin kehilangan kesempatan ini. Ketika ejekan dan tekanan semakin bertambah, terjadilah peristiwa "Isra' Mi'raj".
Pada suatu malam, Rasulullah melakukan suatu perjalanan mengagumkan. Titik awal perjalanan ini adalah Masjidil Aqsa. Allah membuka pintu langit dari al-Quds kepada Rasulullah. Al-Quds itu merupakan tempat pertemuan Hajar dengan Nabi Ibrahim dan bayi mereka, Isma'il, beratus-ratus tahun lalu. Berabad-abad kemudian, berawal dari Mekkah dan kembali ke Mekkah. Sebelum perjalanan ke langit, tangga-tangga menuju langit muncul dari Masjidil Aqsa. Itulah perjalanan satu malam yang kami dengar.
" Kau dengar apa yang putra Abdullah katakan? " sindir mereka memotong jalan ayah di pagi hari.
"Kali ini dia melakukan perjalanan ke Masjidil Aqsa. "
"Mungkin, kini kau takkan percaya dengan igauan seperti itu. "
"Sudah, cukup! Masihkah kau percaya dengan apa yang dia katakan? Lihatlah apa yang terjadi pada kita. Lihat pula apa yang dikatakan anak yatim itu!? "
Candaan.... olokan.... ejekan.... hinaan.... Semua itu mengalir seperti lahar, membakar dan menghancurkan semua tempat yang dilewati.
"Jika perkataannya seperti itu, dia benar! "
Begitu ayah berkata seperti itu, tempat mereka berdiri seakan-akan terguncang gempa. Pernyataan tanpa keraguan dan kegelisahan ini menusuk seperti tombak di kepala mereka!
Ketika ayah berkata begitu, seluruh ejekan, hinaan, dan olokan berubah bagaikan lahar panas menjadi dingin membeku. Jawaban ayah membuat mereka lupa dengan kata-kata yang ingin mereka lontarkan. Seperti pisau tajam yang tertancap di badan, kejujuran ayahku menampar wajah-wajah mereka.
Kejujuran....kesetiaan. Sinar kesetiaan ayah kepada Rasulullah terpancar pada waktu itu. Putih jernih, sejernih tetesan air.
Ayahku adalah contoh sebuah cinta. Ayahku seperti janji di hari pertama kepada kekasihnya. Tak rusak. Tak sobek.
Aku, Aisyah...
Aku adalah putri ayahku.
Aku Aisyah...
Aku adalah putri as-Shiddiq.
Aku adalah ucapan janji ayahku.