Semua orang menunggu kedatangan Ayahku dari perjalanan dagang dengan harapan berbeda-beda. Ketika kakek dan kerabat-kerabat tuaku yang lain berharap ayah kembali dengan hasil pendapatan melimpah, ibuku, Ummu Ruman, diselimuti penantian mengharapkan ayah kembali dengan selamat. Sementara itu, menurut kakak perempuanku, Asma, ayah adalah sebuah hadiah. setelah bersama-sama menempuh kebahagiaan dan kesedihan, ayahku, Abu Bakar, beliau itu layaknya bayangan-bayangan pohon yang sejuk dan aman bagi ibu maupun kakakku. Bagi kakakku, ayah itu seperti hadiah dari setiap kali perjalanan pulang. Sebaliknya, kesopanan dan ketaatan kakakku menjadi hadiah tersendiri bagi ayah.
Ayah membeli cenderamata dari pedagang kalung, penjual ikat pinggang gading, atau sebuah perjalanan di Damaskus, ia membawa vas bunga berhiaskan kulit-kulit binatang lautan.
Sementara itu, di dalam kantong pelana terdapat buku-buku baru, peta-peta, dan botol kristal berisi hiasan warna-warni untuk ibu. Bagi para wanita di rumahku, pejalanan pulang ayah adalah hadiah.
Sementara itu, bagian yang aku dapat dari perjalanan panjang ayah adalah kehangatan dan kenyataan. Bagiku, dia seorang ayah sekaligus dunia ini. Seluruhnya untukku.
Aku tak pernah menyambut ayah di rumah atau di depan pintu rumah. Aku berada di antara para penyambut yang berlari-lari menuju rombongan ayah setelah mengetahui kedatangannya dari atap rumah. Di dalam kepulan debu, bendera-bendera rombongan tampak ketika masuk kota.
Ibu tak begitu senang dengan caraku ini. Tapi, karena dia tahu hal ini merupakan perhatianku bagi ayah, dia menyetujuinya. Ibu tak mengatakan satu hal pun ketika aku berada di antara keramaian orang yang berlari dan bernyanyi untuk menyambut kedatangan rombongan dari perjalanan panjangnya.
Di dekat pintu masuk kota, ayah turun dari untanya, kemudian langsung menunggang kuda. Perjalanan memasuki kota itu dilatari kepulan debu, menyelimuti mereka seperti akhir bahagia sebuah dongeng. Dan pastinya, bagian paling baguslah yang akan aku dapat. Setelah beberapa saat mencari keberadaan ku, ayah turun dari kudanya dengan senyum bahagia. Setelah berlutut dan membuka kedua lengannya, kata pertama yang diucapkan adalah: "Putriku, Aisyah! "
Ketika memeluknya, seakan-akan seluruh jalan di dunia ini membentang untuk ku. Aku menjadi seorang ratu dalam pelukannya. kerinduanku kepada ayahku leleh dengan pelukan ini. Diriku seakan-akan mengenakan mahkota yang tak seorangpun melihatnya selain aku. Ayah selalu menjadi mahkota di kepalaku. Kemudian, dia memegang kedua tanganku, mengangkatku ke kudanya. Dia tak mengizinkan para pelayannya ikut memegangi tali kudanya.
"Bicaralah wahai Humaira, apa kabarmu? " tanyanya sambil tersenyum.